Topik

Kenapa Saham Indofood CBP (ICBP) Turun Terus? Apakah Karena Kenaikan Harga Gandum?


PT Indofood Consumer Brand Products, Tbk (ICBP)
sudah merilis laporan keuangan tahun penuh 2021 dimana perusahaan membukukan pendapatan
Rp56.8 triliun, masih naik dibanding tahun 2020 sebesar Rp46.6 triliun, tapi laba
bersihnya turun tipis dari Rp6.6 triliun menjadi Rp6.4 triliun, terutama karena
kenaikan beban bunga utang yang cukup signifikan dari Rp670 milyar menjadi
Rp2.0 triliun. Nah, pada ulasan
soal prospek ICBP di blog ini yang diposting persis setahun lalu
, yakni
ketika perusahaan menuntaskan proses akuisisinya terhadap Pinehill, maka penulis
pada intinya mengatakan sebagai berikut. Pertama, Pinehill ini sebenarnya bagus
karena bergerak di
bidang produksi dan distribusi mi instan merk Indomie di Arab Saudi, Nigeria,
Mesir, Turki, Serbia, Ghana, Maroko, dan Kenya. Jumlah penduduk di
negara-negara tersebut, plus negara-negara di sekitarnya, adalah total 885 juta
jiwa, alias tiga kali lebih besar dibanding penduduk Indonesia sebesar 274 juta
jiwa, sedangkan disisi lain tingkat konsumsi mi instan per kapita di Arab Saudi
dkk baru sekitar seperempat konsumsi mi instan di Indonesia, sehingga potensi
pertumbuhannya masih sangat terbuka lebar. Dengan akuisisi ini maka ICBP, yang
selama ini hanya menjual Indomie di dalam negeri, kemudian menjadi ‘go
international’.

***

Ebook
Market Planning
 edisi April 2022 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual
beli saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit. Anda bisa 
memperolehnya disini, gratis info jual beli saham,
dan tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

***

Namun kedua, ICBP mengakuisisi Pinehill pada harga yang sangat premium, terlihat dari
aset goodwill yang muncul di LK ICBP sebesar Rp54.0 triliun alias lebih
besar dari harga akuisisi Pinehill itu sendiri sebesar Rp43.9 triliun, dan
sebagian besar biaya akuisisi tersebut berasal dari utang sehingga ICBP akan
menanggung beban bunga utang yang besar. Kemudian nilai total aset Pinehill itu
sendiri pada tahun 2021 hanya Rp8.8 triliun (total aset, jadi masih termasuk
utang-utangnya), alias jauh lebih kecil daripada harga akuisisinya. Tidak ada
informasi berapa Rupiah persisnya kontribusi laba bersih Pinehill terhadap laba
ICBP secara keseluruhan, tapi jika melihat total laba ICBP yang tetap turun meski
pendapatannya naik signifikan, maka bisa disimpulkan bahwa kontribusi laba
tersebut masih lebih kecil dibanding beban bunga utang yang timbul dari
akuisisi Pinehill itu sendiri.

Karena itulah, sudah sejak setahun lalu penulis katakan bahwa meski dalam jangka panjangnya katakanlah sampai 5 – 10 tahun
ke depan, prospek ICBP ini masih menarik dengan asumsi laba Pinehill terus bertumbuh
hingga laba tersebut akhirnya bisa menutup biaya akuisisinya, tapi dalam jangka
waktu 1 – 2 tahun maka kemungkinan laba ICBP masih akan turun atau stagnan, dan
kalau demikian maka sahamnya juga gak akan kemana-mana dulu. Dan ternyata
benar: Sampai dengan tahun penuh 2021, laba ICBP ternyata turun dibanding tahun
2020.

Sedangkan sahamnya? Ternyata bukan tidak
kemana-mana, tapi justru turun dari setahun lalu di Rp9,000 ke Rp7,500, dimana
sebagian analis mengatakan bahwa itu karena kenaikan harga gandum di pasar
internasional. Yup, tahun lalu harga gandum tercatat di $607 per bushel (satu
bushel setara 35 liter), tapi pada awal-awal Perang Rusia – Ukraina pada
awal Maret lalu melejit sampai $1,250, sebelum kemudian turun lagi ke
$998, tapi tentu saja secara keseluruhan dalam setahun terakhir, harga tersebut
masih naik cukup tinggi. Sedangkan gandum, seperti yang kita ketahui, adalah
bahan baku pembuatan tepung terigu, dimana tepung terigu pada gilirannya adalah
bahan baku utama mi instan.

Nah, mungkin dalam hal ini belum banyak yang
tahu bahwa margin keuntungan dari mi instan (merk Indomie) milik ICBP ini
teramat sangat besar sehingga fluktuasi harga gandum hampir tidak berpengaruh. Perhatikan:
ICBP membeli sebagian besar tepung terigu dari sister company-nya,
Bogasari. Harga tepung terigu di tingkat ritel adalah Rp10,000 – 13,000 per kg,
jadi normalnya ICBP membeli pada harga kurang dari itu. Kemudian pada laporan
keuangan PT Indofood Sukses Makmur, Tbk (INDF), bisa dilihat bahwa pada tahun
penuh 2021, Bogasari membukukan pendapatan Rp25.9 triliun, dan laba usaha Rp1.9
triliun. Jadi memang untuk usaha tepung terigunya INDF tidak mengambil
keuntungan yang terlalu besar, sehingga dengan asumsi bahwa harga jual tepung
terigunya Rp10,000 per kg, maka harga bahan bakunya (gandum) sekitar Rp8,000 –
9,000 per kg, kemungkinan lebih rendah dari itu tapi gak apa-apa, kita ambil
asumsi tertingginya saja.

Okay, lalu berapa berat satu bungkus mi
instan Indomie? Hanya 85 gram. Sedangkan harga jualnya? Antara Rp2,400 – 3,500
per bungkus. Kita pukul rata saja, Rp2,500. Maka dari 1 kilogram gandum, bisa
dihasilkan 12 bungkus mi instan. Jadi dari 1 kilo gandum seharga Rp9,000,
bisa dihasilkan 12 bungkus mi instan seharga Rp30,000, sehingga margin keuntungannya
mencapai tiga kali lipat. Perhatikan bahwa ini sudah menggunakan asumsi
harga gandum tertinggi, dan harga mi instan terendah, dimana pada kenyataannya
ada juga mi instan produksi ICBP yang harganya mencapai Rp7,000 per bungkus,
dan harga Indomie diluar negeri tentunya jauh lebih tinggi lagi.

Intinya adalah, dari sini bisa kita lihat
bahwa margin laba dari produk mi instan ini memang amat sangat besar, dimana
dari pendapatan ICBP sebesar Rp41.0 triliun dari divisi mi instan-nya,
dihasilkan laba usaha Rp10.0 triliun (bandingkan dengan margin laba Bogasari
diatas, yang jauh lebih kecil). Jadi fluktuasi harga gandum sebenarnya hampir
tidak berpengaruh, karena ketika harga gandum ini naik, maka ICBP bisa
menaikkan harga mi instannya barang Rp100 atau 200 perak saja per bungkusnya,
dan konsumen tetap akan membeli. Malah kalau anda perhatikan lagi, harga
Indomie memang selalu naik dari tahun ke tahun, tapi apakah para anak kost kemudian mengganti
mi instan mereka dengan bubur kacang ijo misalnya? Jelas tidak, melainkan mereka tetap akan setia dengan Indomie.

Jadi rekomendasinya untuk ICBP ini gimana?
Saya udah nyangkut di harga atas soalnya?

Oke jadi mari kita coba simpulkan lagi: Fundamental
ICBP untuk saat ini kurang bagus bukan karena kenaikan harga gandum, tapi
karena perusahaan tahun lalu mengakuisisi Pinehill dimana Pinehill ini akan
butuh waktu untuk bertumbuh hingga pada akhirnya bisa berkontribusi laba yang lebih
besar dibanding biaya akuisisinya itu sendiri, dan dalam hal ini penulis
perkirakan prosesnya akan makan waktu 3 – 4 tahun dihitung dari ketika Pinehill
sudah dikonsolidasikan di dalam kinerja ICBP, sejak awal tahun 2021 lalu.
Sehingga sampai dengan tahun penuh 2021 kemarin, maka wajar jika laba ICBP turun,
dan alhasil ketika muncul sentimen negatif harga gandum itu tadi maka sahamnya
jadi gampang turunnya, karena sejak awal valuasi ICBP ini masih belum cukup
murah untuk ukuran perusahaan yang labanya sedang turun: Pada harga 7,500, PER-nya
masih 13.7 kali, dan PBV 2.6 kali.

Namun demikian kalau kita perhatikan lagi,
laba ICBP pada tahun 2021 hanya turun tipis dibanding 2020, sedangkan ROE-nya
masih cukup bagus di 18%. Yang itu artinya untuk tahun 2022 ini ada kemungkinan
labanya akan kembali naik, dan kalau benar demikian maka sahamnya bisa naik
lagi, karena PBV dua koma sekian sebenarnya terhitung sudah murah jika mempertimbangkan
kinerja historis ICBP yang sangat baik. Sehingga kalau anda termasuk yang beli
ICBP ini di harga 9,000 atau lebih tinggi lagi (itu artinya anda belum baca ulasan
ICBP di blog ini
yang ditulis tahun lalu, tapi gak apa-apa), maka berikut
strateginya: Tunggu sampai perusahaan rilis LK Q1 2022, sekitar Mei atau Juni
nanti. Jika labanya naik, dan lebih baik lagi jika ROE-nya disetahunkan kembali
diatas 20%, maka boleh average down atau hold saja, karena ICBP bisa naik ke
setidaknya 9,000 lagi, yang mencerminkan PBV 3.1 kali (meski kalau balik lagi
ke 10,000, mungkin akan berat).

Tapi jika ternyata labanya masih turun, maka
kecuali anda bisa komitmen hold sampai tahun 2025 nanti, bisa
pertimbangkan untuk cut loss dulu karena bukan tidak mungkin ICBP ini akan
bernasib seperti saham PT Unilever Indonesia, Tbk (UNVR), yang turun sangat banyak karena laba
bersihnya turun dua tahun berturut-turut pada tahun 2020 dan 2021. Faktanya,
jika dihitung dari all time high-nya yakni 12,400 pada Oktober 2019
lalu, maka ICBP ini juga sudah turun sangat dalam sebenarnya, tapi masih belum
sedalam penurunan UNVR. Jadi jika dia juga mengalami apa yang dialami UNVR,
yakni labanya turun selama dua tahun berturut-turut, maka bukan tidak mungkin
sahamnya juga akan bernasib sama. Jadi ya, mudah-mudahan labanya kembali naik
pada tahun 2022 ini, kita tunggu.

Untuk minggu depan kita akan bahas prospek
saham PT WIR Asia, Tbk (WIRG).

***

Ebook Market Planning edisi April 2022 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit. Anda bisa memperolehnya disini, gratis info jual beli saham, dan tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

Dapatkan postingan via email

Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top