Hadits

Amar Ma’ruf Nahi Munkar – Ciri Khas Umat Islam


“Islam tidak menghendaki seorang mukmin baik hanya untuk dirinya sendiri, sementara ia tidak berupaya untuk memperbaiki saudara mukmin lainnya”


Amar Ma’ruf Nahi Munkar ~ Inilah kewajiban atau syi’ar yang merupakan baju pelindung bagi syi’ar-syi’ar lainnya. Barangkali akan membuat terkejut bagi sebagian orang jika kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Munkar ini termasuk kewajiban-kewajiban yang azasi (mendasar) dalam Islam, mungkinkah karena selama ini perihal yang satu ini ‘kurang terkenal‘ dari kewajiban-kewajiban lainnya.

Bagaimanapun, bagi siapa saja yang mau mempelajari Al Qur’an dan As-Sunnah, maka dia akan menemukan bahwa mengenai Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar ini, lebih jelas dan terang dari terangnya sinar matahari.

Amar Ma’ruf Nahi Munkar Adalah Keistimewaan Ummat Islam

Di dalam Al Qur’an telah dinyatakan, amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai keistimewaan yang dimiliki oleh ummat ini (ummat Nabi Muhammad S.a.w) sehingga disebut sebagai yang terbaik, mengungguli ummat-ummat lainnya. Allah S.w.t berfirman:

“Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran: 110).

Dalam ayat ini penyebutan amar ma’ruf dan nahi munkar lebih didahulukan daripada penyebutan iman, padahal iman merupakan azas. Hal ini karena iman kepada Allah itu merupakan ketentuan yang bersifat umum (yang mana juga dimiliki) antara umat-umat Ahlul Kitab semuanya, sedangkan Amar ma’ruf Nahi munkar merupakan kemuliaan ummat ini, suatu sifat khas yang hanya dimiliki ummat Rasulullah S.a.w.

Seperti tumbuh-tumbuhan padang pasir, Allah-lah yang mengeluarkannya, dan dia tidak dikeluarkan agar hidup untuk dirinya saja, tetapi dikeluarkan untuk (kemaslahatan) ummat manusia seluruhnya. Ummat ini adalah ummat Dakwah dan Risalah, tugasnya menyebarkan yang ma’ruf dan memperkuatnya dan mencegah yang munkar serta menghancurkannya.

Sebelum Ayat di atas disebutkan, dalam beberapa ayat sebelumnya Allah S.w.t berfirman:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104).

Ayat di atas memiliki dua makna; yang pertama kalimat “min” berarti lit-tajrid, dengan demikian artinya ‘hendaklah kamu menjadi ummat yang selalu mengajak kepada kebajikan’. Dan pula yang memperkuat makna ini adalah pembatasan keberuntungan kepada mereka, bukan kepada yang lain, seperti yang ada pada kalimat “wa ulauika humul muflihuun“.

Adapun makna tafsirnya: “Hendaklah seluruh ummat Islam menjadi penyeru kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran, masing-masing sesuai dengan kedudukan dan kemampuannya, sehingga termasuk berhak memperoleh keberuntungan”.

Makna yang kedua, kata “min” berarti lit-tab’idh -sebagaimana ini terkenal- artinya: hendaklah di dalam masyarakat Islam itu, ada sekelompok kaum Muslimin yang memiliki ‘spesialisasi’, memiliki kemampuan dan memiliki persiapan yang sesuai, untuk mengemban kewajiban.berdakwah dan beramar ma’ruf nahi munkar.

Yang dimaksud “thaifah” di sini adalah mewuludkan Jama’atul Muslimin secara umum dan Ulil Amri secara khusus. Maka wajib bagi mereka mempersiapkan sebab-sebab (sarana) untuk terwujudnya thaifah tersebut dan mendukungnya baik secara moril maupun materil agar dapat tertegak risalah-Nya. Selagi ummat atau thaifah yang dicita-citakan ini belum terwujud maka dosanya akan ditanggung oleh seluruh kaum muslimin sebagai fardhu kifayah yang ditinggalkan dan diabaikan.

Al Qur’an menghendaki adanya ummat yang berdakwah ke arah kebaikan, dimana satu-satunya pintu kebaikan yang haq dan diridhai-Nya ialah Syariat Nabi Muhammad S.a.w, yakni Agama Islam. Hendaknya ummat itu mampu memerintah dan melarang, karena hal itu adalah perkara yang lebih khusus dan lebih besar daripada sekedar mau ‘izhah dan tadzkir (nasehat dan peringatan). Setiap orang yang mempunyai lidah, ia bisa memberi nasehat dan peringatan, tetapi tidak selamanya bisa memerintah dan melarang. Dan yang dituntut oleh ayat tersebut adalah mewujudkan ummat yang mampu berdakwah, memerintah dan melarang.

Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar Merupakan Khas Ummat Islam

Dalam menjelaskan ciri-ciri secara umum bagi masyarakat mukmin yang berbeda dengan masyarakat orang-orang kafir dan munafik, maka Amar ma’ruf dan Nahi Munkar merupakan ciri utama bagi masyarakat Islam dan bagi individu anggota masyarakat tersebut.

Islam tidak menghendaki mereka baik hanya untuk diri sendiri. sementara mereka tidak berupaya untuk memperbaiki orang lain. Dalam hal ini, Allah S.w.t menjelaskan dalam Surat Al Ashr:

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya mentaati kesabaran.” (QS Al Ashr: 1-3).

Maka tidak cukup hanya dengan iman dan beramal shalih untuk memperoleh keselamatan dari kerugian dan kehancuran, sehingga mereka mau melaksanakan saling berwasiat dalam melakukan kebenaran dan saling mewasiati untuk tetap bersabar. Dengan kata lain, sehingga mereka mau memperbaiki orang lain dan menyebarkan makna saling menasehati dan dakwah di masyarakat untuk berpegang kepada kebenaran dan tetap dalam kesabaran. Dan hal itu termasuk pilar kekuatan masyarakat setelah iman dan amal shalih.

Di dalam surat At-Taubah juga terdapat penjelasan tentang sifat-sifat orang yang beriman, yang mana Allah telah membeli (menukar) diri dan harta mereka dengan surga, demikian itu tersebut dalam Firman Allah S.w.t:

“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku’, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” (QS At-Taubah: 112)

Dalam Surat Al Hajj, Al Qur’an menjelaskan kewajiban yang terpenting ketika ummat Islam diberi kesempatan oleh Allah S.w.t di bumi ini untuk memiliki kedaulatan dan kekuasaan, Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong-(agama)Nya, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di maka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS Al Hajj: 40-41).

Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar setelah shalat dan zakat adalah faktor terpenting yang menjadi kewajiban dalam masyarakat Islam, bahkan mereka tidak berhak memperoleh pertolongan Allah kecuali dengan melaksanakan tugas itu, sebagaimana diterangkan dalam dua ayat tersebut. Inilah kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar dalam Al Qur’an. Sesungguhnya ia merupakan lambang atas wajibnya takaful (saling memikul beban) secara moral di antara kaum Muslimin, sebagaimana zakat merupakan lambang atas wajibnya takaful materi di antara mereka.

Sayyidina Rasulullah Nabi Muhammad S.a.w bersabda: “Sesungguhnya manusia itu apabila melihat orang yang zhalim, lalu mereka tidak memegang kedua tangannya (mencegahnya) maka Allah akan meratakan siksa dari sisi-Nya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i).

Yang penting adalah memperkuat pelaksanaan kewajiban yang besar ini dan menghidupkannya kembali, serta menghidupkan aktifitas dakwah, yang dengannya akan sanggup melaksanakan syiar ini dalam kehidupan yang nyata. Dan para Da’i (Alim, Ulama, Kyai, Ustadz) dalam hal ini memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat Islam.

Kewajiban ber-amar ma’ruf dan nahi munkar adalah sarana terbaik untuk membentuk ummat yang bersandar pada akhlak Islami (yakni Akhlaknya Rasulullah S.a.w), tata susila yang paling benar, paling adil, paling kekal dan paling kuat, karena standar itu diambil dari Al Haq yang ‘azli dan abadi, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Mengenal Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar ma’ruf nahi munkar yang biasa diartikan dengan “Memerintahkan untuk berbuat baik dan mencegah terjadinya perbuatan munkar” adalah salah satu perintah syara’ yang fardlu kifayah.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan satu dengan lainnya, kedua hal tersebut adalah saling menetapi (talazum).
Yang disebut dengan Ma’ruf adalah:
المعروف وهو اسم لكل ما عرف من طاعة الله عز وجل, والتقرب إليه والإحسان إلى الناس ,وكل ما ندب اليه الشرع.
Ma’ruf adalah nama bagi setiap perbuatan yang diketahui merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jall, mendekatkan diri kepada-Nya, berbuat baik kepada manusia, dan setiap apa yang disunnahkan oleh syara’.
Sedangkan yang disebut dengan Munkar adalah kebalikan dari ma’ruf.
Dalil dari Al Qur’an adalah:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (ال عمران:110)
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”.
Dalil dari As-Sunnah adalah:
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه, فإن لم يستطع فبقلبه, وذلك أضعاف الإيمان.
“Barangsiapa di antara kamu sekalian yang melihat kemunkaran hendaknya merubah kemunkaran tersebut dengan tangannya, apabila tidak mampu maka dengan lisannya, apabila tidak mampu maka dengan hatinya, yang demikian adalah selemah-lemahnya iman.”.
Dari hadits ini bisa diambil kesimpulan bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar memiliki tiga tingkatan:
1). Yang pertama dan ini adalah yang paling kuat yaitu dengan menggunakan tangan/kemampuan/kekuasaan. Ini adalah merupakan amar ma’ruf nahi munkar yang merupakan fardlu ain dan wajib dilakukan dengan segera (al-wajib ‘ala al-faur) apabila memang memiliki kemampuan untuk itu.
2). Yang kedua: Apabila langkah pertama tidak dapat dilakukan, maka bagi orang yang melihat kemunkaran wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan berpindah pada tingkatan yang kedua, yaitu dengan menggunakan lisan.
Ketika melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan menerapkan cara yang pertama dan kedua, hendaknya dilakukan dengan kelembutan sikap dan perasaan kasih sayang, dengan ucapan yang halus dan santun.
3). Apabila dua tingkatan ini tidak bisa dilakukan, maka hendaknya menerapkan amar ma’ruf nahi munkar tingkat ketiga, yaitu dengan cara melakukan pengingkaran dalam hati (tidak senang dengan adanya kemungkaran tersebut) dan haram untuk cuek bebek atau tidak perduli ketika melihat terjadinya suatu kemungkaran. Dan tingkatan yang ketiga ini merupakan amar ma’ruf yang dilakukan sebab adanya kelemahan iman.
Dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi apabila hendak melakukannya, yaitu:
1. Orang yang hendak melakukannya adalah seorang yang Alim (benar-benar paham/mengerti) dengan apa yang diperintahkannya atau yang dicegahnya tersebut.
2. Hendaknya amar ma’ruf yang dilakukan tidak menyebabkan kemunkaran atau kerusakan yang lebih besar.
3. Orang yang melakukan amar ma’ruf hendaknya memiliki prasangka kuat bahwa yang dilakukannya tersebut bisa berfaedah.
Apabila dua syarat yang pertama tidak dapat dipenuhi, maka haram untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Apabila syarat yang ketiga tidak dapat dipenuhi, maka kewajiban amar ma’ruf nahi munkar adalah gugur.
(disarikan dari Kitab Syarah ash-Shawi ‘ala Jauharah at-Tauhid karya Syekh al-Imam al-Faqih Ahmad bin Muhammad al-Maliki ash-Shawi).

Berdakwah atau Mengajak Kepada Kebaikan dengan Lemah-lembut

Amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan sikap bijak, lembut dan bertahap” ~ (Sayyid Muhammad bin Alawy Al Maliki).

Ber-amar ma’ruf nahi munkar-lah dengan penuh hikmah dan kearifan, ajaklah mereka ke jalan Allah dengan budi pekerti dan akhlak mulia Rasulullah S.a.w, dan semoga hidayah Allah dicurahkan dengan mengikuti jejak para Sahabat mulia, Salafus shaleh, para Imam Mujtahid, Wali-wali-Nya, Auliya wa Shalihin.

Firman Allah S.w.t: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru menuju Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. (QS Fushshilat: 33).

Islam mengajarkan umatnya agar bersikap lemah-lembut dalam berdakwah atau mengajak kepada kebaikan. Rasulullah S.a.w dikenal kelemah-lembutannya dalam mengemban Risalah Islam. Karena sikap lemah-lembut Beliau itu pula Islam memiliki daya tarik sangat kuat, sebagaimana diabadikan dalam Al Qur’an:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”. (QS Ali Imran: 159).

Rasulullah S.a.w bersabda: “Sesungguhnya tidaklah kelemah-lembutan itu ada pada sesuatu melainkan ia akan memperindahnya dan tidaklah kelemah-lembutan itu dicabut dari sesuatu melainkan akan memperburuknya.”. (HR Muslim).

Demikianlah, Islam mengajarkan kelembutan, cara-cara yang damai, sopan santun, etis, penuh kesejukan dan menyenangkan. Islam tidak mengajarkan kekerasan, sikap kasar, atau pun menyakiti orang lain. Islam hanya menegakkan kekerasan dalam dua hal; perang dan penegakan hukum (yakni ketika hak Allah dilanggar).

Allah S.w.t berfirman:

ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعضة الحسنة وجدلهم بالتي هي أحسن

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantalah mereka dengan cara yang lebih baik.”. (QS an-Nahl: 125).

Bekerja atas dorongan cinta dan disertai keikhlasan maka akan terasa senang tiada jemu dan rasa lelah. Sesungguhnya hati memiliki keinginan, kepedulian, dan keengganan, maka datangilah ia dari arah kesenangan dan kepeduliannya, sebab jika hati itu dipaksakan, ia akan buta. Berdakwalah dengan Ikhlas dan penuh semangat, bukan karena seseorang atau pujian makhluk. Ketika hal tersebut sudah terpantri di dalam hati tidak ada satu pun makhluk yang mampu menghentikan langkah kaki ini. Wallahul Musta’aan. ~ Nasihat Al Habib Hud Alatas.

Pentingnya Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Abdullah bin Humaid, Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa’y, Ibnu Majah, Ad-Daruquthny, Al-Baihaqy, dan Abu Ya’la mentakhrijkan dari Qais bin Abu Hazim, dia berkata: “Setelah Abu Bakar menjadi khalifah, dia naik ke atas mimbar, lalu menyampaikan pidato. Setelah menyampaikan pujian kepada Allah, dia berkata:
“Wahai semua manusia , tentunya kalian juga membaca ayat ini, ‘Hai orang orang yang beriman, jagalah diri kalian. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk’ (QS Al-Maidah: 105), namun kalian meletakkan ayat ini bukan pada tempatnya. Aku pernah mendengar Rasulullah S.a.w bersabda, ‘Sesungguhnya apabila manusia melihat kemungkaran dan mereka tidak mau merubahnya, maka Allah akan menyegerakan siksa yang menyelingkupi mereka semua’.”. (Al-Kanzu, 2/138).
Ath-Thabrani mentakhrijkan dari Thariq bin Syihab, dia berkata, “Itris bin Urqub Asy-Syaibany menemui Abdullah R.a seraya berkata, “Binasalah orang yang tidak menyuruh kepada yang ma’ruf dan tidak mencegah dari yang mungkar.”, Abdullah R.a meralat (menambahkan) ucapannya dengan, “Bahkan binasalah orang yang tidak memperlihatkan yang makruf dan tidak mengingkari yang mungkar”. (Al-Haitsamy, 7/275, Rijalnya Shahih).

Hadist-hadist yang Berkenaan Dengan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

Dari Abu Hurairah R.a, bahwasanya Rasulullah S.a.w bersabda: “Barang siapa mengajak kepada suatu kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikitpun pahala-pahala mereka. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan maka ia akan mendapat dosa seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.”. (H.R. Muslim).
Dari Ibnu Mas’ud R.a berkata, Rasulullah S.a.w bersabda: “Barang siapa yang menunjukkan suatu kebaikan maka ia mendapat pahala seperti orang yang mengerjakannya.”. (H.R. Muslim).
Abu Sa’id Al-Khudry R.a berkata: Saya mendengar Rasulullah S.a.w bersabda: “Barang siapa di antara kamu sekalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaklah ia merubah dengan kekuasaannya, kalau tidak mampu maka dengan tegurannya, dan kalau tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang terakhir adalah selemah-lemahnya iman.”. (H.R. Muslim).
Dari Ibnu Mas’ud R.a, bahwasanya Rasulullah S.a.w bersabda: “Tidak seorang nabi pun yang diutus Allah kepada suatu ummat sebelumku kecuali ia mempunyai penolong-penolong setia dan kawan-kawan yang senantiasa mengikuti sunnahnya dan mentaati perintahnya, kemudian sesudah periode mereka timbullah penyelewengan dimana mereka mengucapkan apa yang tidak mereka kerjakan dan mereka mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Maka barang siapa yang memerangi mereka dengan kekuasaannya maka ia adalah orang yang beriman, barang siapa yang memerangi mereka dengan ucapannya, maka ia adalah orang yang beriman dan barang siapa yang memerangi mereka dengan hatinya, maka ia adalah seorang yang beriman juga; selain dari itu tidaklah ada padanya rasa iman walau hanya sebiji sawi.”. (H.R. Muslim).
Abu Bakr Ash-Shiddiq R.a berkata: ”Wahai sekalian manusia sesungguhnya kalian membaca ayat ini: ‘Yaa ayyuhal ladziina aamnuu ‘alaikum anfusakum laa yadhurrukum man dhalla idzahtadaitum’ (Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu masing-masing, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu jika kamu telah mendapat petunjuk). Dan sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah S.a.w bersabda: “Bahwasanya manusia itu bila mengetahui orang berbuat zhalim kemudian mereka tidak mengambil tindakan, maka Allah akan meratakan siksaan kepada mereka semua.”. (H.R. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i).
Dari Hudzaifah R.a, Rasulullah S.a.w bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, kamu harus sungguh-sungguh menyuruh kebaikan dan mencegah kemunkaran, kalau tidak Allah akan menurunkan siksaan kepadamu, kemudian kamu berdoa kepada-Nya, maka tidak akan dikabulkan doamu itu.”. (H.R. Tirmidzi).
Ibnu Mas’ud R.a berkata: ”Saya mendengar Rasulullah S.a.w bersabda: “Semoga Allah memberi cahaya berkilau-kilau kepada seseorang yang mendengar sesuatu dariku kemudian ia menyampaikan sebegaimana yang ia dengar, karena banyak orang yang disampaikan kepadanya (sesuatu itu) lebih menerima daripada orang yang mendengarnya sendiri.”. (H.R. Tirmidzi)
Abu Zaid Usamah bin Haritsah R.a berkata: “Saya mendengar Rasulullah S.a.w bersabda: “Pada hari kiamat kelak ada seseorang yang digiring lantas dilemparkan ke dalam neraka, seluruh isi perutnya keluar lalu berputar-putar seperti berputar-putarnya keledai di kincir, kemudian seluruh penghuni neraka berkumpul mengerumuninya, lantas menegur: “Wahai Fulan, apa yang terjadi padamu, apakah kemu tidak beramar ma’ruf dan nahi munkar?” Ia menjawab: “Ya, saya menganjurkan kebaikan tetapi saya sendiri tidak menjalankannya, dan saya melarang kemunkaran tetapi saya sendiri malah mengerjakannya.”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dari Abu Sa’id Al-Khudry R.a, Rasulullah S.a.w bersabda: “Jauhilah olehmu sekalian duduk di jalan-jalan.”, para Sahabat berkata: “Ya Rasulullah kami tidak bisa meninggalkan tempat duduk kami (di jalan) itu dimana kami berbincang-bincang di sana”, Rasulullah menjawab: “Apabila kamu sekalian enggan untuk tidak duduk di sana maka penuhilah hak jalan itu.”. Para Sahabat bertanya: “Apakah hak jalan itu ya Rasulullah.”, Beliau menjawab: “Yaitu memejamkan mata, membuang kotoran, menjawab salam serta menyuruh kebaikan dan mencegah kemunkaran.”. (HR Bukhari dan Muslim).

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

~ Assalamu Alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh ~


Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top