koleksi iPusnas

Tjak S Parlan: CINTA TAK PERNAH FANATIK


 

Data Kumpulan Puisi

 

Judul buku: Cinta Tak Pernah
Fanatik

Penulis: Tjak S Parlan

Penerbit: Rua Aksara, Bantul,
Yogyakarta

Cetakan: I, Juli 2021

Tebal: viii + 70 halaman (50
puisi)

Penyunting: Kiki Sulistyo

Desainer Sampul: Fariduddin

Perwajahan Isi: Jaesan

ISBN: 978-623-6650-34-9

 

Sepilihan puisi Tjak S Parlan dalam Cinta Tak Pernah Fanatik
 
Jalan Puisi
 
Siapa yang peduli
dengan lengang panjang ini
—jam-jam tidur yang terlampaui
 
Kamu di mana
ketika jam-jam kerja yang baik
tak berpihak pada kesempatan
puitik kita.
 
Sementara di luar, siang sedikit
mendung
dan terus memanjang serupa
jalan-jalan
yang kerap kuhapalkan namanya
untukmu
hanya agar kita tak tersesat, ke
jalan lain,
 
          selain
puisi.
 
Tapi siapa yang peduli,
orang-orang akan terus berjalan
atau bekerja atau bertengkar atau
tertawa atau menepi
hanya agar tak tersesat
 
          ke
jalan puisi.
 
 
Cinta Tak Pernah Fanatik
 
Kekasihku,
jangankan dalam berkeyakinan
cintaku pun tak pernah fanatik.
 
Sebab aku tak bisa menyayangi
dengan cara-cara yang berisik.
 
Sebab cintaku hanya ketenangan
yang tak ada apa-apanya,
jika kau tak berkenan
menghayatinya
dalam-dalam.
 
 
Sore ini, Aku Sepotong Sungai
 
Sore ini
aku sepotong sungai untukmu.
Arus kecil yang terjaga
dan mengalir ke lapang dadamu.
 
Pohon-pohon kelapa dan
batang-batang sengon
yang bertahan di bantaran,
telah bersedia menjaga
cinta bening yang mengalir
dari hulu ke rumah hilir.
 
 
Setelah Bahagia
 
Setelah bahagia,
aku takut tak mengalami apa-apa
selain rasa bosan
dan kebebalan.
 
Tidakkah menyedihkan,
jika aku tak peka lagi pada rinai
hujan
 
juga derai yang keluar dari
matamu
tersebab aku?
 
Setelah bahagia,
aku takut tak bisa lagi membaca
tanda
bahwa setiap musim
memiliki rezim
 
yang akan menindas
dan menistakan kita setiap kali
ingin menulis puisi.
 
 
Rumah Ari-Ari Itu
 
Di tanah yang padat itu, ia telah
mengubur
segumpal mioma. Ia telah menanam sekendil ari-ari:
batur bagi usia yang subur dan
terberkati.
 
Ia juga menanam bermalam-malam
doa,
agar teman sepantaran yang datang
selepas duha
mendapatkan bagiannya:
sekadar kudapan, mainan-mainan,
dunia
yang nyaris surga.
 
Apa yang lebih surga dari wajah
anak-anak—
yang membuatnya bersetuju menukar
waktu
dengan kelakar tanpa syarat,
tanpa tenggat.
 
Apa yang lebih layak dari sebuah
rumah—
dengan anak-anak yang menumbuhkan
keriangan
di halaman depan. Dengan
kejenakaan-kejenakaan
kecil yang membuatnya menertawai
apa saya yang
dihamburkan televisi, di ruang
tamu.
 
Tapi kelak, sepertinya ia harus
pergi. Mungkin dengan
sedikit terhuyung sembari
mendengar suara ibunya
dari kampung:
 
“Bawalah segumpal tanah itu, agar
ia betah di rumah
yang baru.”
 
Mungkin ia akan bersetuju,
mungkin juga bersiasat
          menolak.
Namun satu hal pasti: ia akan
mengajak mereka
          berlalu
dari rumah ari-ari itu.
 
 
Dentang dari Loji
 
Ia mendengar dentang dari loji
tiga kali. Segera dingin tembaga,
juga bau besi beku merasuk ke
kamarnya.
 
Jam tidur telah sedemikian uzur,
dan umur tak sanggup mengukur
dingin
yang datang dari masa lalu:
 
Dingin yang telah melewati jembatan
gantung, ternak yang hanyut,
tetangga yang
tenggelam di dasar jembatan,
hantu noni-noni
yang gentayangan di pabrik kopi.
 
Ia mendengar dentang dari loji
tiga kali. Ia mendengar detak
jantungnya,
 
jantung kampung halamannya.
 
 
Tengah Malam
 
Kita tersudut di tengah malam,
ketika itu. Anak kita sakit, dan
sepenuhnya kita lupa
cara bercinta. Kita lupa mencatat
panggilan-panggilan darurat:
panggilan taksi,
rekening pribadi, telepon rumah
tetangga,
nomor kontak kawan dekat.
 
Kita lupa membalas SMS selamat
ulang tahun itu.
 
Saat kau melangkah ke dapur, aku
tahu
ada kalanya kita tak bisa
mengandalkan bawang merah
yang kerap membuat mata teduhmu
berair dan
membawa-bawa aroma pasar ke dalam
kamar,
atau paracetamol yang membeku di kotak obat:
penghalau demam bagi pemegang
kartu BPJS itu.
 
Tapi kita tak punya kartu.
Kecuali alamat sementara,
kita tak punya apa-apa yang
penting untuk dicatatkan
          pada
negara
—negara tak butuh apa-apa dari
kita.
 
Kita tersudut di tengah malam,
ketika itu. Anak kita yang
bertahan dan lelah
          menangis,
tertidur dalam kantung matamu
yang hangat
dan berat.
 
Lalu pukul empat dini hari,
sebuah SMS masuk
—pesan pendek yang selama
berbulan-bulan aku
          sembunyikan,
baik darimu, dari puisi, dari
keadaan.
 
“Tak bisa tidur, Bung? Tak kau
terima saja tawaran
          itu?”
 
Aku terbayang ruang ICU, kantor
polisi, jeruji besi,
kue ulang tahun, mobil mainan,
sebuah brosur rumah
          bersubsidi.
Aku menatapmu, aku menatap
kekasih kecil kita
yang tertidur. Aku membalas
sebuah pesan:
 
“Aku ikut. Aku jalankan.”
 
Sebelum tertidur, aku menghapus
SMS itu darimu,
dari puisi, dari keadaan.
 
 
Tempat yang Terlalu Sempit untuk Bersedih
 
“Sudah bukan saatnya
kita berumah di kamar,” kataku.
 
Aku tahu, itu bukan perihal yang
ingin kau dengar.
Kamu juga tahu, itu jenis pembicaraan
yang paling
          sering
ingin kuhindari. Tapi hari ini,
drama itu telah dimulai.
 
Buku-buku itu selalu menyita
banyak waktu dan
          tempat.
Sementara, anak kita butuh
lapangan bola, langit
cerah yang luas juga
burung-burung origami
yang beterbangan di dalam rumah.
 
Tapi rumah adalah jarak, yang
hanya bisa
ditempuh dengan cita-cita. Rumah
bukan hari ini
—ia adalah sesuatu yang sering
kita sebut
dengan mata berkunang-kunang
sebagai nanti.
 
“Aku harus mulai memikirkan
tempat kerja di luar,” kataku.
 
Untuk ke sekian kali, kamu
mendengar yang
seperti ini. Tapi mungkin benar,
bahwa
masih banyak hal di luar yang
menunggu didengar.
Sementara di kamar, kita belum
kelar mengurusi
rasa lapar.
 
Tapi aku—juga kamu—tak akan
menggigil,
oleh kering-dinginnya angin yang
diembuskan
dari masa paceklik. Ini mungkin
pancaroba, tak ada
waktu untuk merasa paling jatuh
dan sia-sia.
 
Aku bahkan mulai ragu, bahwa kita
masih bisa bersedih
di tempat yang terlalu sempit
untuk bersedih ini.
 
 
Aku Merindukan Bunyi Klakson Kapal Itu
 
Aku merindukan bunyi klakson
kapal itu hari ini,
bunyi yang biasanya menyusup ke
kamar kita
 
Kitakah yang terlambat mendengar?
Atau cuaca sedang buruk hingga
satu-satunya cara
untuk tiba adalah berdoa dengan
hati yang memar.
 
Kita mungkin pernah membayangkan
bagaimana rasanya berdiri
sendirian di bibir dermaga
ketika pancaroba.
 
Aku mungkin pernah menunggu
seseorang
yang kukira sedang kuinginkan
sepenuhnya,
Namun, kabar badai telah
menghapus jadwal
          perjalanan
dan aku pulang menghapus semua
ingatan:
cinta muda yang rentan.
 
Kini aku bersamamu, tinggal di
sebuah kota
yang terlihat begitu gampang bagi
kebanyakan orang,
tetapi kerap membagikan kerumitan
bagi kita.
 
Dan kita menerimanya dengan
sesekali perih
yang mencoba kita samarkan
dengan ketabahan berkarat
yang tak pernah kita ralat.
 
Dan kita saling mencintai dengan
selingan ancaman
asam lambung yang tak bisa
disembunyikan
—yang kerap tak kuasa kita lawan
dengan pekerjaan.
 
Aku merindukan bunyi klakson kapal
itu lagi hari ini,
namun, hingga dini hari tadi,
aku hanya mendengar bunyi yang
lain.
 
Gemuruh dari dalam perutmukah
itu?
 
Atau cuaca yang rentan,
telah menghapus semua jadwal
perjalanan.
 
 
Musim yang Baik
 
Ini musim yang baik
untuk menulis apa saja di sekitar
kita.
Barangkali tentang
pertanyaan-pertanyaan sederhana,
peristiwa yang terjadi dalam
novel-novel metropop
—sudah berapa kata kau kumpulkan
hari ini?
 
Di luar kamar, hujan turun
seharian.
Seseorang mungkin telah
menyeberang jalan,
mengembangkan payung dan
tergesa-gesa menuju kios
          kecil
hanya untuk membeli lilin dan
gula secukupnya.
 
Anakmu bermain sendirian di
beranda
dan hujan telah membikinkan kolam
kecil untuknya.
Sebuah perahu kertas yang kau
bangun dengan
          tanganmu
yang kerap kesemutan
terdampar di sisi lain halaman.
 
Istrimu menyeduhkan kopi,
lambung dan dadamu sudah
terbiasa  dengan segala
          ironi
Lalu pertanyaan-pertanyaan
sederhana tentang
          peristiwa
yang terjadi
dalam novel-novel metropop,
menggema dalam
          kepalamu
—sudah berapa kata kau kumpulkan
hari ini?
 
Kamu sesap kopimu yang hangat,
tetapi sore tetap saja basah dan
berwarna abu.
Dan kamu sudah terbiasa dengan
sesuatu
yang tiba-tiba merembes dari
sudut matamu.
 
 
Sungai Kecil di Desa
 
Setiap kali melewati sungai kecil
itu,
ia membayangkan dirinya
batu-batu,
rumah bagi udang-udang kecil
yang gemuk.
 
Tempat yang kuat
bagi kenangan kecilnya yang telah
lewat.
 
Setiap kali melewati sungai kecil
itu,
segala sesuatu semakin menyusut:
orang-orang, usia
ikan-ikan,
 
segalanya.
 
 
Fragmen Karet
 
Tubuhmu yang luka, telah
mengucurkan
nasib baik yang ditampung ibu
dari waktu ke waktu.
 
Aku yang rawan
tak bisa menampung apa-apa
selain ingatan:
 
tentang ibu yang kerap menyalakan
suluh bambu
dan melintasi subuh buta untuk
melukai
tubuhmu
 
tentang ibu yang menampung
nasibku.
 
 
Tentang Tjak
S Parlan
Tak ada dituliskan biodata Tjak S Parlan di kumpulan puisi versi digital ini. Cari di Google aja, ya.
 
 
Catatan Lain

            Ada 3 halaman yang
memuat buku-buku puisi terbitan Rua Aksara, lengkap dengan cover bukunya
(halaman 78-80): Amal Bayu Ramdhana –
Komposisi
Melankoli untuk Jehan
, Chima W Putri – Eden,
Wendoko –
Puisi Kanvas, Ganjar
Sudibyo –
Variasi Kebahagiaan &
Beberapa Roman
, dan Ganang Ajie Putra – Tata
Cara Berbaikan
. Halaman berikutnya ada seri puisi terjemahan, dengan
penerjemah Lutfi Mardiansyah, yaitu Roberto Bolano –
Para Bajingan yang Romantis, Charles Bukowski – Cara Menjadi Penulis Hebat, dan Raymond
Carver –
Kalian Tidak Tahu Apa Itu Cinta.
 Halaman selanjutnya ada Seri Puisi
Latin-Indonesia terjemah Mario F Lawi, yaitu Sulpicia –
Elegidia, Ovidius – Ramuan bagi
Wajah Perempuan
dan Pervigilium
Veneris
. Begitu.


Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top