Terkutuk
Surabaya.
esai)
Press
Sastra Dewan Kesenian Surabaya, 26 September 2000
Memasukkan Jangkrik ke Kupingku) dan
“Suka-suka”)
Sepilihan puisi Rusdi Zaki dalam Para Mambang di Kota Terkutuk
PERTARUNGAN BARU DIMULAI
aku berdiri di ujung tahun ribuan
matahari terbit berwarna metalik
biasnya semburat di kain rentang
gaun para perancang mode abad
lalu
ini abad baru! Ini milenium baru!
aku masih terkapar di dalam perut
titanic
di dasar laut peradaban. Beku!
orang-orang berkulit pastel
melepas burung logam ke ruang
angkasa
mematuki satelit dan kembang
plastik
menjaring bumi sebagai onde-onde
aku melipat kertas menjadi
kupu-kupu
mainan anakku di tengah padang
waktu
merencanakan ziarah ke galaksi
orang-orang ketemu alien
menggambar alam semesta dengan
laptop
dengan sebilah tuts insert
berkali-kali
pertarungan baru dimulai
melucuti ikon keserakahan
kefakiran dan kenisbian
dalam monitor tak bertepi
temanggungan-sepanda/ 30/12/1999
JAZZ UNTUK SEORANG PENYAIR
Suara Louis Amstrong mengerang
liar
Di bar, lewat bibir dower
penyanyi baru
Kulitnya mengkilat ditimba lampu
strobo
Lampu spot dan kerlap-kerlip
jaketnya
“Hello Dolly…”
(Lantas suara trompet dari
elekton mengiris-iris nyeri)
Para penyair pun membaca puisinya
dengan irama blues
Sebuah bintang jatuh ke tengah
jantung refrein
“Kau punya duit?” sapamu
Pejabat kota, bankir, ulama,
dokter,
Pengacara, wartawan, mahasiswa,
Manggut-manggut memuji-muji
bunga,
Angin, cemara, seperti dalam
puisi
Seorang perempuan tertawa kering
Jemarinya yang menjepit rokok
putih
Menutupi mulut. Malu
(Di ujung kampung seekor anjing
terkaing-kaing)
“Aku minta maaf,” kata kau
Para penyair terus saja menulis
puisi
Di atas Boeing 747 melintasi
Atlantik
Padang ilalang melambai-lambai
Pikiranku melompat-lompat
Dari anyir bir dan asin masam
tequilla
Lewat bibir dower penyanyi baru
beracapella
Pada coda “Persetan kau pembual!”
Aku tulis puisi
Di ruang seminar sibernetik
keniscayaan
Tak seorang pun mau mengerti
SEPASANG JANGKRIK MENDEKAM DALAM KUPING
Sepasang jangkrik melompat dalam
kuping kanan
lantas seekor lagi melompat ke
kuping kiri
Mungkin mereka sepasang jangkrik
kelaparan
Sepasang jangkrik mendekam dalam
kuping
Suaranya menggema dalam gendang
telinga
krik, krik, krik…
Sepasang jangkrik mendekam dalam
kuping
suaranya menggangu tidur siang
dan malam
krik, krik, krik…
Semua kepala merasa pening
karena tak ada suara lain
kecuali krik, krik, krik…
Sampai semua pekerjaan berantakan
Mendengar suara yang sama setiap
saat
krik, krik, krik…
Berbulan-bulan sepasang jangkrik
itu
Mendekam dalam kuping.
Mereka menggerogoti saluran
telinga
Menuju otak sambil mengerik
krik, krik, krik…
Di otak besar, jangkrik-jangkrik
berpesta pora
memamah cairan ingatan dan
intelektual
krik, krik, krik…
Lantas jangkrik-jangkrik mengoyak
otak kecil
Saraf-saraf motorik digigiti
satu-satu
krik, krik, krik…
Sepasang jangkrik melompat keluar
dari lubang hidung
Seekor lagi melompat dari
kerongkongan.
Mereka telah melumpuhkan diriku
Sehingga tak mempu mengeluarkan
komentar
kecuali krik, krik, krik…
Jangkrik
1412
MESIN CUCI MARSA
Marsa tak mencuci sendiri
pakaiannya. Setiap pagi, ia
serahkan pada Bibi Muna. Tetangga
di seberang sungai.
Lantas Marsa pergi kerja.
Meninggalkan rumahnya sendirian.
Para tetangga menyarankan Marsa
membeli mesin cuci.
“Berapa kau bayar Bibi Muna
setiap kali mencuci?” para
tetangga menyelidik. “Kumpulkan
selama tiga tahun, kau
akan mendapatkan mesin cuci baru
Marsa. Cash.”
Alangkah benarnya usul para
tetangga. Marsa memikirkannya.
Tapi kapan sempat aku menyeterika
pakaian hasi mesin
cuci? Dan ongkos cucianku selama
tiga tahun harus
kutabung, betapa kotor baju-baju,
rok, dan blus-ku tak
tersiram air-sabun selama itu?
Dan, Bibi Muna, tak tega
Aku merampas penghasilannya guna
membeli mesin cuci.
Marsa tak mencuci sendiri
pakaiannya. Setiap pagi, ia
serahkan pada Bibi Muna. Tetangga
di seberang sungai.
Lantas Marsa pergi kerja. Meninggalkan
rumahnya sendirian.
Karena dia tak perlu menunggu
cucian kering di jemuran
depan rumahnya.
4/7/96
KALIMAS
Mula-mula cuma papan kecil
bertuliskan: Jangan beraki
Kalimas.
Para penyelamat lingkungan pun
menyalami walikota dan
gubernur.
“Ini program pembangunan paling
spektakuler,” kata mereka
dengan mulut penuh sosis
kepedasan.
Kemudian muncul papan-papan
kecil, sedang, bahkan besar.
Bukan
berisi larangan. Tapi papan iklan
menawarkankan resor eksklusif
di tepi Kalimas.
Para pengembang membangun saluran
berkelok-kelok.
Mengusir para urban gelandangan.
Mengentas para pencari
cacing. Menodong dengan meriam
para pencari emas. Sebuah
kapal selam selalu berpatroli
mengawasi Kalimas.
“Ini aliran darah yang harus
steril,” kata para investor sambil
menebar komisi kepada para
eksekutif kota.
Lantas seorang pelajar kecemplung
Kalimas ketika berwisata
dengan perahu tambang.
Para pejabat kota pun mencari
kambing hitam. Pemilik perahu
diinterogasi.
Pengelola tambang disidik.
Keputusan pun diambil. Kesalahan
ada pada Perda yang belum dibuat.
Yakni keharusan warga
kota agar bisa berenang.
1997
HATI MEMBATU
Sampai ke ubun-ubun
Kerongkongan melepuh
Telinga tetap tertutup
Hati membatu
1999
PERTANDA
Segenggam kembang
Sehasta tanah
Jadi pertanda
Segenggam kembang
Sehasta tanah
Tergerus air mata
Hanyut ke laut
Sepilihan puisi H.U. Mardi Luhung dalam Para Mambang di Kota Terkutuk
KOTA YANG TERKUTUK
Kota yang terkutuk adalah
sekarung-tenung
yang galau oleh bisik-bisik dan
bom
dan di atasnya, sekiat
perut-matahari
mengeringkan seluruh sumber
yang tersisa di lipatan-ketiak
yang retak, bau dan beruap
dan bom (tepat di kelangkangnya)
meledak
benih semburat, mengapung di
antara pucuk
di bawah telapak malaikat yang
mencangkung
sambil melipat sepasang sayapnya
karena angin tak lagi ingin, dan
ingin
pelan-pelan meluruh ke lempung
kota yang terkutuk adakah tenung,
adakah lempung?
di sepanjang sepanduk dan baliho
yang mengkekar
orang-orang saling berlingkaran
dan menderas: “Mengapa kami
dikutuk dengan
tenung, bisik-bisik dan bom!”
Sepanduk dan baliho
yang mengkekar itu pun menggeliat
membeliak, dan seperti lubang
atas lubang
pekik-pekik pun bergaungan,
seperti zik-zak yang
selalu mengunyahi seluruh apa
yang telah dilupakan
atas yang merayap, merangkak atau
menggoser
dengan wujud pipih, lonjong atau
bulat, dan
atas yang selalu mencabut-cabut
bulu
yang bertumbuhan di sekujur
tubuh:
“Kota yang terkutuk!”
(Gresik, 2000)
KILAT CAKRAM
Masih mengeram nafas ini
sebelum menyergap bau-tubuhmu
yang tersimpan di selat itu
mungkin, kali ini, aku
mendapatkanmu
lalu menjilatinya di geladak
kapal
sambil dikelupasi ombak
yang bersap tiga-puluh-tiga
ombak yang di puncaknya:
bunga-cahaya
dengan kelopak melengkung ke
atas,
menghujam ke mata-bulan:
bulan-batu
dan di mata-bulan-batu itu
kau tudingkan seluruh
pencapaianmu
yang telah menggumpalkan
kerangka-kala
yang selama berabad-abad
membuat setapak di angkasa
seperti setapak turis
yang telah menghafal sekian nama
tapi tak pernah diingat:
“Sekian cakar yang telah tertiris
oleh berbagai persibakuan.”
lalu, siapa yang kau tunggu?
bukankah bunyi-cangkang yang
ditumbuk
nyali-hitam dengan rambut-merah
itu
adalah
dengus-kegelisahan-renjanamu?
renjana yang telah melimbungkan
bintang-jatuh
sampai akar-karang yang ruwet
pun menjadi gemetar, menjadi
sejumput sesaji
yang membusuk di rahang-arus,
lalu
menjerit, sebelum tenggelam, dan
ditangkap oleh penyelam-penyelam
gaib
penyelam-penyelam gaib yang
dengan rebab
berkata: “Kami ambil lagi apa
yang telah
dibuang, kami buang lagi apa yang
telah diambil,
rambut yang tersanggul biarlah
kami urai
dan biarlah juga,
keliningan-keliningan
terpasang di situ, sebab antara
jaga dan pejam,
kami selalu melingkar, menaik,
turun, dan kembali
lagi melingkar, seperti
diagram-diagrammu
yang terekam di kilat-kilat
cakram
disegelkan di jantung-jantung
palung.”
PEKIK LAUT
Celah-celah setapak-laut terbuka
Arahnya
berkelok-naik-turun seperti pengantin
Yang berangkat memetik kembang di
ombak-ombak
Di
musim-kuning-memplak, ketika yang dimiliki dulu
Masih berpendaran di kedalaman
Sedang
di atasnya: batas-nafas, lalu ruang-udara,
Dan jelajah yang melayang lewat
kegemulaiannya
Sepanjang
permukaan: ikan, ganggang dan
Terumbu akan mengantar
Berapa
hitungannya: “Sepuluh, seratus, seribu?”
Barangkali tak akan terhitung,
sebab
Gandulan-gandulan
di leher telah dipukul
Dan patung-patung yang
diterjunkan dulu
Itu
pun telah membuka pelupuknya
Mencopot mahkota dan jubahnya
Hanya
sekedar memberi lambaian: “Selamat jalan,
Salam!” Salam pada siapa dan apa?
Aku
tak pernah punya kenalan
Tokh, papan-tarung-yang-terbentang
tetap sediakala
Melebar
dan mencibir dua pendebat
Yang salah-satunya menghunus
keris, sedang keduanya
Saling
menjulurkan lidah:
“Lurus lawan bengkok, bengkok
lawan lurus.”
Dua
bertangkup satu, dua-duanya pun lepas
mengalir di perut-perut siput dan
lumut
Dan
bakat, akankah terbawa juga? Menulis, membaca
dan memangkas batu dan bakau,
barangkali kini
Seperti
lubang yang dalam, yang akan
melunturkan diri-sendiri, tanpa
tangis, tawa atau
Apa-apa.
sebab, di palung-palung-telinga-sana
telah aku lempengkan sekian nama
dan hikayat
Agar
tak bisa lagi menarik lengan-nyali dan
mendorong pinggul-gairah, lewat
celupan
Yang
demikian kecut dan melecut
dan menyemat di rumah-rumah di
pasir-pasir
Seperti
tahun-tahun yang ini, tahun-tahun yang
lalu, tahun-tahun yang nanti: “Sesaat
saja.”
(gresik, 1999-2000)
LEMBING
Lembing-lembing yang menembusi
tubuhku
Membikin lubang-lubang ungu dan
merah
Dan kapal-kapal yang lentur
Saling menelusupi dan memasuki,
sambil
Mengibarkan ketinggian tiang dan
benderanya
Dan tiap-tiap peta yang ada
Adalah sebaris-bisik yang
tersimpan nun-jauh
Seperti ingatan yang diawetkan
Di antara pembibitan, pertumbuhan
dan
Setangkup benteng yag gemetar
Lalu tubuhku yang lubang-lubang
itu pun menggelembung
Di dalamnya kapal-kapal pun terus
berlayaran
Seperti siput ada jejak yang
diguritnya
Ada lendir yang ditaburinya
Dan ada karang, pulau serta
pelabuhan-pelabuhan
Tempat para nelayan saling
menggosokkan nafsunya
Sambil sesekali menyiapkan belati
serta
Selembar codet yang akan
dipasang, tepat
Ketika potongan-potongan kepala
Telah genap terlumpuhkan dengan
acak
Dan tubuhku yang lubang-lubang
dan menggelembung itu
Pun jadi makin menggelembung
Seperti buntalan-bukit-berongga,
ia mengambang
Jauh ke atas, dan sorot-cahaya
pun
Saling-silang lewat lubang-lubang
ungu dan merahnya:
“Lubang-lubang terbinar,”
Lubang-lubang sang ular,
lubang-lubang (yang di
lambungnya) pekik-gelombang
bergaung, seperti akan
memuntahkan
seluruh apa yang telah dikucupnya
dari sekian
daging, darah, urat dan
kelopak-indung
kelopak yang ketika membuka
gigir-cakramnya
menyulut ledakan demi
ledakan-purba
ledakan yang membuat tiang-tiang
dan bendera-bendera
peta-peta dan potongan-potongan
kepala
di gelembung tubuhku pun jadi
berloncatan
seperti loncatan-loncatan arwah
lembing-lembing
lembing-lembing yang akan kembali
menembusi
setiap tubuh (barangkali juga
tubuhmu). Dan kapal-kapal
yang lentur yang lain pun, saling-sedia
untuk
kembali menelusupi dan
memasukinya.
(Gresik, 2000)
SATU SABETAN
Hantu-hantu nyata yang muncul
pada kegilaan-pagi yang sendirimu
membentangkan rahangnya
giginya yang ganjil seperti
ketajaman
di pangkal-kulit-ari-kulup-auratmu:
“Gerangan apa yang kau rasakan?”
lalu pada bulan-kotor dan bocor
diserahkan seluruh sentuhanmu
lidahmu pun terulur ke ruap-gelat
sampai, kau merasa seperti
menghirup
kemurnian awet dari
sumur-sihir-umur
yang menjadikan penorama
tatapanmu
menggilasi yang tumbuh dan
menumbuh
dan segenap jiwa-murni yang tak
sempat
melihat kelenyapan yang demikian
dekat
kaukah itu pedagang-bengal
yang telah menukar selembar-kabar
lewat kitab tentang pemujaan?
pemujaan dewa-dewa
setangah-manusia
yang datang dengan iringan
mambang
dan bersemayam di sekuntum bunga?
sebongkah-patung pun kau tanam
di perutnya kau desakkan
sebaris-hikayat
yang tak perlu untuk digenapi
pangkal-kulit-ari-kulup-auratmu
pun tinggal satu sabetan
(gresik, 2000)
Tentang Rusdi
Zaki dan H.U. Mardi Luhung
Rusdi Zaki (dulu Roesdi Zaki) lahir di Surabaya, 1959. Lulus FISIP
Unair 1987. Menulis puisi, cerpen, dan artikel kesenian di beberapa media massa
dan antologi. Bekerja di Surabaya Post dan menetap di Sidoarjo.
H.U. Mardi Luhung lahir di Gresik, 1965. Lulus fakultas
Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Jember 1989. Bekerja sebagai guru. Tulisannya
tersebar di berbagai media massa dan antologi bersama. Salah satunya Mimbar
Penyair Abad 21.
Biodata para penyair tertulis di
sampul belakang buku.
Catatan Lain
10 judul puisi di buku ini, sedang H.U. Mardi Luhung menyumbang 7 judul puisi.
10 puisi Rusdi Zaki itu adalah Jazz untuk
Seorang Penyair, Ada Walikota Suka Berang, Kalimas, Sepasang Jangkrik Mendekam
dalam Kuping, Mesin Cuci Marsa, Pertanda, Darah Menetes, Hati Membatu, Kucing
Makan Kembang, dan Pertarungan Baru
Dimulai. Sedang sajak-sajak H.U. Mardi Luhung yang 7 itu adalah Satu Sabetan, Kubur Panjang, Ponten, Kilat
Cakram, Kota yang Terkutuk, Pekik Laut dan Lembing. Begitu.
Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.