ALAM Bali memang tak pernah habis digali sebagai inspirasi untuk menciptakan karya-karya seni. Seniman dunia, seniman nasional dan seniman lokal, baik penari, sastrawan, dramawan atau pelukis, seakan terus berebut untuk menangkap detil-detil keindahan sekaligus persoalan-persoalan yang terjadi di Pulau Dewata. Mulai dari Walter Spies, Arie Smit, Antonio Blanco, hingga Rendra dan Sardono W Kusumo.
Made Adnyana Ole, sastrawan yang tinggal di Singaraja, juga tak bisa berkelit dari inspirasi yang ditampilkan alam Bali yang menjadi daerah kelahirannya. Dalam buku antologi puisi terbaru yang bertajuk “Dongeng dari Utara”, sastrawan yang lahir di Desa Marga Dauh Puri, Tabanan, itu sebagianbesar menampilkan puisi yang digali dari alam Bali. Tentu saja bukan sekadar keindahan alam Bali, melainkan juga segala soal yang berkaitan dengan kecemasan dan kekhawatiran orang-orang Bali terhadap alam yang mereka miliki.
Buku antologi “Dongeng dari Utara” diterbitkan Akar Indonesia, Yogayakarta, Mei 2014. Buku itu berisi 57 puisi yang ditulis sejak tahun 1984 hingga 2012. Puisi-puisi ditulis sejak ia tinggal di kampung halamannya di Desa Marga Tabanan, ketika bergaul di Denpasar dan ketika tinggal di Singaraja.
Dalam kata pengantarnya, Made Adnyana Ole menuliskan bahwa tiga wilayah yang ditempatinya itu memiliki alam berbeda yang kemudian mempengaruhi proses kreatif dalam menulis puisi. Yakni alam pertanian di Tabanan, alam perkotaan di Denpasar dan alam pesisir di Singaraja. “Masing-masing dari alam itu memberi iklim, suasana dan cuaca berbeda. Tabanan agraris, Denpasar urban, Singaraja maritim. Tabanan relatif dingin, Denpasar gerah, Singaraja panas,” katanya.
Menurutnya, puisi-puisi yang terkumpul dalam buku ini sebagian besar dipengaruhi oleh tiga alam itu. Alam tempat lahir dan tumbuh, alam tempat belajar dan berkembang, alam tempat menetap dan melestarikan hidup. Itu setidaknya bisa dilihat dari upaya yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dalam menemukan idiom, metafora serta rancang bangun suasana alam dan cuaca hati dalam puisi. Alam agraris misalnya menyumbang “padi”, “subak”, “air”, “rumput”, “tegalan”, “ikan”, “lumpur”, “bajak”, “sapi”, “lumbung” dan “telaga”. Lingkungan urban antara lain memberikan “rumah sakit”, “menara” dan “taman budaya”. Dari alam maritim di antaranya muncul “laut”, “nelayan” dan “pasir”. Kata-kata yang disebutkan itu tentu saja bukan hal baru dalam puisi-puisi Indonesia. Mungkin terdapat ribuan puisi telah ditulis dengan banyak kata “rumput” dan “laut” atau sejenisnya. “Namun saya tak bisa berkelit untuk tidak menuliskannya. Saya hidup di dalamnya. Dan saya menulis puisi tentang sesuatu yang hidup dalam diri saya, atau sesuatu di luar diri yang membuat saya hidup,” ujarnya.
Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha Singaraja, Dr. Gede Artawan, M.Pd., dalam acara bedah buku di Undiksha mengatakan puisi-puisi Made Adnyana Ole dalam antologi “Dongeng dari Utara” menyuguhkan persoalan-persoalan alam Bali dalam bangunan metafora yang kental. Metafora bukan hanya tempelan, melainkan metafora itu diciptakan dengan apik oleh penyairnya. “Puisi-puisi Ole seperti bangunan orkestra metafora yang bukan hanya diperoleh begitu saja dari alam, melainkan dilahirkan, diciptakan dan dibangun dari alam itu sendiri,” ujarnya.
Adek Alwi, sastrawan dan jurnalis senior yang tinggal di Jakarta dalam note akun facebook-nya, menilai Made Adnyana Ole di sebagian besar puisinya memang menampilkan berbagai aspek Bali –dan itu jelas tak serupa yang dipahami wisatawan. Adnyana Ole kenal betul tanah leluhurnya, manusianya, iklim, kebiasaan-tradisi-budaya, dan seterusnya. Dan ia tidak sekadar bertutur tentang beragam hal itu –apalagi berbangga yang merujuk ke promosi. “Dia menyelam-menelusuri yang diwarisi dari sang Pencipta via leluhur, menyatu-merenunginya –makanya saya tangkap pula bisik kuatir bak gumam yang tertahan, kalau-kalau warisan itu bakal terkikis apalagi punah sebutlah oleh arus masa terlebih gegap-gempita pariwisata,” katanya.
Di sisi lain, Adek Alwi mengatakan kedekatan hubungan dengan alam itu pulalahmaka Adnyana Ole memetik energi-energi asosiatif diksi serta metafora yang bersumber dari alam. Dan hal itu kelihatan di banyak puisi dia, sebut contohnya di “Waktu Kita Jatuh”, “Mata Ikan”, “Tentang Janji”, “Dongeng dari Utara”, “Tegalan 1”, “Tegalan 2”, “Tanah Kebenaran”, “Perkampungan Gerimis”, “Cerita Kegagalan”, “Interior Danau” dan lain sebagainya.
Made Adnyana Ole lahir di Marga, Tabanan, Bali, dan menulis sejak SMP. Sempat bergabung dengan sejumlah penyair Bali di Sanggar Minum Kopi (SMK) dan kemudian mendirikan Yayasan Selakunda di Tabanan. Puisi dan cerpennya dimuat di sejumlah media massa, seperti Bali Post, Nusa, Suara Karya, Jawa Pos, Koran Tempo, Kompas, Horison, Minggu Pagi dan rumahlebah ruangpuisi. Puisinya terkumpul dalam berbagai antologi puisi, antara lain Antologi Puisi Indonesia (Komunitas Sastra Indonesia, 1997), Amsal Sebuah Patung (Yayasan Borobudur, 1997), Bunga Rampai Puisi Bali (Bali Mangsi, 1999), Datang dari Masa Depan (Sanggar Satra Tasik, 2000), Bali The Morning After (Darma Printing Australia, 2000), Art and Peace (Buratwangi, 2000), 100 Puisi Terbaik Indonesia (GPU, 2008), Singa Ambara Raja dan Burung-Burung Utara (Mahima Institute Indonesia, 2013), serta Dendang Denpasar Nyiur Sanur (Arti Foundation dan Pemkot Denpasar, 2012). Buku kumpulan cerpen tunggalnya, Padi Dumadi, diterbitkan Arti Foundation, 2007. Bersama buku kumpulan cerpennya itu, tahun 2007, ia mendapat penghargaan Widya Pataka di bidang kepenulisan dari Gubernur Bali. Beberapa kali terlibat dalam acara Ubud Writers and Readers sebagai pemateri, pembaca puisi dan kurator untuk penulis Indonesia. (ANA/BI)
Sumber: Bali Inspirasi
Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.