Data buku kumpulan puisi
Judul : Penyadaran
Penulis : Budhi Setyawan
Cetakan : I, September 2006
Penerbit : Bumi Budhi, Jakarta Pusat.
Tebal : xiv + 100 halaman (88 puisi)
ISBN : 979-15264-1-9
Desain cover : Lukisan Telinga Dunia, 2006, Budhi Setyawan
Penyadaran terdiri atas 2 bagian, yaitu Penyadaran (45 puisi) dan Kebangkitan (43 puisi)
Sepilihan puisi Budhi Setyawan dalam Penyadaran
NAFAS EKOR KUDA
Bunga yang tumbuh di balik nadi
menarik nafasku mengarungi belantara
menggelitiki hidungku geli
dan bersin menyebarkan salam
nafasku yang turun naik memegangi ekor kuda
bertanya-tanya apa maksud sebenarnya
pertikaian membelenggu langkah ubur-ubur
mencari sosok akar kata di pinggir perkampungan
pagiku beranjak sendiri, dengan tanpa basa-basi
berlalu meninggalkan kepulan asap rokok
menggelitik hidung alam raya
nafas terbelenggu di bawah tempurung
ekor kuda yang menepuk-nepuk mukaku
menjadi tangan kekasih yang lincah
mengelus seluruh sudut kelemahanku
dan terengah-engah memburu bulan bulat di langit
lalu dimanakah kini kekasihku?
Jakarta, 8 Mei 2001
MALAM SEHABIS HUJAN
Jari malam menancapkan kukunya di kegelapan
langkah angin terhenti tersandung kebekuan
dan rembulan terpaku lesu tertidur di atas awan
binatang malam berpencar menjelajahi tengkuk jalanan
menyebar aroma keterasingan
suara tetes air hujan menimpa lembah daun-daun
atau jerit demonstran
atau tangis insan yang bersimpuh di depan nasib
menelanjangi garis tangan
mencari kemana mengalirnya air liur yang membawa
sampan-sampan tanpa kompas
malam menanyakan sejarah yang belum bicara dengan
sejujurnya
agar anak cucu tak lagi menembaki burung-burung lagi
yang semestinya jadi penghias damai belantara
Jakarta, 17 Januari 2001
DI MANAKAH
Di manakah suka
jika belum air
di manakah sabar
jika belum samudera
di manakah rindu
jika belum rembulan
di manakah kasih
jika belum udara
di manakah sayang
jika belum danau
di manakah cinta
jika belum matahari
di manakah hati
jika belum tanah
Yogya Purworejo, 4 Januari 2001
BETAPA SULITNYA MENANGKAP YOGYA
Gang-gang sempit dan pasar telah larut ke jagad
beriringan dengan nadi pembuluh memukul-mukul jantung
tiang listrik membungkuk beri hormat pada becak dan andong
tak peduli siang ataupun malam
es batu mencair di ubun-ubun petani dan pedagang
mengurai warna-warni nasib dan pengharapan
menetes di mangkok-mangkok keseharian
lelah letih lesu, raih
es batu bercampur keringat di keranjang dan bakul
perputaran keadaan
makin padu tanpa ada yang terganggu
sepakat menuruni lembah mendaki bukit, tak apa lecet
sedikit
biar nyala tetap menebar sinar
gang sempit masih saja sempit
kadang kian sempit
namun ada jalan yang sangat lapang
di atas langit membentang luas menerawang
Pasar Beringharjo (Yogyakarta), 3 Januari 2001
KEMBALI
Angin memukul ombak
terlukis di kening pengembara
api membakar gubuk-gubuk peneduh
menyambar butiran lembut di bilik jantung
air bah tenggelamkan kota desa
bayangan nurani terseret arus perbudakan
tanah retak-retak tertawa
menggumam pecahnya kaca jadi beling
kisah yang cepat melesat
hanya dengan cambukan ciptoning
sapi-sapi akan segera kembali ke habitatnya
Jakarta, 2 Juli 2001
SENANDUNG SI BISU
Dengan menyandang sebuah gitar ukulele
seorang bocah menyanyikan lagu
entah lagu lama atau lagu baru
karena sang penyanyinya seorang bisu
suaranya yang parau menggesek terik siang
sesak panas dalam bis kota
mengaduk-aduk pikiran para penumpang
bertamasya ke pengalaman masing-masing
irama musik dan lagunya
kadang seperti tak sejalan
atau karena telinga penumpang sulit mendengar
suara-suara yang terlontar apa adanya
mungkin dibutuhkan alat bantu dengar
dengan meminjam telinga langit
biar bisa terdengar merdunya nada
dari penyanyi bisu sepanjang jalan
senandung si bisu masih terngiang
diterbangkan angin ke pelosok-pelosok rasa
dan menyisakan tanya di kaca jendela bis kota
Jakarta, 7 & 8 April 2001
PINGSAN CINTA
Sehelai rambutmu yang terbang terbawa angin
bagai elang mengepak rembulan
membawa lahar merapi merayapi sungai-sungai dalam
dadaku
mengalir menggelora, memacu kijang kencana
menyerbu ke arena lain dunia
malam-malam menunjukkan kekuatannya
dengan magnet yang sangat lekat
membentuk jalanan satu arah di alam pikiran dan
perasaan
serasa pusaran air yang tak henti
kian deras mencipta kerucut meruncing
mencocok hidung kerbau, meruntuhkan dinding
keangkuhan semu kepura-puraan
tanpa suara dan tanpa permisi
engkau telah mengalirkan lahar selalu
menggolakkan magma di dasar bumi,
ke pipa-pipa biru dalam tubuhku
manjakan bintang-bintang menyorotkan
sinar ke dedaunan basah
mewadahi tenaga api, angin, air, tanah
jagadku yang kecil
kebingungan membaca scenario zaman
saat semua tenaga menerpa, unjuk gigi
dengan wajah berwarna-warni
lengkap dengan alat sesaji
ini terlalu menyenangkan
ini terlalu menggembirakan
ini terlalu berat
sedangkan seorang Musa pingsan di hadapan
Bukit Tursina
aku tak ingat apa-apa
dengan aliran lahar selalu
aku telah menggali sumur
terus masuk ke pedalaman sumur
dengan sarat mata air
ingin… ingin …
Jakarta, 23, 24, 25 Pebruari 2001
POSTER
Poster-poster yang terpampang
di kamar, di tempat hiburan, di jalan-jalan
telah menjadi hantu dalam aliran darah
menakut-nakuti anak kehidupan
mengajak ke dunia kepul uap pelarian
ngeri berpapasan dengan butiran realitas
mata nanar tanpa pandangan
keluar pagar menggapai-gapai awan
mainkan warna, menyusup ke keramaian pasar
merajuk dunia menggendong serpihan keramik lantai
memukul-nukul dari balik baju
lewat jalan becek berlumpur
menggenang sampai di kebun anggur
mata tak melihat apa-apa
poster-poster kian ramai beterbangan di angkasa
bergerak lincah tinggalkan laju pesawat
menyibak ketenangan menyemprotkan gas ketagihan
tak peduli hujan atau panas
bagai tanpa batas
Jakarta, 9 Pebruari 2001
JANJI KEMBALI
Bocah mungil, mengepal tangan
memutar di bawah lampu taman
panas terik menikam batu, daun mencari tempat
teduh ke batang dan samping gedung
dunia berputar di atas telapak tangan
uap berasap berkumpul di pagar
putri malu menari di atas nampan
kapan kembali ke tempat asal?
angin kota menerbangkan daun jati
orang-orang mendongakkan kepala
barangkali ada sepiring nasi di langit
butir-butir nikmat ada di segumpal
tanah merah
Surabaya, 15 Oktober 2001
SEPERTI TERBANG
Saat-saat menggairahkan
mengalir simbol-simbol perwujudan
dalam hitungan lima atau sembarang
seperti terbang
Sujud yang panjang
hati telanjang terlentang di awang-awang
melayang bersama suara kepodang
seperti terbang
Perjalanan udara
berbekal getar-getar memasuki sifat
lewati persinggahan perjamuan
seperti terbang
Sesobek jiwa lari-lari mencari
wujud semesta tanpa batas
kembali di dalam arus
seperti terbang
Pengakuan Dzat Agung
kekosongan telah menjadi nikmat
terangkat dari bumi
seperti terbang
Jakarta, 30 September 2001
HAKIKAT
Sarapan pagiku adalah air
yang mengalir di bawah bumi
makan siang dengan api
membawa pandangan ke pohon sejarah
makan malamku adalah tanah, kadang menggerutu
bersama berjanji menumpuk kebijakan
jika mengantuk, aku hempaskan tubuhku
tidur di atas ranjang angin
lalu mimpi menjadi makhluk langit
Jakarta, 1 Mei 2001
LAUTAN LANGIT
Pohon-pohon angin bersinar
menyemburatkan warna-warni isi dunia
keluar dari keranjang
gunung dan perbukitan merangkak
mencari tempat persembunyian karena malu
telah gundul, tak berperasaan
takut berpapasan denga isi rimba
petir di angkasa senandungkan lagu
mengolah rasa awan mendung
jejari cakrawala mengangkat lautan ke langit
air kembali ke mata air
pasir berbusa cerita
pada kepiting yang menapak
lautan langit menyatu
peluk mengasihi bumi
Jakarta, 30 september 2001
LARI KUDA
Seribu kuda berkecamuk di otakku
menyebarkan kepul debu dan gelombang listrik
dengan nafas memburu kepap rajawali
rumput tembaga menghias mulutnya
berputar-putar terjebak dalam perlombaan
mengejar terbang capung, melintasi bayangan bumi
semut-semut berhamburan keluar sarang
mencari gula di jejak tapak kuda
mabuk di lautan, minum air laut
kabur pemandangan oleh angka melayang
roda-roda besi melangkah zig-zag
kepal jari meninju dinding kayu
pertaruhan,
senandung sepanjang zaman
Bandung, 28 Oktober 2001
ATAS NAMA CINTA
Dengan membisikkan kata-kata cinta
seorang laki-laki memeluk wanita kekasihnya
menerbangkannya ke awan yang bergulung-gulung
di langit hasrat dan keinginan
dan ketika tertanam sebentuk benih di rahim dunia
maka sang laki-laki menghilang
entah kemana tak tentu kotanya
dengan meminjam istilah cinta
seorang kyai menanamkan bom-bom kebencian
di benak para santrinya
lalu diledakkan dengan menyulutkan api perbedaan
pendapat
dan permusuhan
menggusur nurani dari tahtanya
mengkafirkan sesama umat ego dan eksklusivisme
semu
lupa bahwa hak menetapkan kafirnya seseorang
adalah kepunyaan Tuhan
dengan membawa manis kalimat cinta
seorang pemimpin menciptakan segala model dan kreasi
membodohi rakyat, sampai lupa diri sendiri
pemimpin adalah titisan dewa
yang tak mungkin berbuat salah
padahal makhluk yang tak pernah memproduksi
kesalahan
hanyalah malaikat
atas nama cinta
seorang manusia berderma
membagi-bagikan barang kebutuhan pada masyarakat
tetapi tanpa disadari masyarakat
di menutupi kelemahannya
dan merancang strategi untuk mengembangbiakkan
kerakusannya
Purworejo, 17 Pebruari 2001
KEDINGINAN YANG MERAMBAT
Daun ketela yang bercabang-cabang
menepuk jari-jari tangan
mencipta suara sarat pesan
yang menyergap cuaca
roda jaman bergerak cepat melintas di jalanan
meninggalkan jejak tapak kaki kerbau
dalam segenap ingatan
gambar tato di tangan
menampakkan kreasi kebingungan
adakah pesan tersimpan
bila tangan mengigil kedinginan
apakah sebenarnya yang akan dijadikan
pegangan
Banyuurip – Yogyakarta, 14 Januari 2001
DAN SOEKARNO PUN MENANGIS
Berjalan sendirian menempuh takdir
di antara rumput liar angin ribut gemuruh gelombang
tersaruk lecet berdarah menganga
kerikil tajam menegak menyeruak sela sela alas kaki
rumput liar subur merajalela menjalar
di sekeliling tanaman padi di sawah ladang
menghabiskan gizi makanan buat padi
angin ribut menerbangkan pohon-pohon
tercerabut hingga akarnya
suaranya memangsa sepi dan ketenangan
kerbau sapi lepas kandang menghambur keluar
cuaca gelap mengancam anak-anak bangsa
gemuruh gelombang menjulang ke langit
menabrak pertapa di tepi lautan
pertapa lenyap meninggalkan asap semangat
terkadang dibenci tak jarang digali
perjalanan penuh duri kerikil tajam
melecetkan jiwa pengembara penggembala
serta pakaian merah putih robek-robek
di bawah tiang bendera
yang lusuh dan compang-camping
Soekarno menangis tersedih
tanpa tetes air mata
Jakarta, 16 Juni 2001
Tentang Budhi Setyawan
Budhi Setyawan lahir di Purworejo pada 9 Agustus 1969. Menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada tahun 1998. Aktif menulis puisi sejak kuliah. Bekerja sebagai PNS di Kementerian Keuangan. Kumpulan puisinya: Kepak Sayap Jiwa.
Catatan lain
Kumpulan puisi ini merupakan buku kedua setelah Kepak Sayap Jiwa. Bunyi halaman persembahan: Kupersembahkan/untuk Dian, istriku/untuk Qiqa, putriku. Nampak kecil di pojok kiri bawah sebuah halaman. Sampul belakang buku, hadir utuh puisi Nafas Ekor Kuda, lengkap dengan tempat dan tanggal pembuatan.
Si penyair bikin pengakuan dalam kata pengantar sepanjang 5 paragraf (tidak sampai satu halaman): “Terima kasih buat musisi yang telah menerbitkan karya musik apik dan musiknya menemani saya dalam menulis puisi, antara lain: Deep Purple, Rainbow, Queen (A Night at the Opera), Rush, Led Zeppelin, Camel, Genesis (era Gabriel), James Gang, Passport, ELP, Dream Theater, Iron Maiden, Edguy, Stratovarius, dan ADX (heavy metal Perancis, album Weird Vision).” Demikian.
Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.