Benny Arnas

CERPEN MALAM RAJAM OLEH BENNY ARNAS


wanita bersedih
image Avareli
Jelang dini hari. Di sebuah ranjang berkelambu coklat muda. Kau terlelap tanpa dengkur. Telanjang dada. Bersarung sebatas lutut. Di sampingmu, terbaring sebatang tubuh molek yang hanya dibalut kain lasem sebatas dada, hingga terintip ceruk di antara dua bukit tinju yang ditutupinya. Selingkaran lehernya menyerak tanda merah sebesar ujung jempol, bagai habis dihisap-kecap. Air muka kalian menyemburatkan lelah yang tak biasa. Tengah malam tadi kalian khatamkan sebuah pertarungan yang tertunda sekian lama. Bukan hanya dengan keringat, tapi kalian juga melakoninya dengan hasrat yang mendahaga. Tak ada yang ditetapkan sebagai pamuncak. Kalian sama-sama kuasa. Kalian pula sama-sama kalah. Bakda itu, lelap kalian adalah sebenar lelap. Untuk apalah bermimpi lagi bila angan-angan itu baru saja tertunai?! Tertunai di atas nama pertautan-halal; di atas ranjang yang berseprai anyar; di atas malam yang dipilahku untuk merajam. Membalas dendam!
***
Siang tadi pesta perkawinanmu digelar dengan mewah. Kau memang seorang istimewa. Anak tunggal pemilik panglong kayu terbesar di kampung. Jadi, adalah mahfum bila perempuan yang baru datang dari kota itu tertawan olehmu. O, jangan-jangan ia yang menawanmu?! Ah, tak penting itu. Perkaranya adalah, aku tak rela kau meminangnya. Tidak!
Memang, kepergianku ke kampung orang tuaku dua pekan silam tanpa sepengetahuanmu dan keluargamu. Tapi, yang membuatku murka adalah sikapmu (juga keluargamu) ketika mengetahui aku raib. Tenang-tenang saja. Ketika itu, mendidihlah darahku. Ingin sekali aku melabrakmu. Bila perlu membuatmu mati-tercekat karena mendapati kedatanganku yang tiba-tiba. Namun, rencana itu kujegal sementara. Aku benar-benar ingin tahu musabab ketakpedulianmu pada diriku, gadis yang kaujanjikan untuk dikawini. O, apakah ketaktahuanmu tentang di mana tepatnya ranah kediamanan orang tuakukah yang membuatmu tak mencariku? Kini, jujur, aku merasa sangat bodoh. Mengapa dulu aku terburu-buru mengambil ketetapan itu. Pergi meninggalkanmu. Berkelana ke kampung ayah-ibu yang justru tak kunjung kuketahui keberadaannya.
***
Aku benar-benar benci pada perawan itu. O, sungguh, kau harus tahu bahwa semua ini bukan salahku!
Apakah kau tak tahu seperti apa pembantu di rumahmu dipekerjakan? Adalah sahih bahwa titah demi titah orang tuamu telah merampas waktuku: sedari subuh hingga malam meninggi. Jadi, bagaimana mungkin aku main-gila dengan laki-laki lain?! Apakah harus kuceritakan perihal aku yang jatuh dari pohon nangka karena keponakanmu dari kecamatan minta diambilkan layangan yang tersangkut di sana; apakah harus jua kukeluhkan bahwa aku pernah terjerengkang di dapur karena ibumu berteriak memintaku gegas menyiapkan air hangat untuk mandi di subuh kau akan diwisuda dua bulan lalu; apakah jua harus kutumpahkan kekesalan bahwa, beberapa kali aku terjerembab dari kereta unta ketika mengantar rantang-rantang para tukang yang merampungkan rumah baru kalian di simpang pasar….; dan apakah harus kumeraung—dalam suara yang pasti memarau—untuk semua akibat yang dimunculkan kesialan-kesialan itu: selangkanganku sakit, perih, bahkan ketika terpeleset di kamar mandi yang akan kusikat di pagi Ahad, bercak-bercak merah tiba-tiba saja mengerubungi celana dalamku. Pedihnya tak tepermanai. Bukan hanya membayangkan bahwa beberapa hari bakda itu, aku akan berjalan sedikit mengangkang, namun… lebih dari itu. Menangis tak berbunyi aku bila membayangkan air muka lelaki—yang suatu hari nanti mengawiniku—di malam pertama kami (di bawah lampu kamar yang bercahaya remang).
***
Bertambah masailah aku ketika suatu hari kau menanam tebu di bibir. Kau tak hanya, dengan lembut dan syahdu, mengatakan (sekaligus memuji); hidungku bangir, wajahku bulat telur, bibirku merah penuh, kulitku putih rotan, mataku kilap-kelereng, alisku semut yang berbaris, rambutku sutera-hitam, daguku lekuk-mangga, bahkan telingaku kaukias bak cawan Persia. Aku luruh. Aku tahu, kau tak menuang air hingga tumpah. Kau menyampaikan yang sebenar. Ayahmu yang sudah empat kali naik haji saja sering “nakal” padaku. Beberapa kali si tua bangka itu meremas pantatku ketika aku ngepel. Beberapa kali pula ia mencoba menciumku—namun selalu gagal karena derap langkah ibumu keburu menyambangi.
“Kau bersyukurlah kami pungut di tepian rel dulu. Sekarang nak bertingkah kau!” hardiknya ketika aku menghindari cengkeramannya di pinggangku.
Ayahmu juga sangat pandai mengganti muka. Di depan ibumu ia bagai singa yang sedang memerintahkan musang menyeret ayam. Bila aku lamban atau bahkan tak melaksanakan apa-apa yang dititahkan, maka aku akan dirajam. Demikian istilah yang sering dipakai keluargamu bila aku dirundung kesialan. Ya, selain keluargamu, tak banyak yang tahu (atau bahkan memang tak ada yang tahu) bahwa ayahmu seringkali merajamku dengan pecut kuda yang disimpan di kolong ranjangnya, bila aku kedapatan melakukan hal-hal yang tak berkenan di hadapannya dan ibumu. Walaupun tidak melakukannya dengan cambuk-maut itu, ibumu tak kalah ganas. Ketika marahnya membara, barang apa saja yang ada di dekatnya akan dicangking-rajamkan ke arahku. Kau tahu, bakat biru di bahu belakangku adalah bukti yang paling makbul atas guci China dan tatakan piring keramik Turkmenistan yang ia pecahkan ke tubuhku. Kau tahu, sejak itu, aku selalu tidur dalam keadaan telentang. Sedikit saja kumiringkan tubuh—karena tiba-tiba ingin memeluk guling misalnya, tulang belakangku serasa bersigesek. Linu yang menyayat.
Dan… kau bagai mengimani peribahasa yang tampaknya tak bercelah: orang tua adalah guru berteladan yang mustajab.
Ya, kau kerap menjambak rambutku bila telur mata sapi kegemaranmu tak kugoreng seperti yang kau inginkan. Kuningnya terlalu masaklah, putihnya terlalu keringlah, minyaknya masih berlumuranlah…. Namun kau sangat berbeda dengan orang tuamu. Rajammu adalah rajam yang membuat lenguhanku bersicepat dengan denyut nadi dan geletar jantung. Kau biasanya menyeretku ke sudut dapur yang jauh dari imbas cahaya pir kuning yang menjuntai di plafon. Melumat bibirku, menggigit-geli leherku, menjilat lekuk telingaku…. Kau melakukan semua dengan tangan yang sigap membuka kancing-kancing baju-katunku. Seolah kau benar-benar hafal bahwa jarak masing-masing pengait baju itu adalah 12 sentimeter. Tapi… kau tak melakukan (atau meminta) lebih jauh. Kau kerap berhenti ketika aku mulai menikmati rajamanmu.
“Percayalah, aku bukan iblis. Aku hanya pemuda biasa yang tak dapat menyembunyikan naluri lelakinya. Percayalah, kau bagai bidadari saban habis mandi. Dan aku takkan menghamilimu hanya karena itu. Aku hanya ingin bercumbu dengan perawan di malam pertamaku. Dan itu adalah kau….”
Aku diam. Terharu. Bangga padamu—bakal suamiku (benarkah?!). Lalu meradang dalam bayang kesedihan yang siap tumpah demi membayangkan malam-sakral itu tiba suatu waktu.
Tapi… oh, seperti yang kaukatakan. Kau adalah pemuda biasa. Hanya ditambah beberapa kelebihan: tampan, kaya, berpendidikan, dan (jujur kukatakan) menggoda. Pada suatu malam yang mendung, ketika kedua orang tuamu berhelat ke kampung sebelah, memenuhi undangan hajatan kawan lama, kau kembali merajamku. Tapi bukan karena aku tak menggoreng telur ayam itu dengan baik. Kau merajamku karena kau pemuda biasa—katamu dulu, pemuda yang memiliki naluri kelelakian (atau kebinatangan?!). O sungguh, harus jujur kukatakan, aku juga bagai terasuk setan-binal malam itu. Bila kau memintaku menumpahkan isi telur di kuali, aku akan melakukannya serampangan. Bahkan, akan kunaikkan putaran gas hingga api menyala sejadi-jadinya. Akan kuhidangkan telur pekang, gosong-arang! Ya, aku ingin kau menghukumku. Merajamku!
Dan kau melakukannya tanpa ada pasal telur goreng itu. Tapi tak seperti biasa, kali ini kau meminta lebih. Tentu saja, aku menolaknya. Bukan, bukan karena tak yakin kau akan bertanggung jawab (entah, aku begitu percaya padamu bahwa kau takkan menyia-nyiakanku), tapi karena kau belum meyakinkanku apakah ayah-ibumu akan bersetuju dengan pilihanmu; seorang pembantu tanpa orang tua dan sanak saudara.
Kau bagai membaca kegundahanku. Kau katakan betapa istimewanya dirimu. Siapa yang berani menolak permintaan anak tunggal?! Sungguh cantik kau meliuk lidah. Ya, kau tak menanyakan mengapa aku berani menolak permintaan seorang anak majikan. O, betapa ketika itu kau menguapkan sikap yang meluluh-lantakkan tembok pertahananku.
Menanglah kau! Aku gelap-pikiran. Aku tak tahu bila tebu di bibirmu sebentar lagi akan ditebas (dan hilanglah gulali itu tak lama kemudian!). Aku hanya membayangkan betapa gadis sebatangkara sepertiku akan menjadi bagian dari keluarga terhormatmu. Ohhh….
Namun, kenyataan bersibelakang dengan ramalan. Kau mulai mengganas. Kausingkap kain lasemku. Dan… berserempakan dengan petir yang bergemuruh jauh, dan air langit yang bersitumpah satu-satu; mukamu keruh seketika!
Kau mendorongku hingga terjerengkang. Kau kenakan pakaian dengan tergesa-gesa. Kau tuding aku sundal. Kau tak memberiku kesempatan untuk mengurai sebab-akibat….
Tengah malam, kutinggalkan rumahmu. Memapas jalan-jalan kelam kampung yang lengang….
***
Sedari pagi, aku memang tak sabar menyambut malam. Di antara kerumunan tetamu, kusaksikan bagaimana ijab-kabul dilewati tanpa hambatan. Sejak duha hingga bakda asar, orkes melayu mengoar-bingar panggung dan seantero kampung. Kalian bagai menginjak-injak luka-lebamku. Dan, bakda isya, aku menuju kediamanmu. Dari balik jendela, kuintip orang tuamu menghitung isi amplop yang diterima, para keponakan yang bersuka-ria menyobek bungkus kado-kado yang menyerak di kamar depan, beberapa tamu jauh yang tak henti memuji keserasian kalian….
Malam pun meninggi. Sedikit saja jarum jam yang lebih panjang tergelincir, maka hari akan bernama baru. Lamat-lamat aku menyelinap. Kalian lupa bahwa aku sangat paham leliku rumah besar itu. Aku segera menuju kamar bergorden merah jambu dengan beberapa tangkai anyelir menyelip di kaitannya. Syabas! Begitu mudah kukuak pintu kamar. O o, aku datang di waktu yang gemintang. Kalian baru akan memulai ritual wajib pengantin baru. Aku berdoa dari balik pintu, semoga selangkangan gadis itu berkembar-nasib dengan selangkanganku.
O, apakah benar yang kulihat? Kau menggumulinya dengan lunas. Apakah gadis itu masih perawan? Atau… kau tak peduli lagi perihal darah yang muncrat di antara bonggol paha itu? Puihhh!!!! Laki-laki pembual, kau!
Maka, ketika kalian lelap oleh lelah yang memuaskan… kusambangi ranjang harum melati itu. Kusingkap kelambu. Kutatap kalian satu-satu. Kubersijingkat menaiki ranjang. Sangat hati-hati, hingga tanpa bunyi derit. Aku kini sudah mengangkangimu. Ups! Setengah meloncat aku membebankan tubuh di atas perutmu….
***
Aku terkakak hingga air mataku menyeruak. Kedua bola matamu mendelik sempurna ke arahku. Kurajam kau kini! Kucekik lehermu sejadi-jadinya. Kau mengejang. Aku makin terbahak. Pun ketika perempuan di sampingmu terjaga. Ia menyangka kau tengah mengigau. Mimpi buruk.
Sejak kapan mimpi buruk bertandang di malam punai, hah?! Perempuan bengak!
Perempuan itu menarik-narik kedua tanganmu yang memegangi leher—seolah kau tengah melepaskan cengkeramanku yang memelintir tonggak kepalamu. Mana bisa?! Mati kau?!
Perempuan itu berteriak ketakutan. Keluarga dan sanak-kerabatmu menggedor-gedor pintu yang masih terkunci. Tak lama, mereka mengerumunimu. Berteriak sejadi-jadinya. Ya, siapa yang tak meradang ditinggal mati anak-bujang seorang?!
***
Aku masih tertawa ketika, di antara sikaduduk yang menyemak di sudut pemakaman umum, tempat akan digalinya liang untukmu, orang-orang menemukanku teronggok dikerumuni belatung. Beberapa bagian tubuhku ditutupi bahan katun, kain lasem yang buram coraknya, dan tentu saja tali tambang yang masih bergelung di tengkorak kepala. Itu adalah tali yang kuambil dari dapurmu di malam aku meninggalkan rumah itu. Kukaitkan di dahan beringin yang paling besar; demi beroleh restu ayah-ibu untuk merajammu malam tadi.
Terima kasih sudah membaca. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Sihir Tumis Ibu

Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top