Data buku kumpulan puisi
Judul : Cara
Menghitung Anak
Menghitung Anak
Penulis : Abu Wafa
Cetakan : I, Maret 2017
Penerbit : Delima, Surabaya.
Tebal : xvi + 100
halaman (40 puisi)
halaman (40 puisi)
ISBN : 978-602-60352-3-3
Gambar ilustrasi :
Dwi Januartanto
Dwi Januartanto
Desain sampul dan
tata letak : Alek Subairi
tata letak : Alek Subairi
Gambar sampul :
diolah dari karya Violeta Lopiz
diolah dari karya Violeta Lopiz
Sepilihan puisi Abu Wafa dalam Cara Menghitung Anak
Gigi
sebelum pulang, ibu guru memberi PR
“buatlah gambar yang berhubungan
dengan gigi!”
sesampai di rumah, aku menggambar
pintu dan selokan
“bukankah kau harus menggambar
yang ada hubungannya dengan gigi?”
ayah bertanya sedikit bimbang
karena pintu, gigiku terlepas
sewaktu berlari tanpa kendali
kata ayah, gigi atas harus dibuang ke bawah
selokanlah yang jadi muaranya
aku menjelaskan dengan bangga
di kelas, aku mendapat nilai terbawah
2013
Menunggu Banjir
kami bersahabat baik dengan air
terutama yang berjumlah melimpah
karena kolam renang sulit ditemui
dan tiket yang mahal menjadi
alasan utama ibu melarang:
“lebih baik untuk makan.”
kecuali sungai yang penuh tai dan
banjir yang datang kadang-kadang
ibu tidak melarang. hanya mewanti-wanti
“jangan lama-lama. kau bukan ikan.”
rumahku salah satu pembenci banjir
tiap kali air meluap dari sungai,
mengetuk pintu, ayah memindahkan
kasur, televisi, kipas, ijasah dan
benda-benda berharga yang mudah basah
ketika banjir hampir setinggi separo pintu
orang-orang dewasa berusaha
menenangkan air yang masuk
dengan timba, karung pasir, atau apapun
yang mampu mereka gunakan
kami menghalaunya dengan kesenangan
berenang, bermain koin,
atau mendorong perahu karet
yang minta pertolongan
siapa yang tidak menyukai dikunjungi sahabat baik?
setengah hari, banjir mengunjungi kami
Ibu dan ayah membenarkan letak isi rumah
jangan tanya kami sedang apa
tubuh kami penuh sirip dan keriput
2015
Sepasang Nama yang Tersangkut di Toilet
tiada yang mengetahui siapa yang menuliskannya
kecuali sejumlah tangan yang keisengan
kebosanan sering melanda siswa yang tengah
diserang hajat
aku tak mengerti
tiada yang menuliskan namaku dan namamu
di dalam daun waru
2015
Bermimpi
dengan mudahnya aku
menggantungkan harapan dan impian
di sela bintang-bintang
sebelum tidur, aku selalu berdoa,
“impianku, turunlah bersama bintang jatuh!”
tak mudah menjumpai jatuhnya bintang
malah hujan yang datang
ke belakang, aku mengambil ember
menaruhnya di halaman
“mungkin inilah bintang yang terpecah
menjadi air hujan”
lantas aku ke dapur, memasaknya
ibu hampir mencegah, namun
dihalangi ayah
“agar dia tahu rasanya air hujan”
esoknya, aku terbaring di ranjang
ayah menasehati sembari memberi buku
ibu tetap was-was, menanyaiku macam-macam
dalam hati, aku masih yakin
aku menjaring hujan yang salah
2013
Cara Menghitung Anak
rahasia adalah santapan paling nikmat
dengan bumbu-bumbu masa depan
dan keingintahuan yang menggebu
aku menawarkan, kau mengiyakan,
menyerahkan tanganmu untuk
kuramal berapa anakmu nanti
dua, kataku,
dua urat menyerupai berudu
muncul setelah kusapu dengan
ibu jari, membangunkannya
dari tidur panjangnya
setengah percaya setengah penasaran,
kau tersipu, setengah membayangkan
kau tersipu, setengah membayangkan
punya dua anak saat kau belum
punya akar yang kuat untuk pijakan
tanganmu masih menggenggam,
menahan harapan yang tumbuh
begitu saja di telapakmu
aku, melihatmu, memastikan
berudu itu nanti tumbuh besar
menyerupaiku
2015
Sembilan
jika boleh berkhayal.
aku ingin menghidupkan angka tiga
sayapnya bisa membawa
terbang kemana-mana
namun, ketika raporku ada angka tiga
ibu marah, terlebih ayah
“kau harus dapat angka sembilan,
jika tidak. kau tidak ayah sekolahkan lagi.”
rapor berikutnya, meningkat dapat enam
ibu sedikit bangga, berbeda dengan ayah
“Sembilan! Bukan enam!”
namun, bagiku,
enam dan sembilan hampir mirip
tinggal diputar balik
aku belajar lebih tekun dan giat
dan akhirnya, ada angka sepuluh di raporku
ibu langsung sumringah, ayah lagi-lagi marah
“Aku minta sembilan! Apa kau ingin menjadi Tuhan!”
2013
Jatuh Cinta
ibu melihat wajahku memerah
penuh mawar dan senyuman
serta merta, ibu menghardik,
“siapa nama gadis yang kau sukai?”
bocah seusiaku gampang sekali
tertarik gadis berambut panjang
namun, dia sulit menentukan
seperti dia hendak memilih suami
cinta adalah perang yang terselubung
siapa yang tidak mau menang dalam peperangan?
aku pun meminta petuah pada ayah
sedang ayah tengah membaca koran
“tanyakan ibumu. Ibumu selalu rapi menyimpan kenangan.”
ibu sekarang di dapur, memasak untuk makan siang
“ayahmu lebih tahu. Dia menyimpan kata-kata
berbentuk mawar untukku dulu.”
sepintas, dari arah ruang tamu
ayah mengedipkan mata ke ibu
aku pura-pura tidak tahu
cinta adalah kerahasiaan orang dewasa
2015
Bermain Hujan
hujan tak kehabisan cara
untuk mempermainkan
lewat jendela, dia menggodaku
merambat turun
serupa es krim yang mencair
siapa yang berhasil mengelak godaannya?
walau kaca tak berasa kecuali luka
aku melihat teman-teman menari
menyambut hujan, lalu menadahnya
dengan tubuhnya
membiarkan beberapa kurcaci turun
dari langit menempel di kaosnya
mungkin, orang dewasa melihatnya
hujan biasa, yang sama basahnya
dan sama menggelisahkan
teman-teman makin menggodaku
mereka mulai bertelanjang dada
meresapi hujan, menggenapi
tubuhnya dengan basah
sebelum aku menyusulnya,
ibu sudah melarang:
“jangan main hujan. Kau mudah kena flu!”
hujan harus segera kunikmati
mumpung masih segar dan belum basi
maka aku menyodorkan sebungkus
plastik pada seorang teman
lewat jendela setengah terbuka
“isilah dengan hujan, sampai penuh,
sampai kau tak bisa mengikatnya.”
air hujan itu lalu
kucampur dengan air kamar mandi
kuhabiskan sampai hujan
menyelesaikan godaan
sampai teman-teman
hilang di jendela
hingga tiada sisa air
di bak mandi
selesai mandi, tubuhku mengecil
menjelma bocah hujan yang kesepian
2015
Perang di Mata Mereka
“Jika negara kita perang, apa yang kau lakukan?”
Tanya Bastomi berapi-api
“Aku akan maju di barisan terdepan.
Namaku nanti dikenang,
dicatat di buku-buku sejarah.”
Jawab Burhan tegas
“Aku akan bersembunyi di bawah tanah.”
Maman menjawab sedikit malu
“kalau aku, pergi ke rumah kakek.”
Barjo lebih lirih menyatakan
“Mengapa?” mereka serempak bertanya
Barjo diam
“Bukankah kakekmu, sudah tua renta,
Tak berdaya melawan penjajah?”
Bastomi serba ingin tahu
“Aku tak takut perang.Aku berani mati.”
“Lantas?”
“Aku lebih takut jika ayah
memukuli ibu lagi. Dan hanya
memukuli ibu lagi. Dan hanya
kakek yang bisa mendinginkan ayah”
besoknya, teman-teman lebih memilih
bermain ke rumah Bastomi
2013
Meminta Uang, Berharap Terbang
ibu-ibu, dengan tangan ditabahkan kekar,
mengangkat timba penuh air comberan
dari depan rumah
diayunkan dan disiramlah air itu ke tanah
mendinginkan tanah sore, memanjakan debu-debu
dalam kebisuan ibu, tanah merekah
mengundang ayam-ayam mematukinya
merpati sengaja dilepaskan
dari tangan gagah seorang bapak
menguji musim, mengadu nasib
bukankah bocah-bocah tengah menanggungnya?
seperti terpanggil,
kami berkumpul ke tanah lapang
sejenak berpura bermain sepak bola
bukan sepenuhnya menunggu
kami tidak ingin membeku sia-sia
dengan gawang dari bata ditegakkan
kami berlari-lari kecil
menyepak bola plastik
berusaha merobohkan bata
sekaligus penuh waspada
memasang telinga
bila saja dedaunan berbisik
dan reranting gemerisik
memberi tanda
bola melesat tinggi
lalu jatuh keras
lalu jatuh keras
seperti dirindukan lama oleh bumi
seorang dari kami, berdiri menganga
memejamkan mata, seolah wahyu
akan diturunkan kepadanya
di punggung kami
seketika tumbuh sepasang sayap capung
ringkih berusaha terbang
walau langit memberi tanda
dedaunan berbisik
dan reranting bergemirisik
kami mendongak menganga,
merapalkan doa dalam kesunyian sore
seperti mendapat titah
mata kami mengekor saat pesawat melintas
berlari seketika
mengepak-ngepakkan sayap
hanya mengepak dan mendongak
sambil mendaraskan doa lebih lantang:
pesawat, minta uang!
berkali-kali, berlangkah-langkah jauhnya
pesawat tidak menjawab
dengan pongah, dipamerkan pantatnya
yang lebih mengkilap dari panci milik ibu
kami tetap tengadah
tetap tabah berlari
mengejar tepat di bawahnya
berharap ada keajaiban dari sana
apalagi yang hendak dipertahankan
jika kami tidak seorang pun sanggup terbang tinggi?
baju kami sewarna keringat
beraroma penderitaan
yang hampir diam saat malam
menenangkan dengan mimpi-mimpi
pesawat menghilang
di balik pepohonan
dan rumah-rumah penduduk
yang tabah menunggu
pesawat esok hari
2015
Menjelang Kiamat
semula semua percaya
tepat besok akan kiamat
semua khidmat memanjatkan doa
sepanjang hari tanpa berhenti
sehingga lupa tidak bekerja
sampai-sampai lupa tidak makan
lupa sedang lapar
besoknya,
malaikat tidak jadi meniup sangkakala
namun,
semua tengah sekarat oleh doa-doanya
2013
Sebuah Surat di Laci Meja
saat jam istirahat,
sebuah surat aku titipkan
di laci meja untukmu
untuk kau baca, kau temukan
jika tanganmu mengulur
masuk mencari rahasia
di dalam laci meja
namun, rahasia dan sampah
sulit dibedakan di dalamnya
seluruhnya berisi bualan,
yang mungkin juga kebenaran,
dan sisanya hanya kertas-kertas
yang diremas saking gemasnya
akan nilai atau hasil pekerjaan
ketakutan dan kebanggaan
menempel di surat itu
jika saja kau menemukannya
lalu membacanya
aku takut kau tidak lagi mengenalku
atau aku bangga kau mengetahui
aku yang mengirim surat itu
namun, aku melihat tanganmu
jarang memasuki laci meja
menguak rahasia di dalamnya
mungkin, bagimu, laci meja
segelap hutan dan
sejorok toilet sekolah
bahkan, aku melihat sendiri,
buku-buku, pensil dan penghapus
berteman baik denganmu
menemanimu berjaga
dari rahasia yang merambat
dari laci meja
keesokan harinya
sepulang sekolah
setelah kau
meninggalkan mejamu
aku masuk ke dalamnya
mengecek kabar surat
yang tersesat di sana
kudapati surat itu
masih rapi dan tabah
dalam hutan dan rahasianya
2015
Tentang Abu Wafa
Abu Wafa lahir di Surabaya, 5 Juli 1990. Lulusan Sastra Indonesia,
Universitas Negeri Surabaya. Aktifis sastra di Komunitas Rabo Sore. Tinggal di
Mojokerto dan Surabaya.
Universitas Negeri Surabaya. Aktifis sastra di Komunitas Rabo Sore. Tinggal di
Mojokerto dan Surabaya.
Catatan Lain
Dody Kristianto menjuduli
prolognya dengan “Menilik Kembali Sudut Pandang Anak-anak dalam Puisi” dan
epilog Maman S Mahayana berjudul “Dunia Bocah dalam Puisi”. Sampul belakang
buku ini juga mengutip ‘kurang separagraf’ tulisan kedua orang di atas,
tentunya dipilih yang paling ‘bernas’, yang kira-kira mampu menarik pembaca
untuk membuktikan ucapan mereka. Begitu.
prolognya dengan “Menilik Kembali Sudut Pandang Anak-anak dalam Puisi” dan
epilog Maman S Mahayana berjudul “Dunia Bocah dalam Puisi”. Sampul belakang
buku ini juga mengutip ‘kurang separagraf’ tulisan kedua orang di atas,
tentunya dipilih yang paling ‘bernas’, yang kira-kira mampu menarik pembaca
untuk membuktikan ucapan mereka. Begitu.
Di
sampul belakang buku, di bagian bawah, selain logo penerbit, ada juga logo
komunitas rabo sore. Dan begini bunyi halaman persembahannya: “Untuk Achmad
Hisom dan Siti Ruba’iyah/saya berhasil menyelamatkan nama kalian berdua,/kedua
orang tua saya,/dari intipan teman SD di buku rapor.”
Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.