Utama, Jakarta.
sukutangan
Membaca Lambang terdiri atas Mencari Perigi
(42 puisi) dan Membaca Lambang (26 puisi)
Sepilihan puisi Acep Zamzam Noor dalam Membaca Lambang
MEMBACA LAMBANG
Di muara kudengar langkah waktu
sayap-sayup sampai
Rumpun bakau menjelma ruang yang
memantulkan gema
Ketika angin kemarau berkejaran
dengan gulungan ombak
Di pantai. Aku tertinggal jauh di
luar batas kesementaraan
Sekalipun yang tampak di hadapan
tinggal kabut semata
Tentu ada yang masih bisa
diteroka. Aku membaca lambang
Merenungi bagaimana langit
merendah dan bumi meninggi
Namun bukan sedang mengulurkan
benang basah ke udara
Pengembaraan adalah detik-detik
yang mengalir dari gunung
Diteruskan sungai ke muara.
Sedang penghayatan ibarat pasir
Yang butir-butir halusnya
mengembara ke tengah samudra
Pelan-pelan aku menyaksikan senja
berubah menjadi panggung
Sebuah resital cahaya mulai
dipentaskan cakrawala. Di kejauhan
Gugusan pulau menggelepar-gelepar
bagaikan para penari latar
2017
BEDUGUL
Pura yang diam
Menyerap inti waktu
Dari lubuk air. Pusat sunyi
Pusaran tanpa akhir
Kedalaman yang biru
Menyempurnakan rindu
Pada yang satu. Wangi sesaji
Mencintai dan memberi
2014
PELABUHAN PAOTERE
Semburat fajar
Mewarnai langit tenggara
Udara yang terbakar
Tercium dari puing-puing
Pelabuhan. Cahaya susut
Garam-garam kabut
Dan sebuah gema
Yang ditembakkan ke laut
Kisahmu tinggal jejak-jejak kaki
Para pemburu udang. Waktu
Hanya asap
Yang mengepul
Dari tungku
Perahu-perahu di kejauhan
Tak lagi bergerak
Ke arahmu. Hanya sisa ombak
Gelombang lunak
Dan bintang-bintang mati
Yang berjatuhan
Kemudian sebuah tanda
Di balik rambutmu
Menunjukkan isyarat
Yang tak pernah terbaca:
Ada gambar badik di pundakmu
Kisahmu tinggal kerumunan jam
Di pergelangan. Angka-angka
Yang berloncatan
Huruf-huruf yang tumbang
Ke haribaan
Pulau-pulau yang pergi
Tak akan kembali
Menemui pagi. Hanya sisa lampu
Kelap-kelip tak menentu
Semacam ajal
Yang kehilangan sinyal
Kemudian tubuhmu
Gelap tubuhmu
Mengisyaratkan jejak
Yang tak pernah tercatat:
Sebuah peta terukir dekat pusarmu
Kematian yang seksi
Menyelinap
Ke balik sunyi. Seperti burung
Dengan sayap-sayap besi
Seperti kawat
Yang mengalirkan berahi
Kisahmu tinggal percikan air
Pada pasir. Usia
Hanya balon udara
Yang pecah
Menjadi rahasia
2017
SUNGAI WALENNAE
Sepi meneteskan tinta
Pada permukaan sungai
Dari balik gemuruh air
Mengalir kata-kata
Sebuah puisi
Bermula dari lubuk hati
Kata-kata menyala
Di ujung jemari
Pada puncak kata-kata
Bergolak rindu
Sepi menembus bukit
Menerobos waktu
Di gerbang segara
Kata-kata lindap
Dan sepi mengendap
Menjadi puisi
2006
MINGGU PAGI DI PINELENG
Pelupukku masih setengah tertutup
saat fajar tiba
Serta membukakan celah kecil
untuk sinar matahari
Harum kembang cengkih dan buah
pala sayup tercium
Dari kebun belakang. Aku berdiri
dan mendekati jendela
Pohon-pohon kelapa menghampar
pada lereng dan lembah
Mungkin awal musim hujan, atau
masih penghujung kemarau
Atap-atap seng tampak basah,
menara gereja digenangi embun
Lampu-lampu natal mulai
bergelantungan di sekitar kampung
Kulihat makam-makam dengan ukiran
indah pada nisannya
Jalan setapak ke gunung seperti
bubur tinutuan yang likat
Paduan antara pasir, butiran
kerikil serta pecahan padas
Dalam adonan yang pas. Aku
menghirup napas panjang
Betapa rasa lapang ini tercipta
dari kemurnian udara
Serta angin yang sebenarnya
berembus rutin saja
Betapa rasa tenteram ini terlahir
dari kata-kata
Yang tidak pernah diniatkan
menjadi senjata
2015
SILUMADAHA
Langkah samar kabut bergerak ke
arah pulau karang
Di antara bunyi ombak yang
mengempas perlahan-lahan
Selasar pantai tampak meliuk-liuk
hingga ke ujung teluk
Membentuk lekukan biru yang
menjilat-jilat buih putih
Laksana tanjung dengan
ceruk-ceruk tebingnya yang curam
Satu lukisan tak akan habis
ditafsir sepanjang putaran waktu
Dan setiap tafsir akan melahirkan
sejumlah pemaknaan lain
Tak tahu siapa di antara kita yag
memperlebar jarak rindu
Kita akan belajar pada laut yang
menyimpan isyarat lembut
Di balik keganasan ombaknya. Kita
akan berguru pada gunung
Yang terbuka bagi kedatangan dan
kepergian burung-burung
Kekasihku, biarlah keyakinan kita
menemui ufuknya sendiri
Sebagaimana setiap perahu
melayari takdirnya masing-masing
Kita akan bertemu pada saat bulan
dan matahari bersentuhan
2016
LAHUNDAPE
Ketika rembang mulai merumbaikan
tirai sutranya
Cahaya matamu masih menerangi
setiap langkahku
Tampak buih-buih putih merayapi
pantai dan tebing
Mendorong pasir ke bukit.
Membangun menara sunyi
Ketika petang menutup jendela di
semua penjuru angin
Dan ufuk kehilangan garis
batasnya pada permukaan air
Kulihat titik-titik cahaya masih
bertetesan dari matamu
Seperti dawat yang bergerak
sendiri menuliskan hikayat
Sejenak aku menghirup udara malam
yang likat dan sepi
Daun-daun bakau yang menampung
gemuruh angin barat
Menciptakan tembang yang hanya
terdengar di telingaku
Sejenak aku membayangkan
pelayaran-pelayaran panjang
Di mana kerinduan menjadi
hamparan samudra tanpa tepi
Sedang titik-titik cahaya
mengecil ditelan raksasa kegelapan
2017
MENYEBERANG KE BOKORI
Di pulau tanpa penghuni kudengar
musik lamat-lamat
Hamparan pasir menjadi partitur
yang mengalirkan waktu
Ketika buiih-buih perak
berkejaran dengan gelombang lunak
Yang kehijauan. Aku menyeberang
ke batas teritorial rindu
Meski yang menaungiku hanya nyiur
dan cemara angin
Aku rasakan betapa indahnya pagi.
Ikan-ikan menyanyi
Camar-camar menari dan awan-awan
membentuk komposisi
Di mana aku membayangkan semuanya
sebagai orkestra sunyi
Jarak yang terbentang antara kita
tinggal sejengkal selat
Yang dihuni bunga-bunga karang.
Lama aku berkaca pada air
Menyelami kedalamannya seakan
memasuki lubuk hatimu
Kekasihku, empasan-empasan ombak
pada pinggangku
Sentuhan-sentuhan terumbu pada
tumitku menjadi ungkapan
Yang hanya bisa kumaknai saat
kita saling berjauhan
2017
NYEPI
Malam adalah ujung lipatan waktu
Pagi adalah awal berlangsungnya
rindu
2014
TANJUNGPINANG
Jika pulau-pulau membisu padamu
Akulah lumut pada permukaan
tebing batu
Jika pantai-pantai menampung deru
Akulah ombak yang masih
berselimut biru
Jika selat-selat memperlebar
jarak kita
Akulah sampan rindu yang menempuh
segara
Jika rembang petang menebarkan
seloka
Akulah bayang-bayang sepi di
anjung cahaya
2015
SENGGARANG
Garis lurus yang membelah sunyi
Memisahkan kita dari langit dan
bumi
Warna-warna memadat pada petang
Fajar masuk di antara gelap dan
remang
Gelap adalah selimut kabut
malamku
Remang adalah permadani embun
pagimu
Di antara kabut malam dan embun
pagi
Tercium wangi dupa dan harum kopi
Garis lurus yang membelah bumi
Menyatukan kita pada hidup dan
mati
2015
DOA PETANI BUNGA
Wahai malam yang memperpendek
jarak
Dengan misa pagi. Beri kami
orkestra yang ramai
Hingga pentas sunyi usai dan
kuntum-kuntum peoni
Tercium semerbaknya di awal
pergantian musim
Wahai musim yang mengurapi
lapisan tanah
Dengan sakramen hujan. Beri kami
alegro rasa syukur
Kegembiraan yang mengalirkan nada
pada lembar partitur
Hingga putik-putik melur rekah
sebelum paskah tiba
Wahai paskah yang memberkati
daun-daun gugur
Dengan tembang mazmur. Beri kami
rekuiem yang panjang
Hingga segala duka mengendap dan
akar-akar magnolia
Kembali mengalirkan cahayanya
pada paras bunga
2015
ZIARAH KE LONDA
Menapaki tangga berliku
Tiba di paras tebing yang curam
Menatah sebaris puisi
Pada pohon eboni. Ada yang lindap
Seperti kata-kata bijak
Ketika kutebar harum tuak
Dengan ketajaman aromanya
Nama-nama terselip di sela batu
Mayat-mayat mengering
Pada ketiak waktu. Bunga-bunga
logam
Kerbau-kerbau hitam
Tulang-belulang:
Salib di semua pintu
Menebar harum tuak
Pada senja-senja berikutnya
Seperti menegakkan tangga ke
langit
Kulihat hujan manik-manik
Dengan anyamannya yang meriah
Arak-arakan mega
Rombongan babi hutan
Di udara. Asap daging bakar
Menyeruak dari balik upacara
Seakan ribuan tombak api
Yang mengantarkan ribuan jiwa
Ke singgasana. Gerbang kecil
Senjata-senjata ganjil
Patung-patung kayu
Biji-biji kopi
Kuikuti detik dan menit
Yang menjengkal jarak sunyi
Pada arloji. Malam telah lengkap
Dari punggung bukit muncul bulan
Lalu bintang-bintang bertebaran
Seluruh langit memerah
Oleh darah. Kematian adalah pesta
Kepergian adalah tarian
Sedang kehilangan
Adalah tembang. Doa-doa diam
Mantra-mantra bisu:
Di tengah keheningan semesta
Fajar menyerupai sisi lain dari
surga
2007
MENCARI PERIGI
Kau bergegas menembus semak ilalang
Melewati lembah krisan dan lereng
peoni
Bergegas menyusuri jalan setapak
ke hutan
Mencari seseorang yang kaukenal
lewat mimpi
Kau bergegas menerobos keremangan
senja
Dengan gaun cheongsam merah muda
Bergegas mencari sumber cahaya
Untuk menaklukkan sunyi di rongga
dada
Di tengah hutan kau menemukan
perigi
Yang airnya jernih serta
batu-batunya bersih
Kau membenamkan seluruh tubuh dan
rambutmu
Sambil menyelam kau khusyuk
menguraikan diri
Ketika menyembul kembali dari
balik air
Tubuhmu sudah bersayap dan
rambutmu bercahaya
2014
Tentang Acep Zamzam Noor
Kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Mendapatkan fellowship di Universitas Italiana per Stranieri, Perugia, Italia.
Kumpulan puisinya: Di Luar Kata
(1996), Di Atas Umbria (1999), Dongeng dari Negeri Sembako (2001), Jalan Menuju Rumahmu (2004), Menjadi Penyair Lagi (2007), Tulisan pada Tembok (2011), Bagian dari Kegembiraan (2013), Berguru Kepada Rindu (2017). Antologi
puisi berbahasa sunda: Dayeuh Matapoe
(1993), Paguneman (2011), Kiblat Kuring (proses). Kumpulan
esainya: Puisi dan Bulu Kuduk (2011),
Menjadi Sisifus (2018) dan Sunda Santai Islam Santai (proses).
Catatan Lain
memuat petikan puisi “Membaca Lambang”.
Halaman persembahan (halaman 11) berisi tiga kata: “Buat/Euis Nurhayati” Tak
ada kata pengantar penyair atau komentar siapapun. Begitu saja.

Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.