Seperti Maut
Utama, Jakarta.
Sepilihan puisi Adimas Immanuel dalam Karena Cinta Kuat Seperti Maut
PEMANCING
Keduanya saling menatap tanpa
berkejap
mata pancing menghadap sepasang
mata ikan
tiada gerak-gerik, sunyi menembus
sisik.
Nelayan itu terus mengulur dan
menarik
liar membayangkan makan malam
terbaik
untuk keluarga kecilnya, tanpa
tahu
ikan itu menyimpan dendam di
matanya.
Malam ini: sebilah duri akan
menembus
tenggorokan, membuatnya
megap-megap
dalam keabadian.
PEMBACA
Kupasrahkan diriku antara kata
dan umpama
agar kau bisa membaca: kau seru
hidupku
angin bagi wajahku, cahaya bagi
mataku
bukit bagi pundakku, lembah bagi
lenganku
guruh bagi jantungku, mata air
bagi hatiku
api bagi pinggangku, padang bagi
kakiku
Tiada yang tersembunyi darimu
karena
cinta mesti bebas menari dan
bernyanyi
seperti maut. seperti maut.
seperti maut.
PEDAGANG
Pagi melemparkan diri kita ke
atas mobil bak terbuka
di antara sayur-mayur,
buah-buahan, rempah-rempah, dan
kacang-kacangan. Wajah kita
memucat – memudar gejolak,
membayangkan semarak masa
kanak-kanak tersisa sedikit
bahagia: dada penuh warna.
Kendaraan ini menuju sebuah
pasar, hiruk-pikuk pesona kita
remuk, habis dimangsanya. Kepada
mereka kita serahkan:
sawah-sawah, ladang buah, padang
bunga bukit, air hujan,
sungai, wewangian hutan, hati
yang menyala dan kerinduan
yang tak kunjung sirna.
Mereka akan menukar kita dengan
anggur, gandum,
sutra, linen dan permata. Kita
diberi sepasang sayap
tapi tak semata burung, kita
terima kebebasan tapi
tak diajar bersuara, bahasa
menjadi gaung
yang mengejar kita. Setelah jalan menikung,
Kendaraan ini terus melaju tanpa
peduli hari-hari,
nilai tukar, maupun tangkapan
yang berguncangan.
Kita tak akan bisa saling
menggoda, mencuri
pandang, meningkahi ragu di kebun
sendiri.
Tidak akan.
PENGUNGSI
Aku ingin mencintaimu dan tinggal
lebih lama
tapi dendam, kesedihan dan
keterasingan adalah
badai yang tak bisa kuredakan.
Wangi anggur,
harum roti, hangat perapian dan
liar percintaan
tak sekali pun menenangkan.
Aku ingin mencintaimu dan tinggal
lebih lama
tapi matahari di negerimu terlalu
terik dan pikiranku
mudah meranggas. Aku tak akan
membiarkanmu
melihat cabang-cabangku terulur
ke langit seperti
tangan seorang pendosa yang putus
asa.
Aku ingin mencintamu dan tinggal
lebih lama
tapi aku hanya punya sebuah koper
untuk mengepak
diriku jika sewaktu-waktu harus
pergi. Tidak ada
ruang untuk melarikanmu, tidak
ada ruang
untuk lari darimu.
Kelak aku pun harus pergi karena
kebahagiaan
seperti wabah dan tubuhku tidak
mungkin tabah
menampungnya. Aku hanyalah
pengungsi abadi
dari negeri yang selamanya
bertikai:
diriku sendiri.
PENGETUK
Jika nanti aku mengetuk pintumu
apakah kau akan menghentikan
pekerjaan
dan bergegas ke ruang depan
rumahmu?
Jika nanti aku mengetuk pintumu
apakah jantungmu akan
berdebar-debar
dan hati kecilmu berseru
memanggilku?
Jika nanti aku mengetuk pintumu
apakah kaubayangkan dalam pejam
bagaimana wajah dan sapaan
pertamaku?
Jika nanti aku mengetuk pintumu
apakah kau akan jatuh cinta lagi?
akukah masa mudamu yang kembali?
PENYELINAP
Di malam tertentu, aku menyelinap
ke ladang buahmu
mengairi yang ada dan melihat
semua baik adanya
pilihlah yang masak, sesap manis buahnya, katamu
kuingin wangimu sebab hari depan
masam untukku
kusayat daging buahmu, segar dan
merah berpadu
tanpa pernah tahu mengapa
kata-kata getir semata
dan hanya buah-buah terbaikmulah
penawarnya.
Kelak para penjagamu akan
mengejar bagai anjing
dan mengadiliku seperti pencuri
jika kau gagal panen
mereka lupa kau yang membiarkanku
berpesta atas
buah-buah yang masak di tubuhmu, atas buah-buah
yang sengaja kuselamatkan sebelum
menggelinding
ke jalan raya seperti bayi-bayi
yang lahir ke dunia.
PENGKHIANAT
Cintaku keras kepala. Tidak hanya
diam
dan mengawasi semua dari kejauhan
Cintaku adalah kegilaan, menembus
aturan
terbang lintas ruang menuju
keabadian.
Cintaku licik tiada terkira. Tak
hanya memejam
mendoakan tiap-tiap diri demi
kebaikan
Cintaku juga ketamakan, menebus
penggenapan
menjemput sendiri maut dan
kejatuhan.
Kupandang langit dari ujung
tebing ini
sedikit di atas batu-batu
bergerigi: tengadah
bersiap menerima tubuh di tanah
darah.
Kubayangkan nun jauh di sana
aku bebas menciummu berkali-kali
tanpa dihakimi, tanpa
disalahpahami.
Tapi tak bisa kubayangkan:
sebentar sepi
menghujani. Kata-kata akan habis
lagi
aku terpencil di kekal api.
PEZIARAH
Jangan kausisakan kata-kata di
balik lidahmu.
Ombak di sini akan tetap
menggulung seluruh
yang tak terkatakan. Mengapa kau
berdiam di situ?
Masuklah, tidak ada semak yang
terbakar dan kau tak
perlu melepas kasutmu. Tak perlu
melepas petualangan
yang tak pernah terikat padamu.
Bialah lakon sehari
cukup untuk ingatan satu abad.
Sebentar malam
merendam seluruh pengetahuan
termasuk bahasa ibumu.
Pandanglah aku, daki bukit itu
dengan ketetapan yang
kupatri di kedua kakinya. Kau tak
akan tergelincir.
Tak ada kerikil yang mendendam
mata kakimu.
Aku batu penjuru: ke mana arah
mataku
ke situ
ziarah kakimu.
PENGGAMBAR
Dalam buku gambar anakku,
matahari tidak muncul
dari sepasang gunung, tiada
petani menggarap sawah
tiada sungai membelah deretan
pohon-pohon.
Dalam buku gambar anakku,
matahari tertutup gedung
berimpit rumah-rumah, jalanan
disesaki mobil mewah
begitu ramai, penuh jalan layang
dinding beton.
Hingga tanpa sepengetahuan
anakku, dalam tidurku
kubongkar mimpi-mimpi, kucari
buku gambarku sendiri
agar aku bisa menggambar ulang
duniaku
agar anakku punya gambaran
tentang diriku
Anakku, anakku, mengapa engkau
tak meninggalkanku?
PERUPA
Tuhan memahat tubuh perupa
Perupa-perupa memahat batu
Batuan memahat kulit peradaban
Peradaban perlahan tapi pasti
memahat rupa tahun-tahun
hantu-hantu, tu-
PENYERU
Ketika aku bersamamu, butir-butir
darahku
menjelma anak-anak kijang yang
berlarian
mengejar induknya dari hutan ke
telaga.
Ketika aku bersamamu, urat-urat
nadiku
menegang bagai tali pedati yang
ditarik
puluhan kuda ke sebuah bukit di
utara.
Ketika aku bersamamu, inti
sukmaku
memendar ribuan warna cahaya yang
tertangkap mata; tak tersingkap
aksara.
Ketika aku bersamamu, ganjil
tubuhku
ingin menyatu dengan segenap
tubuhmu
bagai ruang dan waktu, raung
dalam seru.
Tentang Adimas
Immanuel
Adimas Immanuel Gunawan lahir di
Solo, 8 Juli 1991. Buku puisinya antara lain: Pelesir Mimpi, Di Hadapan
Rahasia, Suaramu Jalan Pulang yang
Kukenali. Bekerja sebagai konsultan komunikasi pemasaran.
Catatan Lain
dalam 6 bagian, yang hanya ditandai angka I s.d. VI. Paling sedikit bagian I,
dengan 3 puisi dan terbanyak bagian V dengan 9 puisi. Ada 7 foto dari M. Aan
Masyur. Diletakkan membuka bab baru dan sebelum biodata. Semua judul puisi
berawalan Pe-, yang menunjukkan seseorang, seperti Pejalan, Perantau,
Pengungsi, Pencari, Petualang, Penumpang, Penyendiri, Pembisik, Penggenggam,
Pemangsa, Pesolek, dll. Setiap judul itu diletakkan di halaman sendiri,
terpisah dari puisinya. Oya, di halaman belakang buku ada endorse dari Joko
Pinurbo: “Membaca sajak-sajak Adimas Immanuel ibarat mendengarkan seseorang
yang sedang bersenandika tentang cinta sehabis membaca berbagai narasi dalam
Kitab Suci yang penuh tamsil. Alih-alih mau menjadi pencari makna dan pendedah
tamsil, si “aku” malah beralih rupa menjadi tamsil bagi dirinya sendiri. Cinta
dalam permenungan Dimas adalah cinta yang gelisah.” Begitu.
Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.