image Breet |
Kupikir, aku belumlah gila untuk mempercayai sebuah surat yang tengah kubaca saat ini. Bayangkanlah, seseorang yang mengaku bernama Michel de Nostredame yang tinggal di sebuah kota kecil di Prancis, mengirimimu surat. Ah, mungkin tak akan jadi soal bila kau tak melihat tanggal surat itu ditulis. Apalagi cap pos yang ada di amplopnya. Tanggal penulisan surat itu, amplopnya yang sudah coklat menguning, juga kertasnya yang kecoklatan yang membawa masalah bagiku.
Di kepala surat itu tertulis kalimat seperti ini. St. Remy, Jelang Musim Semi, 1533. Ah, orang gila mana yang sedang membuat lelucon denganku? Kupikir lawakan yang gila hanyalah stand up comedy (karena aku begitu menyukainya). Ternyata, ada yang lebih gila lagi. Surat ini. Benar-benar gila orang yang mengirimnya kepadaku.
Sebenarnya, aku hendak membuang surat itu. Pasti isinya tak penting. Hanyalah lelucon, yang di ujung surat akan membuatku terpingkal-pingkal. Kuterka-terka, siapa yang punya ide sejahil ini? Setta? Yusi? Benny? Ah, mungkin pula Bamby. Keempat pengarang itu tentu tak asing dengan ide kurang waras seperti ini. Tapi, aku tetap membacanya. Membuang rasa penasaran yang telah bercokol dalam dada.
Beginilah isi surat dari seseorang yang mengaku bernama Michel de Nostredame itu. Dan aku masih berpikir, alangkah pintar ia mengarang sebuah nama yang terdengar sangat indah di cupingku ini; apa mungkin ia mengiming-imingkan nama ini untuk anak yang ada di dalam kandungan istriku? Ia juga pasti telah berpayah-payah mencari amplop menguning dan kertas putih yang sudah kecoklatan ini. Untuk menghargai kerja kerasnya itulah, aku membaca suratnya.
Kau pasti terkejut menerima suratku ini. Aku mengangguk dalam hati, menahan tawa. Ah, ini benar-benar gila. Ketahuilah, aku tidak berlelucon saat ini. Aku sangat serius ketika menulisnya. Aku pun serius membacanya, batinku. Namaku Michel de Nostredame, orang-orang di zamanmu memanggilku Nostradamus, usiaku sama denganmu. 30 tahun. Aku tinggal di St. Remy, Prancis. Saat aku menulis surat ini, aku sedang berada di loteng rumahku. Menatap salju yang mulai mencair. Ah, aku begitu kebingungan untuk memulai ceritanya. Tapi, aku pikir, kau harus tahu. Wajib tahu. Walau sebenarnya ini melanggar ketetapan alam. Masa depan adalah misteri yang tak boleh dikuak, tak boleh diungkap, apalagi diumbar. Tapi, aku benar-benar cemas. Sangat cemas. Entah, apa pilihanku ini salah? Mungkin saja, masa depan akan pincang karena kelancangan yang kuperbuat.
Aku menghela napas. Pilihan kalimatnya cukup membuatku penasaran.
Ketahuilah, anak yang tengah istrimu kandung. Saat ini usianya tujuh bulan. Dan hasil dugaan dokter tertanggal 4 Januari 2012, jenis kelaminnya laki-laki. Aku terhenyak. Ia tepat menyebutnya. Ah, ini bukanlah Benny, Yusi, Bamby, atau pun Setta. Belum ada yang tahu perihal jenis kelamin hasil USG anak pertamaku ini. Hanya aku dan istriku. Kabar itu akan kami ungkapkan di acara tujuh bulanan. Siapa orang ini? Aku mengeryitkan kening. Entahlah, mendadak rasa cemas menjalar dalam tubuhku. Apa mungkin istriku sudah menceritakan ini pada orang lain?
Anakmu. Anakmu membawa rahasia Suku Maya yang hilang. Ia akan lahir ketika matahari terbenam, tepat di bilangan bulan ke sembilan, lewat dua belas hari. Pada punggungnya rahasia itu tertera. Ia akan jadi petaka bila kau lengah, bisa jadi rahmat bagi semesta bila kau tahu cara menggenggamnya. Dan itu tak bisa aku tuliskan, tersebab aku pun tak bisa menguak masa saat kau berada. 2012 terlalu gelap untuk dibaca.
Aku mematung. Isi surat ini membuatku bingung. Apakah ini lelucon? Mungkinkah ada seseorang yang begitu tega meramalkan nasib buruk tentang anak pertamaku? Tinggal paragraf terakhir. Aku ingin membacanya. Aku ingin tahu, lelucon apalagi yang ia ungkapkan padaku.
Mungkin kau tak percaya. Tapi, aku benar-benar tak berdusta. Itulah yang kubaca di masa depan.
Salam,
Michel de Nostredame
Aku senyap. Sebenar-benar senyap. Tak ada lagi. Tak ada petunjuk apa pun. Siapa yang tengah berlelucon padaku? Kubaca ulang surat berkertas kecoklatan itu. Mungkin saja aku melewatkan sebuah petunjuk tentang orang iseng yang menulisnya. Tak ada apa-apa yang kutemukan. Tidak pada tulisan tangannya yang asing bagiku. Tulisan Benny, Setta, Bamby dan Yusi tidak seperti ini. Aku hanya menemukan sebuah fakta, betapa tinta yang terukir di kertas ini, terlihat sudah menyatu dengan kertas ini bertahun-tahun lampau. Tak seperti tinta yang ditorehkan satu-dua hari belakangan ini.
.
.
Sebenarnya, aku hendak melupakan saja surat iseng itu. Aku masih menganggapnya surat iseng. Pastilah orang gila yang beranggapan surat itu serius. Mana ada orang waras yang percaya, seseorang dari masa lampau, ratusan tahun silam. Tahun 1533, mengirimimu surat. Siapa kurirnya? Terlebih isinya tentang ramalan yang tak akan kau percaya. Hanya orang gila yang akan mempercayainya. Hanya orang kurang waras yang terus memikirkannya. Sialnya, aku tergolong orang yang kurang waras karena selalu memikirkan surat berkertas kecoklatan itu.
Susah payah aku menyingkirkan bayangan surat itu. Semakin aku berusaha melupakannya, ia semakin nyata dalam ingatan. Bahkan aku sudah hafal tiap baris kalimatnya. Apa mungkin karena aku sudah berulang-ulang membacanya? Ah, aku benar-benar bisa gila karenanya.
Terbersit keinginan untuk menceritakan tentang surat itu pada istriku. Tapi, aku mengurungkan niatku itu. Ini pasti tidak baik untuknya. Bagaimana bila istriku shock dan percaya akan bualan si Michel de Nostradame itu? Tentu itu tak baik bagi kesehatannya dan anak kami. Bertahun-tahun aku menunggu kesempatan jadi ayah ini. Telah enam tahun sejak kami menikah. Dan aku tak ingin nasib buruk mengintai hanya lantaran surat yang tak bisa dipertanggung-jawabkan. Aku pun memilih bungkam.
Aku memendamnya sendiri bersama cemas yang tiba-tiba saja sudah besar di dadaku. Entahlah, aku tak sadar, sejak kapan aku cemas melihat hari-hari tergunting di alamanak rumah. Ketika jam-jam merangkak. Dan minggu-minggu itu berguguran. Aku cemas. Sangat cemas. Dan kecemasan itu terbaca jelas. Tapi, orang-orang hanya tertawa dan mengolok-olokku. Itu wajar kata mereka. Sangat wajar. Setiap orang pasti cemas menanti kelahiran anak pertama mereka. Terlebih kami sudah menunggu demikian lama. Ah, tidakkah mereka tahu cemasku bukan karena itu saja?
Tiba-tiba saja, tanpa aku sadari, aku sudah tersugesti oleh surat Michel de Nostradame itu. Aku cemas bila yang ia ramalkan benar. Bagaimana jika ia benar-benar tak berdusta? Kudukku meremang. Bencana seperti apa yang anakku bawa? Ah, kegilaan ini perlahan-lahan akan membunuhku juga.
Pada akhirnya, aku akan kembali membuka surat beramplop kekuningan itu. Membacanya ulang dan mencari tahu siapa penulis isengnya. Tetap saja, aku tak bisa menerka-nerka. Terlalu gelap untuk ditebak. Ia hanya meninggalkan sebuah nama sebagai identitas. Michel de Nostradame. Ah, semua orang pasti bisa mengarang nama itu.
… orang-orang di zamanmu memanggilku Nostradamus….
Orang-orang di zamanmu. Aku mengulang kalimat itu. Apakah ia begitu populer hingga orang-orang di zamanku mengenalnya? Aku mengeryitkan kening sebagai pertanda pening. Tapi, aku tak mengenalnya. Apakah aku terlalu sibuk berkutat dengan pekerjaan dan kecemasan menunggu anak pertama hingga tak tahu hal populer yang tengah melanda? Kuingat-ingat, tak ada yang membahas si Michel de Nostradame ini di twitter.
Dan aku selalu mengalah pada keingin-tahuan yang terus mengejar. Aku menyalakan laptop. Mengetik nama Nostradamus di google. Apa yang kutemukan tentu saja membuatku tak bisa berkata apa-apa. Apakah aku kian cemas karenanya? Entahlah, aku tak paham dengan apa yang tengah bersarang di kepalaku saat ini.
Michel de Nostradame, lebih populer dengan nama Nostradamus, lahir di kota kecil bernama St. Remy, Prancis, 14 Desember 1503. Ia meninggal pada tahun 1566, tepat seperti yang ia ramalkan sendiri. Ia seorang clairvoyance alias seseorang yang memiliki kemampuan membaca masa depan. Banyak ramalannya yang sudah terbukti. Salah satunya ada dalam quatrain-nya yang meramalkan tentang seseorang bernama Pasteur yang membawa perubahan pada masa depan kedokteran, empat abad di depannya.
Aku berhenti pada tulisan itu. Entahlah, aku tak ingin melajutkan bacaan ini. Bisa jadi si penulis surat iseng sudah mengetahui secara baik tentang lelaki bernama Michel de Nostradame ini. Tentu. Tentu ia sudah berpikir matang sebelum menyusun lelucon ini padaku. Dapat kutebak, ia pasti menduga, aku akan mencari tahu tentang lelaki bernama Michel de Nostradame. Dan itu benar. Kisah lelaki itu ada di internet. Tentang kemahsyuran ramalannya. Ah, aku tak ingin, aku tak ingin termakan.
.
.
Aku benar-benar berusaha melupakan surat berkertas kecoklatan itu. Bagiku itu benar-benar tidak penting. Tak ada hubungannya dengan hidupku. Siapa yang bisa meramal masa depan? Dari rasi bintang? Ah, ada jutaan orang di dunia yang memiliki rasi bintang yang sama. Apakah dengan demikian jutaan orang itu memiliki nasib yang sama? Nyatanya tidak.
Aku benar-benar hampir bisa melupakan surat itu sejak aku membakarnya. Hampir. Hampir saja. Kalau kejadian beberapa jam lalu itu tidak terputar dalam hidupku. Entahlah, mungkin saja orang iseng yang menulis surat kepadaku itu benar-benar bisa meramal dengan baik. Atau ini kebetulan belaka. Mendadak saja, istriku mengaku sakit perut menjelang dhuzur tadi. Dan kata-kata yang diucapkannyalah yang menampar kesadaranku.
“Sepertinya, aku sudah mau lahiran, Bang!”
“Sudah waktunya?” aku cemas, istriku mengangguk dengan muka meringis.
“Sudah sembilan bulan dua belas hari, Bang. Sudah lebih dari masanya.”
Seperti diperintah, aku teringat dengan isi surat lelaki bernama Michel de Nostradame itu. Bulan ke sembilan, lewat dua belas hari. Aku menelan ludah. Entah, sugesti itu begitu kuat. Dan aku ketakutan sendiri. Takut yang teramat sangat. Tapi, tak ada pilihan. Aku membawa istriku ke rumah sakit. Dan di sinilah aku, bertarung cemas dengannya. Jemari kami hanya bisa bertautan. Aku tak tega melihat keryit wajah istriku.
Dokter dan perawatnya masih memberi aba-aba dan berusaha. Pun istriku. Cemasku kian kentara. Terlebih ketika melihat jarum jam melingkar di pergelangan tanganku. Matahari hampir terbenam, magrib sebentar lagi datang.
“Dok, bisakah kelahirannya ditunda sampai isya. Jangan magrib,” pintaku tiba-tiba. Dan tentu saja dokter itu mengeryit bingung, pun istriku yang masih meringis. Aku bungkam. Isi surat Nostradamus itu kian berseliweran dalam tempurung kepalaku.
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Cat in The Rain
Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.