arsitektur dekonstruksi

Diskusi Dekonstruksi Di Kampus Arsitektur


UFA-cinemas, coop himmelb(l)au. 1998


Rasanya gatal telinga ini kalau mendengar kata-kata dekonstruksi di kalangan mahasiswa arsitektur.

Tapi klo mulai dari awaal sekali, sepemahaman yg saya dapat ttg ini adalah bahwa istilah dekonstruksi BUKAN berasal dari ranah arsitektur. tapi merupakan metode membaca literatur yg dimunculkan oleh Jacques Derrida (filusuf perancis) atas penemuannya terhadap ketidakkonsistenan suatu naskah. Beliau berpendapat bahwa kehancuran suatu naskah justru terdapat pada naskah itu sendiri walaupun sudah terstruktur sedemikian rupa. Proses membaca naskah ini memerlukan ketelitian mendalam, yaitu dengan menggali pemikiran-pemikiran yg tidak terungkap pada naskah yg tertulis.


Cara membaca ini berbeda dengan cara membaca yg bermaksud mencari kesalahan-kesalahan atau sekedar mencari ketidak-konsistenan dari susunan kata dan makna. Tapi menggali lebih jauh makna yg tidak tampak di balik struktur naskah tersebut, bahkan makna yg tidak disadari oleh penulisnya sendiri. Dari sini disimpulkan jika dekonstruksi merupakan kata lain dari ‘menganalisis’ dan salah satu sifat dari dekonstruksi justru affirmative bukan negatif.

Mengapa pula diistilahkan dekonstruksi? pada waktu itu Jacques Derrida ‘nakal’ membongkar naskah-naskah yg dibuat oleh kaum strukturalis yang notabene merasa pemikiran mereka sudah mapan. Sejak saat itu Derrida pun mulai dipertimbangkan dalam dunia filsafat dengan teori dekonstruksinya, dan era post-strukturalis pun dimulai. Seiring berkembangnya pemikiran, dekonstruksi pun mengimbas ke disiplin ilmu arsitektur. Bagaimana prosesnye saya belum dapat pasti, mungkin ada lebih bisa menjelaskan.

Aduhh baru sampe sini saja,,,panas sudah kepala. Mbaeklah kita lanjut dikit lagi.

Dalam suatu forum kampus di facebook yang mengangkat topik dengan pertanyaan ; mengapa dekonstruksi terkesan horor bagi mahasiswa arsitektur?.

Pertama yg dilihat banyak orang khususnye mahasiswa, arsitektur dekonstruksi pasti identik dengan langgam arsitektur yang acak adut begitu katanya. Tidak jelas mana bagian depan dan mana bagian belakang bangunan. Arsitektur yang menggunakan material dan teknik pengerjaan yg paling mutakhir. Respon orang beragam pada saat melihat tergantung latar belakang pengetahuannya :

“Waaww kereen..ntar desain aku kayak gini ah…” (respon seorang mahasiswa semester awal yang lagi seneng bereksplorsi bentuk),

“kayaknya nggak mungkin deh dibangun di indonesia, gk konteks sama alam sini.”(respon seorang mahasiswa yang lagi kekeuh dengan konsep green arsitektur),

“Kok bentuknya kayak nggak stabil gitu..??! siapa sih arsiteknya?” (barangkali respon seorang mahasiswa senior yang tidak sengaja baru pertama kali ngeliat)

“Kenapa sih harus miring kan kalau tegak nyaman buatnya.” (respon tipe mahasiswa kritis tapi desainnya cenderung konvesional)

Dan lain-lain yang intinya rasa penasaran bercampur dengan kebingungan sekaligus amazzing, begitu kata mas tukul….

Kembali ke laptop…

Dengan respon beragam tadi barangkali perlu kita sadari bahwa barangkali kita memulainya dari ‘pemikiran’ yg terlalu berat, oleh karenanya bangunan dekonstruksi terkesan ‘horor’, bukan dalam arti menakutkan sebanarnya tapi karena gayanya yang asing dan sulit dimengerti maksudnya. Hal itu karena kita melihat produk yg sudah jadi. Padahal kita tahu kan klo produk arsitektur itu (sama seperti produk2 yg dibuat lainnya manusia) selalu melewati proses. Dari konsep desain yang mentah hingga konsep yang matang.

Kedua yg perlu kita koreksi lg, barangkali pola pikir kita/mhs masih dan selalu berpikir langgam, bentuk dekon yg terlihat sophisticated oleh mata pun dijadikan acuan dari langgam arsitektur dekonstruksi,,jadinya.. yang begini ini yg disebut dekon! Sama halnya kita menyebut langgam arsitektur modern spt apa. Tapi itu tidak salah (krn kenyataanya produk keluaran dekonstruksi hampir memiliki kemiripan langgam) tapi untuk sampai ke berpikir dekonstruktif, kecenderungan berpikir langgam masih rada naif. Yang ketiga, barangkali sama halnya dengan berpikir langgam, kita juga masih berpikir pakem. Penjelasan pakem itu yg kayak mana, buka saja buku form, space and order nya Franci DK. Ching yang sudah sekian lama jadi kitab suci anak arsitek di kampus-kampus sebagai acuan merancang bentuk bangunan dengan simetris, hirarki, aksis dan lainnya.

Begitu ketiga hal di atas bekumpul dalam kepala mahasiswa,,saat melihat karya dekonstruksi muncul ketidakcocokan persepsi atau pemahaman mereka terhadap wujud arsitektur yg selama ini mereka pahami dari produk desain yang konvensional. Dengn makin banyak dan canggihnya penggunaan software sekarang ini, paling menderita kalau mereka berpikir bagaiman cara modellingnya di komputer. Mereka terjebak dengan produk jadinya bukan proses.

Vitra fire station, Zaha Hadid. 1990-93

Coba jika kita perhatikan karya-karya eisenman, thom mayne, the manhattan trancript bernard tschumi atau karya-karya libeskind yang konseptual sewaktu masih berstudio kecil di milan. Kita bandingkan desain mereka jaman dulu dengan sekarang. Dari rumah yang ber-size kecil sampai bangunan yang ber-size kompleks maka kita bisa melihat bahwa mereka tidak muncul dengan tiba-tiba lewat desain mereka yang bikin heboh. Se-dekon apapun karya-karya eisenman, libeskind, ibu zaha, tschumi, thom mayne (morphosis) dan gehry, desain mereka melewati metode-metode yang mereka rancang sendiri dan bertahap sejak mereka berawal karier atau dari waktu mahasiswa hingga sekarang bisa menghasilkan rancangan yang extravagaza di mata publik. Dari sini kita simpulkan bahwa dekonstruksi itu proses yang kontinyu dan simultan seiring perkembangan kemampuan para arsitek tersebut berpikir desain dan memanfaatan teknologi dalam proses desain mereka.


What im trying to say is being excited dengan desain yang dekonstruksi is fine. Tapi lebih baik jika kita juga mentelaahnya juga, karena pola pemikiran metode yang mereka gunakan siapa tahu bisa kita pakai juga dan menerapkannya secara kontekstual. Sampai di sini saya rasa pendidikan kampus manapun di indonesia harus bijaksana melihat fenomena dekonstruksi yg berada di kalangan mahasiswa arsitektur. Mengapa? karena hal ini sebenarnya kan berulang-ulang saja dari jaman katakanlah mahasiswa era 80-an yang sampai sekarang sudah jadi dosen, kalau cara pandangnya sama dengan dia muda dulunya. . .turun menurun lah terus ke anak muridnya.

Kesamaan yg perlu kita ketahui dari para arsitek di atas adalah bahwa mereka sama-sama hobby ‘membaca buku’,,,barangkali ini nih ke-horor-an sebenarnya. Seperti yang sama-sama kita tahu bahwa mahasiswa arsitektur rada malas membaca buku, they think images talk everything. Padahal lewat membaca (baik yang eskplisit maupun inplisit) justru akan menghasilkan ide yang inovatif dan berkelanjutan. Kalau begitu wajar saja desain dekonstruksi terlihat ‘horor’ karena mereka kurang siap dengan informasi yang tepat yang perlu diketahui, untuk dapat melihat arsitektur dekonstruksi secara proporsional dan wajar.



Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top