Dodong Djiwapradja

Dodong Djiwapradja: KASTALIA


 

Judul buku: Kastalia (Kumpulan Sajak 1948-1973)
                                                   Penulis: Dodong Djiwapradja

Penerbit: PT. Dunia Pustaka Jaya

Cetakan: Pertama, 1997 (cetakan 4, 2013)
Tebal: 122 halaman (73 puisi)

Desain sampul: Ayi R. Sacadipura

Pengantar: Rendra (Penyair yang Waspada)

 
Kastalia
terdiri dari 5 bagian: Jalan Setapak
(1948-1949)
– 10 puisi, Getah Malam
(1951-1959)
– 12 puisi, Kastalia
(1960)
– 24 puisi, Jari-jemari
(1961-1963)
– 7 puisi, dan Lahir di
Tanah Air (1970-1973)
– 18 puisi

 
Sepilihan
puisi Dodong Djiwapradja dalam Kastalia

 
Makna
Sebuah Sajak

 
Makna sebuah sajak
arti sebait syair
Kata indah yang bulat,
ialah tanah air
 
Makna sebuah kata
arti sebaris kalimat
Inti segala perjuangan,
ialah rakyat
 
Makna sebuah lagu
arti sebuah nyanyian
Musik yang paling merdu,
ialah perdamaian
 
Makna dari segala makna
arti dari segala arti
Dan suara yang paling nyaring,
ialah kemerdekaan
 
1960
 
 
Pak Tua
          (sajak akhir tahun 1960)
 
Dengan
angin di kuduknya, tersampoklah muka keriputnya

Berderak
dahan-dahan usia, gemeletuk buluh-buluh

lututnya
Dan dari
batang-batang yang doyong

Diangkutnya
nafas sisa, perlahan, jangan sampai bolong

 
Tiada
mimpi atas kepalanya, hanya pecahan duka

Tajam
merasuk antara dada:

      Pak Tua, mana tongkatmu?
      Pak Tua, mana topimu?
      Pak Tua, mana arlojimu?
      Pak Tua, mana kacamatamu?
      Dan mana pula anak-cucumu?
 
Tidak!
Tidak!

Tak satu
pun di kantung celana

Kecuali
tembakau sisa,

apak –
sebab lama

 
Malam
bergumam di dagunya, bagai laba-laba

Merayap
dalam jaring-jaring uban hidupnya

 
1961
 
 
Merangkak
 
Merangkak-rangkak
Dari pagi
sampai petang

Menyeludup-ludup
Dalam
keramaian orang di pasar

 
Dalam
jalan ini

Airnya
coklat gatal-gatal

Dan peluh
bau asam macam-macam

 
Antara
orang sebanyak ini

Aku juga
orang di pasar

Ikut
campur tangan

 
Merangkak-rangkak
Dari pagi
sampai petang

Dalam riuh
di tengah pasar

 
1948
 
 
Tantangan
 
Jika dunia
bakal terpanggang di ujung bayonet

Mestikah
kita duduk

Dengan
lutut gemeletuk?

 
Penyair!
Nyanyikanlah
lagu:

 
Tentang
kemerdekaan

 
1060
 
 
Di Makam Ayah
 
Maut
bagimu bukan datang tiba-tiba

Tapi beri
tanda, serupa sebuah maklumat

 
Bagi yang
tua renta, dimulai dari kaki

Kemudian
menyelinap, sampai paha

Derita
adalah sesuatu yang fana

Bagi
setiap orang, biar ia lelaki

 
Tapi ini
bukan derita, namun panggilan

Karena, bila
sampai di dada

Lalu
kausebut nama Tuhan

 
Kemudian
tersenyum, bagai peristiwa perpisahan

Di
stasiun, di atas tangga kereta

 
Atau
Pelan-pelan
pudar

Terasa
bagai cahaya

Dari
sebuah pelita

Padam,
menghilang

 
Yang
tinggal hanya nisan

 
1960
 
 
Lukisan Fidus*
Der verlorene Sohn
 
Selesai
mencari, jawaban sunyi

Rumput-rumput
sepanjang parit kecil tergenang

Dan batas
permukaan bumi jauh sayup

Langit
luas, bumi jauh, alam tak bertiang.

 
Tangan
melipat di dada luka

Dan kepala
penuh duka

Hanya
pikiran mencari melangit tinggi

Terbang jika
bersayap antara langit dan bumi

Tidak
ketemu jua.

 
Air putih
di parit kecil tegang tak berujung

Samar
dusun jauh sayup

Antara
yang mencari:

Ke manakah
pergi?

 
1048
* Seorang teman di Purwakarta punya
semacam buku album lukisan dunia dengan diberi teks dalam bahasa Belanda, yang
pada intinya menerangkan tentang perkembangan seni lukis di Eropa sebelum PD 1,
reproduksinya banyak yang menarik sekalipun tidak berwarna; yang paling
berkesan di hati saya ketika itu lukisan karya Fidus yang berjudul, dalam
bahasa Jerman: Der verlorene Sohn (Si
anak hilang) sehingga tergeraklah hati saya untuk membuat sajaknya. Peristiwa
ini terjadi pada tahun 1947.

 
 
Kastalia
 
Kota
ialah
tiang-tiang listrik

trem
becak
 
Unsur-unsur
kehidupan

bumi fana
larut dalam
kebalauan sukma

 
Debu ialah
atom

inti
penipuan

melekat
pada bagian tubuh

paling
bernafsu

 
Penyair
nabi
wali
adalah zat,
meleleh di
atas aspal

hitam
kumal

 
Pemimpin
ialah
istana

Tentara,
senjata
Dan dari
relung-relung mesum

datanglah
pendeta

 
Kehidupan
ialah
tanah liat

yang oleh
tangan-tangan sakti

ditenung
jadi
patung

 
1960
 
 
Puisi
 
Kun
fayakun

Saat
penciptaan kedua adalah puisi

 
Tertimba
dari kehidupan yang kautangisi

Bumi yang
kaudiami, laut yang kaulayari

 
adalah puisi
Udara yang
kauhirupi, air yang kauteguki

 
adalah
puisi

Kebun yang
kautanami, bukit yang kaugunduli

 
adalah puisi
Gubuk yang
kauratapi, gedung yang kautinggali

 
adalah puisi
Dan dari
setiap tanah yang kaupijak

 
sawah-sawah
yang kaubajak

katakanlah
sajak

 
Puisi
adalah manisan

yang terbuat
dari butir-butir kepahitan

 
Puisi
adalah gedung yang megah

yang terbuat
dari butir hati yang gelisah

 
1970
 
 
Khotbah Depan Gubuk Tua
 
I
Apa yang kita mengerti
Tentang kehidupan ini: hidup kemudian mati.
 
Dari zaman ke zaman, abad demi abad
Bangsa-bangsa bangun bangkit, benteng lama rubuh runtuh
Dan dari puing-puing berlumut kita hanya dapat menerka
Dengan mata merayap-rayap pada tulisan kuna setengah
gelap
Tertutupi debu waktu – lalu bikin catatan
Dari janggut-janggut huruf yang lama tersimpan.
 
Gunung-gunung lembah lautan, kali kolam dan daratan
Warisan yang belum terbagi, harta seluruh penghuni bumi
Kita berkata: inilah milik kami!
Sebab di sini kami kawin, beranak berkeluarga
Dengan perasaan lega lalu berkata: sebab itulah kami
kerja!

Sebagian bercita-cita, yang lainnya turut serta
Ada juga yang melamun, mimpi hampa di luar segala yang
nyata
Atau gandrung sesuatu, perihal ihwal perempuan.
 
Terkadang berkelahi, ramai membawa senjata
Atau sama-sama berperang, bangsa lawan bangsa
Sebagian atau seluruhnya, hingga muka babak belur
Dan kota hancur lebur
Sebab terjadi kelicikan, lecut cambuk perkosaan
 
Terkadang pengkhianatan, dikhianati
teman kita

Mungkin juga istri kita
Itulah sebagian derita kita.
 
Terkadang kita merasa, punya diri
begitu kecil

Kita bicara tentang putus asa, kita
bicara tentang sia-sia

Lalu berkata: inilah batas hidup dan
mati!

Tapi alangkah kecutnya kita, sebab tak ada
keberanian

          hidup
Memang, kematian jadi
taruhan hidup kita

Karena nyawa kita, jiwa
kita, adalah yang paling berharga

Tapi adakalanya tak begitu,
ada yang lebih berharga:

kehormatan, keadilan, cinta
dan kemerdekaan

Sering bagi diri sendiri –
sayang!

Jarang buat tanah air
Tapi bagaimana pun itulah
perbandingan, bahwa di atas jiwa

Ada yang lebih berharga.
 
II
Terkadang berkeluh kesah
Dan mengira, dunia ini
selalu gelisah

Tak ada ketenteraman, tak
ada ketenangan

Seperti gemersiknya pohon,
daun-daun yang gugur jatuh

Atau seperti bunyi senjata
yang mengganggu keamanan desa

Atau jatuhnya
berpuluh-puluh bom, yang tertumpah di atas

kota
Seperti yang kita kenali,
seperti yang dialami

Sebab kegelisahan yang
menghasut jiwa tersembur ke luar

Anak-anak panah yang tajam
tercelup racun kebencian

Sudah itu berselimut, tidur
di atas tilam kain prasangka

Dan bermimpi – surga yang
hilang ditemui dalam mimpi

 
Lalu gembira, itulah
kebahagiaan!

Dan tatkala bangun,
terdengar anak menangis

Kemudian bertanya, mengapa
manusia begitu bengis?

Pandanglah kenyataan!
Tataplah kehidupan!
 
Memang,
Kita terkurung oleh waktu,
toh dengan keinsyafan tertentu

Kita terikat pada ruang,
dengan pandangan jauh ke seberang

Seperti selalu dikatakan:
langit merah adalah senja

Langit mendung tanda hujan,
langit cerah tanda pagi

Sedangkan burung-burung pun
menggeleparkan sayapnya

lalu bernyanyi, karena hari
ini mereka punya

Seperti tak ada hari
kemarin, hari esok atau lusa

Tapi mengapakah mereka
membuat sarangnya?

 
Dari sebab dan tujuan
terhimpunlah segala kekuatan

Bunga api yang tersembur
dari besi baja yang pijar

Bara api kehidupan,
sinar-sinar kekuatan

(Perjuangan tak semata
perkelahian)

Hal ihwalnya ialah
pembelaan, pembelaan terhadap hak

Kemerdekaan dan perdamaian,
ialah membela kaum yang

          lapar
Bangsa-bangsa yang
tertindas, seperti selalu kita bilang:

Demi keadilan!
 
Pabila tiap puisi adalah
nyanyian jiwa sendiri

Mestikah berteori, seperti
misalnya Paul Valery?

Apa yang dikatakannya,
hampa dari segala-galanya

Seperti cahaya yang
menyendiri, kemudian terpisah

dari hablur permatanya,
seberkas nilai tanpa tujuan

 
Arti tanpa Makna
Rasa tanpa hati
Hakekat tanpa zat,
Itukah kehidupan?
 
Adakah lengking tangisan
terpisah dari makna

          kesakitannya?
Adakah jerit si miskin
terpisah dari makna kemiskinannya?

Adakah birunya laut
terpisah dari makna laut-lautnya?

Adakah?
 
III
(Dan inilah singkat
ceritanya)

………………………..
Betapa dinginnya di puncak
gunung, depan rumah gubug tua

Kesunyian yang menghantu,
merajai bumi sepi

Dan malam menghidangkan
layar kelam, kelap-kelip bintang

genit
Permainan sepanjang masa,
penggugah lagu kekekalan

Hingga, terbangkitlah duga
khayalan

Jarak jalinan semesta, tersusun
dari angka-angka

Kemudian menghitung,
terdapatlah bilangan bulat

Tidak lebih kecil, dan
tiada lebih besar

Dari butir beras
Angka gaib Pythagoras.
 
Dan dari kesunyian yang
dalam, merajuklah musik alam

Sebentar tergantung,
sebentar melayang

Wujud setengah dewa, angin
kencang menyampok telinga

Inilah keributan!
Tak ada kesunyian
 
Kekekalan yang menggenang,
dengan bintang-bintang

menantang
Seketika layar pun turun,
pandangan pun silam

Babak kedua mulai,
tersingkaplah gumpalan awan

Suara badai, bahana lembah,
teriakan menerjang …

 
Akh, begitu terharu ia,
seorang tua yang bijaksana

Turun dari puncak gunung,
karena tahu di sana tiada yang

tahan
Juga lagu kekekalan …
 
Dan ketika pawai lewat
jembatan

Ia pun turun membawa
semboyan.

 
1963
 
 
Getah
Malam

 
I
Kuhisapi udara malam sebab ia bagian dari kehidupan
Lampu-lampu pijar jalan panjang kesibukan orang dan
                                                                             
  kendaraan

Tulang dan jiwa di sini bersatu, kehidupan daging dan
                                                                                          cita
Kusuka cinta di malam sunyi sebab suatu pengharapan
Juga cinta di malam gelisah sebab suatu perpisahan
 
II
Malam bertemu di Pasar Baru kemesuman di pojok jalan
Dan bintang tersawang tinggi, kebulatan cita dan
pengharapan
Terpagut mata pada bayangan senja malam besi tua
– serupa si tua bangka membungkuk di ujung usianya
Keharuan ditimba dari air kali yang lesi dan gang sendat di
perapatan
Atau karena suara lonceng gereja , adzan Tuhan diserukan
 
III
Terbaring di tikar Senen dalam pijitan tertawa rabaan
perempuan
Sedap ditingkah kecewa antara kehidupan remaja dan
                                                            
bayangan hari tua

Kegelisahannya melekat pada jalan rumah makan dan
tempat dansa
Di sini kehidupan cuma daging dan tulang
Namun di celah kelenteng tua kakek berdoa dan
sembahyang
 
IV
Sekarang hujan, kita tidak berpayung apa pula jas hujan
– serupa kesediaan yang tak sedia terhadap suatu
peperangan
Berteduh di emper jalanan, yang lain di bawah jembatan
 
Kita tidak berumah
Kita tak bertempat tinggal
 
1953
 
 
Jari-jemari
 
1
Dalam perjalanan mimpi-mimpinya
       seakan
kebenaran tersingkap

                seakan
matahari pagi

                       
seakan bunga meletik

                                – pada
kuncup-kuncup daunnya

 
Tatkala perlahan bangun, jari-jemari gemetar
Gemuruh lutut, dirabanya segala benda
Hanya bantal dan selimut!
 
2
Sinar tajam menembus kaca jendela, hari telah siang!
Begitulah waktu berlalu
Jika nyata tiada, terkadang mimpilah tempat berpaut
 
3
Bayang-bayang lal, bayang-bayang larut
kerna malam, kelamlah!
Tak ada bayangan, melainkan tangan sendiri
Di dinding: permainan anak-anak
Sia-sia waktu
Sia-sia usia
 
4
Dalam bayang-bayang mimpinya:
       pohon-pohon dan rumput-rumput,
               kasur
empuk penggembala

                      
betapa hijaunya!

 
      dan lagi
seruling bambu

              (bukan senjata)
                      
berlagu

       kali-kali yang
jernih, lautan yang biru

 
Maka dari sumber-sumber yang murni meluaplah air
Demi jari-jemari pun pada bergerak…
 
1961
 
 
Pidato
Seorang Petani Menjelang Akhir Hayatnya

 
Teman-teman setetangga,
 
Akhirnya kita berpisah juga
domba-domba pulang ke kandang
burung-burung pulang ke sarang
cuma, inilah bedanya:
aku tidak akan kembali
ke ladang seperti biasa
karena jagung punya umur
kacang punya usia
dan akulah padi
yang tidak berbenih lagi.
 
Semua karena tiba waktunya
jalan sudah sampai di batas
sungai sudah tiba di muara
begitulah usia, begitulah manusia
apalagi aku
petani yang ketiban penyakit
 
Kuucapkan terima kasih
kepada kalian, teman seperjuangan
yang telah berjalan bersama
bekerja bersama, menggarap tanah
bukan punya kita.
Namun demikian kita tetap gembira
atau seakan-akan gembira
demi terlihat oleh anak cucu kita
yang juga akan seperti kita
ataukah lebih dari kita?
Namun sebagai orang tua mengahrap
supaya kata-kata lebih
tidak dalam arti lebih buruk
kuharap mereka lebih baik dari kita
 
Sekali lagi kuucapkan
terima kasih
kepada teman-teman
yang sudi menengok waktu sakit
meski tak punya duit.
Hanya, dalam pada itu
maafkan jika keterlaluan
bukan tidak tahu aturan
cuma karena desakan hati
yang tak tertahankan.
Maaf bila kuberkata:
apakah maknanya ini
Upacara setengah keramat
atau puji-pujian mengantar mayat?
 
Bila ada yang menangis
silakanlah menangis
sepuas suka –
karena malaikat, datang bagaikan kilat
tidak seperti penarik pajak
yang dengan teliti cermat
menagih rakyat melarat …
 
(Ketika jam tiga lewat
maka, setelah kakinya tersentak
sejenak
lalu mata pun tertutup
dan nafasnya berhentilah).
 
1970
 
 
Penyair,
yang Lahir di Tanah Air

                                                                                          
Inilah aku,

                                                        
     Burung unta dari seberang

                                                                      
Bulu-bulunya terbuat

                                                   
Dari pantun, sajak dan tembang

 
                                                
                   (Vladimir
Mayakovski)

 
I
Di balik puncak segala kemegahan
Meringkiklah aneka bencana, duka nestapa
Bangsa yang primitif menari-nari
Di atas kepala-kepala kurbannya
Maka nabi pun berkata:
         “tunjukkanlah
jalan kepada mereka”

 
II
Semarak warna api pada senja, saat-saat ajal tiba
Tumbuhnya kerajaan gelap, seorang pun tak tahu
Unsur demi unsur lenyap, tiada gejala
Tak ada yang berteriak, tak ada buka suara
Melalui tubuhnya yang dingin, tergeletak
Tergores sejenak:
         “dari asal pulang
ke asal”

 
III
Di jalan-jalan yang sesat, di pojok-pojok ketololan
Perempuan-perempuan centil dan genit
Memasang jerat, menghimpun magnit
Dan tak tahulah kita, apa ini surga atau neraka
1001 macam impian dalam 1001 macam permainan
Usialah yang menandainya, sudah cukup tuakah kita?
 
Ketika bayang-bayang maut merangkak pada
                                                            
tengkuk dan pundak

Semuanya baru ingat, semuanya baru tahu
Juga para dewa, kecuali yang satu
Bahwa sebenarnya bukan begitu
Maka mereka pun berdoa, buat kesekian kalinya
        “ampunilah
segala dosa”

 
IV
Kuasa tanpa senjata, panglima tanpa tentara
Itulah nasib, mendadak menyapa kita
Memberi perintah buat menyerah
 
Hanya para mertua yang penuh curiga
Atas menantunya yang banyak bicara
Melihat pada keping-keping kebodohannya
Tersembunyi pada hati yang kurang teliti
Dan batuk mendeham, sekadar menutup kepalsuannya
Masam rasa yang menari di atas kemanisan muka
 
V
(Jam dua belas malam, bangun tersentak
Kulihat istriku dan anak-anak
Nyenyak tertidur, barangkali sedang mimpi
Di sini, tak ada mistik
Demikian pula politik
Hanya selimut buat mereka, dan nyamuk pada pipi
Harus kujentik)
 
Melalui celah-celah tembok, langkah-langkah mata
Menyusuri bayang-bayang masa, abad demi abad
Dan tumpukan waktu, hingga zaman jahiliyah
Di mana bayi-bayi yang murni dan perempuan
tak berdosa
Tertimpa malapetaka
Mestikah terjadi, berkali-kali
Justru pada abad ini?
Sentuhlah dahi, bahwa semua itu pernah selalu terjadi
 
VI
Umpan-umpan pada kail mata pancing
Ikan-ikan yang malang
 
Kebutaan demi kebutaan terhuyung
Dipapah oleh kedunguan
Tersaruk-saruk di lorong-lorong kepicikan
 
Penyair yang lahir hari ini
Pulang pergi dicaci-maki, sia-sia kata
Tanpa banyak ambil peduli, atau dicurigai
Bikin pusing bapa menteri, dan jawatan imigrasi
 
Duhai penyair, yang lahir di tanah air
Lorca dan Lumumba, Hafiz dan Tagore
O Ronggowarsito, bilanglah pada Hasan Mustafa
Inilah aku,
Tempat asal Indonesia
 
1970
 
 
Kapalku
 
Kapalku bertolak
telah jauh dari pantai
Gelombang memutih
sejauh biru pula tampak
langit dan air berciuman…
 
Jika nanti kapal ini kujumpa pula
Bekas kapalku dalam air ta’ nampak
membiru juga
 
Hanya dalam kenangan
dan buku catatan
tercoreng peta kapal hidupku
Nampak!
 
1948
 
 
Tentang
Dodong Djiwapradja

Dodong Djiwapradja lahir di Banyuresmi,
Garut, 25 September 1928. Pendidikan terakhir, Perguruan Tinggi Hukum Militer,
tamat tahun 1963. Menjadi perwira hukum di Lanuma Husein Sastranegara, Bandung,
sampai pensiun tahun 1976. Setelah pensiun bekerja sebagai dosen luar bisas
pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (1979-1985). Sejumlah sajaknya
dimuat dalam Gema Tanah Air (1948) susunan H.B. Jassin, Laut Biru Langit Biru
(1977) disunting oleh AjipRosidi dan Tonggak (1987) editor Linus Suryadi A.G.

 
 
Catatan
Lain

          Rendra
menulis 3 halaman pengantar di awal buku. Dibuka dengan paragraf ini: “Secara
sekilas, begitu selesai membaca buku ini, terkesan bahwa syair-syair Dodong
Djiwapradja penuh gambaran frustrasi dan rasa tidak bahagia. Tetapi bila kita
baca lebih teliti, ternyata tidak begitu. Sebenarnya Dodong sangat menyadari
situasi-situasi tragik dan kefanaan di dalam hidup ini. Oleh karena itu,
seluruh sajaknya memperlihatkan sikap hidupnya yang hati-hati, tekun melindungi
kemurnian hari nuraninya, dan sangat menghargai saat-saat bahagia yang kecil dan
sederhana, penuh rasa syukur kepada keindahan-keindahan yang mengharukan yang
diberikan oleh alam, yang semuanya itu ia lukiskan dengan cermat dan bagus.”

          Penyair sendiri menulis catatan pendek sepanjang
1 halaman (2 paragraf saja) setelah pengantar Rendra. Ia berkata: “Sajak-sajak
saya yang paling awal, untuk pertama kalinya dimuat dalam majalah-majalah: Mimbar Indonesia, Gema Suasana, dan Siasat
(dalam ruangan “Gelanggang”) pada tahun 1948.” Di penghujung catatan ia menulis:
“Sajak-sajak yang tidak dimuatkan di sini ialah yang tidak dapat ditemukan pada
saat pengumpulan, dan selebihnya adalah sajak-sajak yag saya anggap gagal atau
yang kurang saya senangi.”

 
 


Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top