buku puisi penyair perempuan

Emi Suy: AYAT SUNYI


 

Data Kumpulan Puisi

 

Judul buku: Ayat Sunyi

Penulis: Emi Suy

Penerbit: Basabasi, Bantul,
Yogyakarta.

Cetakan: I, Mei 2018

Tebal: 88 halaman (61 puisi)

Penyunting: Tia Setiadi

Pemeriksa aksara: Reza Nufa

Tata sampul: Airawan Ratra

Tata isi: Kay

Pracetak: Kiki

ISBN: 978-602-5783-06-7

 
Ayat Sunyi terdiri dari 2 bagian, yaitu Ayat (34 puisi) dan Sepilihan
Sunyi
(27 puisi)
 
Sepilihan puisi Emi Suy dalam Ayat Sunyi
 
Ayat Sunyi, 1
 
kuncup kamboja mekar
di perempatan jalan
 
bulan sabit
terbit di langit kamarku
 
temani aku
menggenggam rindu
 
hujan bulan juni
riuh sekali
 
derit pintu menua
menahan duka
 
telaga biru
menggenang di mataku
 
perih kecapi
berdenting di dada sunyi
 
 
Perempuan Sunyi
 
Hanyut di sungai waktu
berkelok menuju laut
 
Perempuan sunyi
menyimpan arus deras di bulu mata
akulah…
 
 
Menyeduh Rindu
 
Aku ingin menyimpan secangkir
kopi dalam ingatanku
ada bekas bibirmu di dalam rasa
kopi itu
karena aku menyeduhnya dengan
aroma rindu yang
          mengepul
kuaduk dengan penuh cita rasa
 
          Kau
beri aku wajah teduhmu dengan senyum
          paling
tamarin
setiap gurat-gurat dalam kerutan
mulai meleleh
setiap tatapan mengaduk secangkir
waktu menjadi hangat
Jangan pernah lepas dari ingatan
yang menggenang di senja paling
telaga
 
Di tempat ini, kau dan aku, saling
berbincang pada
permulaan senja
pada dinding sunyi yang
bersebelahan dengan jendela
berhadapan dengan kaca yang
memantulkan wajah kita
dalam tatapan yang hampir saja
pecah
 
Aku meminangmu menjadi jingga,
karena aku perempuan
          senja
Perempuan senja itu pemilik sunyi
Karib dengan detak jam dinding,
melewati setapak, tebing
          yang
curam
juga lautan waktu yang membawanya
terdampar diempas
          ombak
yang menggulung kisah tanpa kesah
yang dikeluhkan
Meski kerap kali kelu dan pilu
tak mungkin tak datang
          bertandang
menerjemahkan waktu sesungguhnya
ketika aku dan kau
          mengeja
detak jarum jam dan degup jantungmu di
          saat
yang sama
 
Biarkan seperti adanya saat alarm
menjadi sunyi
embun dan dedaun hening dalam
berdiam
Elegi senja temaram di antara
jendela tanpa kaca, itulah
jeda semestinya
 
Maka, biarkan sunyi tenggelam
dalam jeda malam yang
          temaram
Barangkali, sunyi dan senja kini
tertelan sepi
mati terkubur serpihan waktu di
balik jendela rumah tua
 
 
Ayat Sunyi, 18
 
di antara aku, kau, dan puisi
selalu ada sunyi
 
sepasang cangkir berisi cokelat
senja yang tersesat
 
 
Ayat Sunyi, 30
 
aku dan sunyi
masih sama seperti malam sebelum
hujan
menciptakan lautan dalam pikiran
 
biduk doa
berlayar menujumu
 
aku masih dengan rindu yang sama
biru yang sama
malam kesekian kali
dengan kopi kesunyian
 
 
Dewi Sri
 
tandur berjalan mundur
mengitari luasnya rasa
menabur benih harapan di lahan
garapan
 
doa-doanya subur
merindang di antara parit-parit
sambil menunggu panen tiba
 
 
Untukmu
 
malam merambat
anak-anak sajak menyungai di matamu
kecipak air basahlah wajah
kubenamkan seluruh rindu
pada dadamu yang laut
setelah kuhabiskan malam
dari balik kaca jendela
jarak yang terlipat
doa kulangitkan untukmu
 
 
Ayat Sunyi, 7
 
sunyi itu bening
sebagai embun
tak pernah melukai daun
atau mengotori jendela
 
sunyi itu hati
semadi di pipi puisi
 
 
Ayat Sunyi, 24
 
awan sepekat kopi hitam berarak
di mataku
nyanyian sunyi didendangkan angin
tarian hujan senja kopi pucat
pasi
mentari lembayung lebih awal
pulang ke peraduan
menggelincirkan kelelahan
dan sunyi pulang ke pelukan
tangan mungil
tangan lembut melelehkan lelah
menuju rumah yang sebenarnya
rumah di aman menanamkan rindu
dan kehangatan
rumah di mana senyum beranak
pinak
pundak-pundak yang siap saat
membutuhkan
rumah tempat merebahkan raga
yang fana menuju pulang
ladang ibadah menaburkan benih
budi pekerti
agar kelak menumbuhkan pohon
rindang berbuah manis
setiap helai daun akan gugur
dengan makna
pulang akan disambut ceria dan
celoteh
yang menjadi energi kebahagiaan
sederhana
saat aku menjadi kami
bersama secangkir kopi
 
 
Ayat Sunyi, 33
 
kaukah sunyi itu, kekasih?
hujan yang setia menunggu
gemericik yang ritmis selalu
romantis?
kaukah itu mengajarkan tarian
yang tabah?
 
langit tak pernah marah
meski bumi enggan memeluk
sebab hujan satu-satunya pelukan
maka biarkan aku menjadi
kekasihmu, hujan
 
betapa jembatan adalah waktu
penghubung
dari masa depan
dan harapan dibentangkan langit
dan lautan.
begitulah kata menunggu kita
dalam antrean panjang
 
betapa kita jatuh pada kata-kata
dan kota sebagai ingatan yang
menyungai pada waktunya
mencintai adalah menunda rasa
sakit
pada saat kelak di antara kita
tiba giliran
kukira sebagaimana gibran
berkata:
cinta adalah ketakutan dan kekuatan!
 
 
Kau Remas Bayangan Bulan
 
Kau remas bayangan bulan jatuh mangambang
di atas kolam
percikan demi percikan, kecipak
demi kecipak
wajah malam sedingin hujan yang
jatuh dari dahan
 
Air mata jatuh tak bisa kau halau
segalanya bergulir mengalir di
sungai waktu
sampai ke laut
hanyutlah sepi pada setangkai
anyelir
dan bulan mendesah di mataku
 
 
Ayat Sunyi, 10
 
sunyi menanggalkan daun
memetik kecapi
dalam diri
 
 
Kecemasan
 
pagi pandai sembunyikan cemas
di balik pijar emas matahari
 
bahkan menitipkannya
pada elang yang terbang
 
 
Ayat Sunyi, 26
 
Tuhan
kini aku kembali
menjadi sunyi
 
 
Tentang Emi
Suy
Emi Suy lahir di Magetan, 2 Februari. Puisinya tersebar di
bebagai media massa dan antologi puisi bersama. Kumpulan Puisinya: Alarm Sunyi (2017), Ayat Sunyi (2018). Juga menyukai dunia foto. Kini tinggal di
Jakarta dan berproses kreatif salah satunya di di Dapur Sastra Jakarta.
 
 
Catatan Lain
          Di halaman persembahan tercetak
tulisan ini: salam, semangat pagi/kepada hujan bulan juni aku ingin
begini:/kiranya ada yang lebih tabah selain sapardi.
            Penyair menulis
pengantar yang dijuduli “Tersesat di Jalan Sunyi”, dibuka dengan mengutip sajak
Chairil Anwar: Nasib adalah kesunyian
masing-masing
. Tulis penyair: “Bagi saya, sunyi itu inti, di mana kita
berasal dan kembali. Dalam sunyi, saya merasa segalanya menjadi terbuka; jalan,
pesan, dan tujuan.”
            Di
paragraf lain ditulis begini: “Makna sunyi itu menjadi lebih mewah lagi bagi
perempuan, khususnya di Indonesia. … Sebagian perempuan melalui sunyi bisa
menziarahi labirin dirinya.”
            Di
paragraf lain lagi: “Menulis puisi sunyi di tempat sunyi dalam situasi dan
kondisi sunyi adalah hal terindah yang pernah saya lakukan. Selain mengobati
diri saya sendiri, setidaknya kelak menjadi ‘jejak’: raga boleh tiada, usia
boleh usai, namun puisi tak pernah mati.”
            Di paragraf akhir
ditutup tulisan ini: “Akhirnya, saya pun sepakat dengan Seno Gumira Ajidarma,
bahwa setiap kali ada orang Indonesia menulis puisi, kita harus bersyukur kalau
toh ia tidak berhasil menyelamatkan
jiwa orang lain, setidaknya ia telah menyelamatkan jiwanya sendiri.” Jakarta,
15 Januari 2018. Emi Suy. 


Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top