HIV AIDS |
Sebelumnya Bagian I: Gambaran Umum HIV AIDS
Bahan Skripsi dan Makalah Lengkap Referensi kajian Kitab kuning pondok pesantren
Bagian II:
Dalam literatur fiqh klasik, alasan yang bisa menjadi dasar dibatalkannya pernikahan disebut sebagai aib nikah. Dikutip dari Imam Abu Suja’ dalam karya beliau Matan al-Ghâyah wa Taqrîb, Ibn Qasim Al-Ghazi menguraikan ada beberapa aib nikah yang bisa menjadi alasan dibatalkannya pernikahan, sebagai berikut:
(وترد المرأة) أي الزوجة (بخمسة عيوب): أحدها (بالجنون)، سواء أطبق أو تقطع قبل العلاج أو لا، )…والجذام والبرص والرتق والقرن. (ويرد الرجل) أيضا أي الزوج (بخمسة عيوب: بالجنون، والجذام، والبرص). وسبق معناها. (و) بوجود (الجَبِّ)، وهو قطع الذكر كله أو بعضه والباقي منه دون الحشفة؛ … (و) بوجود (العُنة) بضم العين، وهو عجز الزوج عن الوطء في القبل لسقوط القوة الناشرة لضعف في قلبه أو آلته[1] .
Artinya: “(Seorang perempuan dibatalkan pernikahannya) maksudnya istri, (dengan sebab lima aib), yakni: (dengan sebab gila), baik gila yang berkelanjutan atau putus-putus, baik sebelum persetubuhan atau tidak, (dan judzam, barash, rataq, dan qarn. Sedangkan lelaki) maksudnya suami (juga dibatalkan pernikahannya karena lima aib, yakni gila, judzam, barash), dan telah berlalulah maknanya. (Dan sebab terdapat al-jubb), yaitu puntung zakar, seluruhnya atau sebagian. Dan yang tersisa di bawah batas ukuran hasyafah, (dan sebab terdapat al-‘anat) dibaca dengan dhammah huruf ‘ain, yaitu keadaan lemahnya suami dari bersetubuh pada kemaluan, karena hilang kekuatan gairahnya, dikarenakan lemah hatinya atau memang lemah alat kelaminnya.”
Dari keterangan di atas bisa dipahami bahwa ada lima macam aib yang bisa mengakibatkan seorang perempuan batal dinikahi, yakni:
a) Gila, baik penyakit gila ini bersifat permanen atau temporal
b) Judzam, ialah sejenis penyakit ketika organ tubuh seseorang memerah, kemudian menghitam, dan lama kelamaan organ tersebut terputus
c) Barash, ialah sejenis penyakit kulit yang membuat kulit menjadi memutih
d) Rataq, ialah kondisi ketika alat kelamin seorang perempuan tertutupi oleh daging.
e) Qarn, ialah kondisi ketika alat kelamin seorang perempuan tertutupi oleh tulang.[2]
Sementara bagi seorang lelaki, juga terdapat lima penyakit yang menyebabkan ia ditolak pernikahannya, yakni:
a) Gila, baik penyakit gila ini bersifat permanen atau temporal
b) Judzam, ialah sejenis penyakit ketika organ tubuh seseorang memerah, kemudian menghitam, dan lama kelamaan organ tersebut terputus.
c) Barash (kusta) ialah sejenis penyakit kulit yang membuat kulit menjadi memutih.
d) Al-jubb, ialah kondisi terputusnya alat kelamin lelaki baik seutuhnya ataupun setengahnya.
e) Al-‘anat (impotensi), ialah kondisi ketik sebenarnya alat kelamin lelaki utuh, namun lemah.[3]
Penjelasan ini senada dengan keteranagan yang dipaparkan oleh Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam karangan beliau kitab Fath Al-Mu’in sebagai berikut:
ومن عيوب النكاح رتق وقرن فيها وجب وعنة فيه فلكل من الزوجين الخيار فورا في فسخ النكاح بما وجد من العيوب المذكورة في الآخر بشرط أن يكون بحضور الحاكم[4]
Artinya: “Sebagian dari aib-aib nikah diantaranya adalah rataq dan qarn pada wanita dan jub dan ‘anah pada laki-laki, maka boleh bagi tiap-tiap suami istri untuk memilih dengan segera untuk fasakh nikah sebab ada aib tersebut pada pasangannya dengan ketentuan harus disertai kehadiran hakim”.
Keterangan dipertegas pula oleh Syaikh Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny dalam kitab Kifayatul Akhyar sebagai berikut:
لَا شكّ أَن النِّكَاح يُرَاد للدوام ومقصوده الْأَعْظَم الِاسْتِمْتَاع وَهَذِه الْعُيُوب مِنْهَا مَا يمْنَع الْمَقْصُود الْأَعْظَم وَهُوَ الْوَطْء كالجب وَهُوَ قطع الذّكر والعنة فَإِنَّهَا تمنع الْجِمَاع أَو الرتق وَهُوَ انسداد مَحل الْجِمَاع بِاللَّحْمِ وَكَذَا الْقرن لِأَنَّهُ عظم فِي الْفرج يمْنَع الْجِمَاع أَو مَا يشوش النَّفس فَيمْنَع كَمَال الِاسْتِمْتَاع كالجنون والجذام وَهُوَ عِلّة صعبة يحمر مِنْهَا الْعُضْو ثمَّ يسود ثمَّ يَنْقَطِع ويتناثر نسْأَل الله الْكَرِيم الْعَافِيَة والبرص فَيثبت الْخِيَار بِسَبَب ذَلِك لأَنا لَو لم نثبت الْخِيَار فِي الْفَسْخ بذلك لَأَدَّى إِلَى دوَام الضَّرَر وَلَا ضَرَر فِي الْإِسْلَام[5]
Artinya: “Tidak diragukan lagi bahwa pernikahan dimaksudkan untuk selama-selama dan maksud terbesarnya adalah berhubungan badan. Dan kelima aib-aib tersebut sebagiannya ada yang menegah maksud utama tersebut, yaitu berhubungan intim, seperti al-jubb, yaitu puntung kelamin laki-laki, dan al-‘anah, maka penyakit ini menegak hubungan intim, atau al-rataq, yaitu sumbat kemaluan perempuan dengan daging, bagitu juag al-qarn, karena terdapat tulang dalam kemaluan perenpuan yang dapat menghalangi hubungan intim, atau penyakit yang dapat mengganggu jiwa, maka hal ini dapat menegah kesempurnaan hubungan badan, seperti sakit jiwa dan al-judzam, yaitu penyakit yang menyusahkan, yang karenanya memerahlah anggota badan kemudian menghitam dan puntung-puntung dan berguguran. Kita memohon kepada Allah yang maha pemurah semoga diberi kesehatan. Dan penyakit al-barash, maka sebutlah khiyar dengan sebab penyakit-penyakit demikian, karena jika kita tidak memiliki hak khiyar untuk fasakh dengan sebab demikian, maka akan berdampak selalu kekal dalam kemudharatan, padahal tidak ada kemudharatan dalam Islam”.
Mengenai dampak peyakit judzam dan barash, Syaikh Ahmad ibn Ahmad Al-Qulyubi menerangkan dalam karya beliau sebagai beikut:
(أَوْ جُذَامًا أَوْ بَرَصًا) لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا تَعَافُهُ النَّفْسُ وَيُعْدِي فِي الزَّوْجِ أَوْ الزَّوْجَةِ أَوْ الْوَلَدِ[6]
Artinya: “Atau terdapat aib penyakit judzam (kusta) atau barash (lepra), karena tiap-tiap keduanya dirasa jijik oleh jiwa dan dapat menular ke suami atau istri atau anak”.
Dari penjelasan ini jelas bahwa dampak dari penyakit judzam dan barash (lepra) berakibat serius bagi penderitanya, yaitu timbul penyakit yang menjijikkan pada tubuh dan dapat menular kepada orang-orang yang ada didekatnya, karena itulah syariat mentoleransinya dan membolehkan fasakh nikah bagi pasangan yang tidak tahan dengan dampak negatif penyakit tersebut. Pernyataan ini senada dengan pernyataan Syaikh Muhammad Al-Ramli sebagai beikut:
وَالْجُذَامُ وَالْبَرَصُ يُعْدِيَانِ الْمُعَاشِرَ وَالْوَلَدَ أَوْ نَسْلَهُ كَثِيرًا كَمَا جَزَمَ بِهِ فِي الْأُمِّ فِي مَوْضِعٍ وَحَكَاهُ عَنْ الْأَطِبَّاءِ وَالْمُجَرِّبِينَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ[7]
Artinya: “Dan penyakit judzam dan barash (lepra) dapat menular kepada oang-orang ramai dan anak atau keturunannya kebanyakan, sebagaimana Imam Syafi’i telah menetapkannya dalam satu tempat dan beliau menceritakan keterangan dari dokter dan para peneliti medis pada tempat yang lain”.
Begitu juga penjelasan dari Syaikh Khatib Al-Syarbini dalam karya beliau Mughni Al-Muhtaj berikut:
قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ: وَأَمَّا الْجُذَامُ وَالْبَرَصُ فَإِنَّهُ: أَيْ كُلًّا مِنْهُمَا يُعْدِي الزَّوْجَ وَيُعْدِي الْوَلَدَ، وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: الْجُذَامُ وَالْبَرَصُ مِمَّا يَزْعُمُ أَهْلُ الْعِلْمِ بِالطِّبِّ وَالتَّجَارِبِ أَنَّهُ يُعْدِي كَثِيرًا، وَهُوَ مَانِعٌ لِلْجِمَاعِ لَا تَكَادُ نَفْسُ أَحَدٍ أَنْ تَطِيبَ أَنْ يُجَامِعَ مَنْ هُوَ بِهِ[8]
Artinya: “Imam Al-Syafi’i berkata dalam kitab Al-Um: Adapun penyakit judzam dan barash (lepra), tiap-tiap keduanya dapat menular kepada suami istri dan menular kepada anak. Dan beliau berkata pula pada tempat yang lain: Penyakit judzam dan barash (lepra) adalah penyakit yang diperdebatkan oleh para pakar ilmu pengobatan dan penelitian medis tentang penyakit tesebut dapat menular kepada orang banyak, Dan penyakit tersebut merupakan penghalang bagi persetubuhan yang tidak ada satu orang pun yang mau bersetubuh dengan oang yang mengidap penyakit tesebut”.
Namun Syaikh Muhammad Al-Ramli menegaskan bahwa ketentuan penyakit tersebut baru dapat dijadikan alasan untuk mem-fasakh nikah bila sudah sampai pada tingkat kronis stadium lanjut, bukan baru gejala saja. Sebagaimana keterangan beliau berikut:
وَمَحَلُّ ذَلِكَ بَعْدَ اسْتِحْكَامِهِمَا، أَمَّا أَوَائِلُهُمَا فَلَا خِيَارَ بِهِ كَمَا صَرَّحَ بِهِ الْجُوَيْنِيُّ[9]
Artinya: “Dan kedudukan hukum demikian berlaku sesudah ditetapkan kronis kedua penyakit tersebut, adapun bila masi gejalanya saja, maka belum ada hak khiar untuk fasakh nikah dengan penyakit tersebut”.
Begitu juga penjelasan dari Syaikh Khatib Al-Syarbini dalam karya beliau Mughni Al-Muhtaj berikut:
هَذَا إذَا كَانَا مُسْتَحْكِمَيْنِ، بِخِلَافِ غَيْرِهِمَا مِنْ أَوَائِلِ الْجُذَامِ، وَالْبَرَصِ لَا يَثْبُتُ بِهِ الْخِيَارُ كَمَا صَرَّحَ بِهِ الْجُوَيْنِيُّ[10]
Artinya: “Ketentuan ini bila kedua penyakit tersebut sudah ditetapkan positif (kronis), berbeda hukum selain keduanya dari pada gejala judzam dan barash yang tidak sebut khiyar dengan sebabnya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Al-Juwaini”.
Akan tetapi dalam hal disyaratkannya ketetapan hakim yang menetapkan positifnya penyakit judzam dan barash (lepra) untuk menjadi aib fasakh nikah, Sayikh Sulaiman Al-Jamal menerangakan secara jelas kedudukan dan maksud pendapat tersebut dalam karangan beliau Hasyiyyah Al-Jamal ‘ala Syarh Al-Manhaj berikut:
وَالْمُعْتَمَدُ أَنَّهُ لَا يُشْتَرَطُ اسْتِحْكَامُهُمَا بَلْ يَكْفِي قَوْلُ أَهْلِ الْخِبْرَةِ أَنَّ هَذَا جُذَامٌ أَوْ بَرَصٌ اهـ شَيْخُنَا وَفِي ق ل عَلَى الْجَلَالِ قَوْلُهُ وَمُسْتَحْكَمُ جُذَامٍ وَبَرَصٍ هَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ لَكِنَّ الْمُرَادَ بِهِ فِي الْبَرَصِ أَنْ لَا يَقْبَلَ الْعِلَاجَ أَوْ أَنْ يُزْمِنَ أَوْ يَتَزَايَدَ، وَفِي الْجُذَامِ الِاسْوِدَادُ مَعَ قَوْلِ أَهْلِ الْخِبْرَةِ بِاسْتِحْكَامِهِ كَمَا سَيَذْكُرُهُ لَا التَّقَطُّعُ[11]
Artinya: “Menurut pendapat kuat bahwa tidak disyaratkan kronis kedua penyakit tesebut, tapi cukup pernyataan orang yang ahli tentang penyakit tersebut menyatakan bahwa penyakit itu adalah judzam atau barash (lepra). Selesailah perkataan Guru kami. Dan di dalam kitab Quffal di atas Jalal tentang perkataan pengarang -mesti ada ketetapkan hakim terhadap penyakit judzam dan barash- merupakan pendapat kuat, akan tetapi maksudnya pada penyakit barash (lepra) adalah sampai batas tidak dapat diobati lagi, atau bekepanjangan atau semakin bertambah. Dan maksudnya pada penyakit judzam adalah hanya sampai menjadi hitam serta ada ketetapan dari orang yang ahli tentang kronisnya penyakit tersebut, sebagaimana yang akan beliau jelaskan, bukan sampai berguguran isi daging dan kulit.
FOOTNONE:
[1]Ibn Qasim Al-Ghazi, Fath Al-Qarib Al-Mujib, jld.II, (Surabaya: Al-Hidayah, 2000), h. 232-233
[2]Syaikh Al-Khatib Al-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, jld.IV, (Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014), h.340
[3]Syaikh Al-Khatib Al-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, jld.IV, (Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014), h.340
[4]Syaikh Zainuddīn Ahmad Al-Malibarī, Fath Al-Mu’īn bi syarh qurrah al-īn bi al-muhimmah al-dīn, (Beirut: Dar Ibn Hazm, tth), h. 480
[5]Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, (Surabaya: Al-Hidayah, 1993), h.366
[6]Ahmad ibn Ahmad Al-Qulyubi, Hasyiyyah Qulyubi wa ‘Amirah, jld.III, (Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014), h.262
[7]Muhammad Al-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj, jld.IV, (Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014), h. 310
[8]Syaikh Al-Khatib Al-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, jld.IV, (Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014), h.340
[9]Muhammad Al-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj, jld.IV, (Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014), h.309
[10]Syaikh Al-Khatib Al-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, jld.IV, (Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014), h.340
[11]Syaikh Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyyah Al-Jamal ‘ala Syarh Al-Manhaj, jld.IV, (Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014), h.213
Selanjutnya Bagian III: HIV AIDS Sebagai Faktor Fasakh
Nikah Dalam Perspektif Fiqh Syāfi’iyyah
Terimakasih… Kunjungi juga bagian III selanjutnya sebagai kesimpulan hukum.
Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.