buku kumpulan puisi
: Imam Budiman
Hartani
yaitu Catatan Surat Kabar 2014 (51 puisi) dan Catatan Surat Kabar
2015 (49 puisi)
kala sampan belum sampai kita labuh ke handil
artikan setiap deru anak-anak angin perkampungan ini
sekian perjalanan dari jalan-jalan coklat setapak
pandang, gunung meratus menghamba-ngemis langit
berbaris ke kandang, melepas waktu yang kurang
si jinak nampak tak sependapat pada bayangnya sendiri
yang sedemikian rupa di dalam kolam; wajah ibu
nantinya aku benar-benar ditetapkan oleh sangmaha untuk
dengan tanah yang membasah, kain kafan, serbuk cendana
batu serta sepasang kamboja yang ditanamkan di atasnya,
perkenankanlah bait-bait puisiku tumbuh berkembang dalam hatimu
hanya untuk beberapa waktu saja
setidaknya, beri sedikit ruang agar sedianya
hingga puisi-puisi itu beranjak separuh dewasa
lepaskanlah, biarkan ia mencari hakikatnya sendiri tanpa ditunjuki arah
sekalipun. Ya, walau tubuh ini sudah
pasrah dilayapi gelap
hilang fungsi dan jantung yang enggan lagi memompa
tidak perlu khawatir.
beberapa larik puisiku yang terus mengepakkan sesayapnya
setiap pagi, saat sekawanan puisi itu bersua dengan
berhembus dari timur
aku kembali ada
cekung matanya yang paling dasar serta menyayu
perkampungan yang ia jaga sebagai lalawangan
sunyi sungai Martapura berperahu arkais dan kelam
menetas juang, menuntut hak hidup kanak lalang
seutas tali lekat mengakar di urat lehermu
serdadu-serdadu yang tak habis-habisnya berkelakar
menatap tatkala sketsa tentang dirimu di frame itu
dirampung-lukiskan oleh perupa berkelingking putus
keris singkir serta kalibelah muasal tanah sumba
perlawanan kepal pribumi mesti tetap mengental pekat
sabda-sabda keberanian lesap daging-tulang
yang tubuhnya tenggelam di lampau waktu
khianat menyembah pada akar pandulangan
yang seharusnya rela mesti tergadai?
sekadar setetes peluh di sawah orang tua kami
setetes darah yang jatuh di medan laga?
telunjuk rupa pada asalnya
seonggok jantung pada rusuknya
sebongkah kepala pada tubuhnya!
kita yang menyeduh segelas teh di hari yang masih sepagi ini
mengingatkan pada kita apa yang telah lalu dan tak dapat lagi mundur kembali
katamu juga, jangan pula tanpa butiran gula. manis harus bersebab.
tak sama pula dengan sembilu luka dan aroma murka
2014
beragama dari sebatang bambu
gemerisiknya
daun-daunnya
kesumatnya
sepi di dekat hilir sungai kecil
mengenal bahwa kesendirian
satu cara berdekat
Aku;
di kebun kecil milik ibu
kembang kantil merajuk; berhenti menyusu
di pelatar, ada kami yang bermain layar
ujung kertak berhulu di sujud tanah banjar
nama ibu di pusara bercuaca michelia alba
Quatrain//
cempaka putih harum jambu
sedari kecil disayang dan digugu ibu
adalah musim dan sejagat raya di tapak kuda
cinta kita, benar adanya ‘lah tersilap kata
tiada celaka perjumpaan daun angin
gerai rambutmu ialah sabda tuan pertapa
oh kantil, cintamu di kering batang galam
di pinta gerimis, duka dalam nyanyi shreya
cinta suara beraroma cendana bukit pekabar
nama dusun?
membunga pada kuncup kenanga
suku-suku, sulam perak songket kuala sutera
selembar daun perigi mahakam, loa
belajar mengaji dan menghafal aksara
berupa bukit sawit berkelok jurang, loa
tratak-dung, padang bulan!
bersarang di lamunan penduduk, loa
telapak bunga hutan dan teluh karma
kami waktu kecil memetik alif, loa
dipanggul bahu rentang jalan kalamur
pengantar lipan-mulawarman, loa
runtuh, sudi jilat kaki aspal tenggarong
membajak aksara di lahan batu hitam, loa
panggung kita ini dikebiri siapa?
pulang ke timur
tak kenal lelah
diusir ke sumur
tiada tampakan hasil
berahang lumpuh
sanding bersimpuh
beralas
ingin bebas
malam anjing
suara; mengunyah dosa
fajar dan laki-laki nakal
tanpa disematkan nama
aku dan aturan-Nya
seorang anak menaiki seekor kerbau di padang rumput
di tangannya bambu toreh seruling kuning
ia menatap kosong; entah kemana memicingkan arah
oleh keheranan-keheranan suri”
berjatuhan ke tanah
lalu kerbau itu mengunyah suara anak itu hingga
remah 2014
kecil
tiang-tiang pondasi oleh tetuha
tak seumur rahasia kami dibesarkan
kekayu ulin di bubungan lantai
pada letih dan harimau jadi-jadian
api tanah tahura lahirnya muasal
sepetak kebun kecil parahiyangan
di kedua sisi, mengayun seisi udara
sungai yang sunyi,
yang kedap kami bersembunyi
terkecil di sela suara buak beringin
menyeterui puisi yang dibacakan
jumlah tawa yang dikerah-beri kecapi
bertugas mencari,
tahu ke mana mesti rela berbagi
tangan yang harus menengadah
kaki kita yang semakna meminta
nama, suara, bumi, ; dunia!
menghitung dengan ketukan birama
nyanyi yang henti,
selipat kakiku di kaki-kaki cuaca
dibesarkan dari keteraturan rahim arus
diperdengarkan gelisah pusara mesin perahu
menjadi dayung berpulang hilir
berlawan di sore yang paling sayu
pelan perahu olahan kami ke tengah
diterpa hingga purna di dasar karam
pada kelembutan hakikat air, karena
masa kecil terulas dalam urat bakau
si utuh yang piawai berlompat
waktu, waktu demi garis dihantarkan
tak diajarkan rasa lelah bermain?
lain mengeluhkan, sebab karena
usai-usainya berjaga di gegurat-garis
membumbung sebuah tanya besar:
tidak menghadang seekor babi,
meronta-ronta minta
dalam diri?
semak, menyatu lumbung rumput
pernah tahu bahwa denyut napas tercegah
ranting, menimbulkan bekas bunyi
persembunyian kita,
mana kita ditidurkan oleh gelang dayak
kita masih saja kerap mencari-cari
lebih dulu menanam pangkal tumit
titik bercerai-pisah sajak ini
ketangkasan berlari selihai kancil lembah
di balik kata yang belum rampung
selalu dapat melepas tawa yang lesat,
kampung sebelah mengadukan
kekalahannya yang kerapkali berulang
yang terkenal pantai meneluh
menonggak tanda lelah,
pucuk puisi, telah menggantung di ranting senja
rayakan sejenak, di batas napas kian ternak
dan puisi yang tak lagi memiliki jarak
aku-kau-dia bermain dan bertengkar pada bahasa
kalimat, bait dan larik memintal sulam-sulam sapa
kelahiran Soekram, aku ikut serta datang dankau terlihat
merasa jenuh dan justru melompat dari karangan cerita
pada rumah kediaman kami, bahwa tak lama lagi
kerap kauceritakan tak sekadar menjadi jelmaan puisi
berbentuk kembang-berbunga prosa
pada diri sendiri,
menyelesaikan setiba bulan Juni nanti
sehabis-habisnya,” katamu sembari bersiul.
datang, aku bersimpuh di pangku segala kuasa
nabi-nabi, sekeranjang doa malaikat
kupatri dalam hidup, bernyala-nyala
ini adalah sujud penghambaan
dan segala hina hakikat diri
simpuh ini tak lagi kauterima
sebatas menjadi lagu di perapian
sudah mengeras dan begitu pahit
hamba mengadu?
taubatku, Ya Allah
segala kelengahan dan khilaf
dari segala kepemilikan apapun jua
kaupejamkan bunga taman edelweeis;
sewarna bunga abadi tebing pegunungan
ingin sekali tinggal bersamamu di hutan gerimis
menyenandungkan sajak-sajak cinta
perbatasan nama ibunda yang tabah menyusui
bercucur keringatnya mengalir keriput tua
biar kujelaskan padamu: -semoga-
adalah sekuntum napas anak-anakku kelak
kita! cucu ayah bunda yang dipinta
mengenal baik pula siapa perangaimu
punya alasan untuk terlambat meminang
rayakan pernikahan ini digubuk bahasamu
bolehkah kuutarakan saja?
setiap rintik, putri hutan gerimis
Kata Tak Berlengan
rumitkah merumuskan sepatah kata padamu
bunga tanah, gemericik mata air yang tak sudah-sudah
baru dari selor bergoyang-goyang, menyapu semai
kemudian kita mengartikan dengan sesuatu yang
paling musykil
sesuatu yang tak mampu dipaham-rahasiakan
sulitkah menempatkan sedaun kata padamu
memang suatu hari nanti, apa kau masih berani menyapa?
sebab cermin retak tak sanggup direkat janur pelaminan
lantas, hati perempuan mana yang mau didua-tirikan?
lebih dekat. coba katakan sekali lagi.
kata yang dulunya kau nyanyikan tempo hari
mengingatnya, tapi katamu itu sungguh syahdu sekali
banyak akar kata yang sukar ditafsir-terangkan
kata yang tak lagi memiliki keterikatan arti-arti
justru tersangkut di tengah-tengah kerongkongan
pijakan kalimat-kalimatku terlalu rapuh untuk disandari
tersayat, mengucur, bermuasal dari sembilu rindu
padaku, sekali lagi
sekali menyanyikannya
suatu hari aku pernah bercerita padamu tentang ulat naga,
linggau hatimu
suatu hari aku pernah meminta
kita
berjodoh –
dahulunya
membuncahnya
suatu hari, kita akan bersetuju untuk merajut hidup
senapas bersama
kau lebih tahu, bagaimana bisa membuat setiap
jawaban tertunda
menyeruak dari ladang cendawan hutan
kampung saling kejar dan enggan merasa kalah
tak paham betapa mulia sebuah permainan
bukit demi bukit di setiap kelok arah mandiangin
ayat-ayat daun ketela; mereka tetap saja berlarian
tak paham bagaimana waktu maghrib begitu sakral
bunga-bunga sepanjang kalampaian yang masih mengerti
seharusnya mengeja sisa jejak-jejak sunyi
rumpun haluan berdetak kenari
baru kemarin, honorarium menulis masuk ke rekening
sudah sejak lama aku ingin, jika hari ini aku berniat
berpoya dengan uang yang tak seberapa itu; beli buku
menelaah usang sekian nama dan judul yang kian purba
seperti mengingat masa muda penyair yang telah mati
yang berserak kini tertinggal lamunan buku-buku tua
sudah terlanjur seringkali memarahi;
mengutukiku dengan sindiran sebab aku beku berlama-lama
aku tertarik pada patung yesus kecil melebar tangan
ingin kumasukan pula keranjang, tapi aku khawatir
pulang ke rumah, oleh bapak, aku malah dituding kafir
Kopi, 1
semua orang tahu, secangkir kopi tidaklah pandai bicara
terlebih hingga duduk bersama memilin-sulam cerita
sebalik aroma, ia menjadi tokoh yang tak hitung pusara
pagi ini kuseduh lagi
dan namamu memanggil-manggil di dalamnya
Kopi, 2
tengah resah sejumlah kata dan titik keinginan debu kota
tentang hidup yang senantiasa diperbincangkan; ladang-warung
kaukah yang mencemari udara dengan derai suasana?
Kopi, 3
tak seperti cuaca di dalam kopi kita
yang hilang di balik rerimbun toska
seperti hujan yang berdebar antara mereka
potongan kuku jarimu tersisa di dedak paling usia
dan Etalase
aliran impresionis-surealisme
kunang-kunang
jengkal ubun-ubun
serupa
musim-
kali turun
sudah merasa kenyang,”
ujarnya
mendiamkan
hikayat zaman
saling bertukar
diam-diam. Mengeluhkan, betapa hutan sudah bukan menjadi tempat berladang serta
memeranakkan air mata.
dalam surat-surat kecil.
peluh-
sekarang
dari ‘sup
rasanya. Kita saling
manakala ibu
pelataran
ditinggal mati
lebih memilih
yang baru
setiap
sebesar kepalan
kerikil
mudah.
bumbu
ranting
layu dan
dipadu-padankan
seumur
tuk
Seperti
dihalangi
bintang
diperanakkan dalam
dalam surat-surat kecil.
sunyi. Ia
seketika
dongeng
tengah
satu
memandanginya.
hal-hal
kita saling
sudah tak
oleh
pada pekat.
Kalimantan Timur. Ia menamatkan pendidikan Aliyah-nya di Pondok Pesantren
Al-Falah Putera, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Kini berstatus sebagai
Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di waktu
yang sama, ia tercatat pula sebagai Mahasantri Darus-Sunnah International
Institute for Hadith Sciences, Ciputat, di bawah bimbingan Prof. Dr. KH. Ali
Mustafa Yaqub, MA. Beberapa cerpennya terhimpun dalam kumpulan cerpen bersama,
diantaranya: Iblis Tidur (Minggu Raya Press, 2013) dan Sang Penulis
(LPM Mercusuar, UNAIR Surabaya, 2015). Puisi-puisinya terhimpun dalam antologi
puisi bersama antara lain; Teriakan Bisu (Tahura Media, 2011), Ada
Malam Bertabur Bintang (Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2015), Tifa
Nusantara II (Dewan Kesenian Tangerang, 2015), Pilunya Negeriku
(Oase Pustaka, 2015), Kalimantan Selatan Menolak untuk Menyerah
(Disbudparpora Kabupaten Banjar, 2015), Kalimantan Rinduku yang Abadi
(Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2015), Pelabuhan Merah (Sagang
Intermedia Riau Pos, 2015). Sepilihan Sajak Kampung Halaman (2016)
adalah kumpulan puisi tunggalnya yang kedua setelah Perjalanan Seribu Warna
(2014). Beberapa cerpen dan puisi-puisi termuat di berbagai media cetak
Nasional dan daerah.
puisi ‘Kampung Halaman’ dan komentar-komentar teman, yaitu dari Ali Syamsudin
Arsi (Banjarbaru), Daruz Armedian (Yogyakarta), dan Cikie Wahab (Pekanbaru,
Riau). Di sampul depan ada komentar Dimas Arika Mihardja. Komentar-komentar
tersebut muncul lagi di halaman iii. Halaman v ada ucapan terima kasih dari
penyair, bertanda Ciputat, 4 Februari 2016. Halaman persembahan berbunyi:
“Untuk adik perempuanku,/Salmiyatun Nufus”. Halaman 129-130 ada ‘Riwayat
Publikasi’ puisi-puisi. Ada 14 ilustrasi di dalam buku (yang masing-masing
menempati 1 halaman penuh) dan tak ada
foto penyair.

Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.