Utama, Jakarta
Literatur, November 2019)
Marga dalam Empedu Tanah
pot-pot
yang terbuat dari botol-botol air
mineral
yang ia susun vertikal pada
sebuah rak di pekarangan
batang tumbuhan itu runduk
seperti tubuh manusia
bungkuk. daun-daun sekulai tangan
tak bisa
merentang, tak mampu menerima
sekaligus melepas
segala yang diberikan kehidupan:
cahaya matahari atau
udara berpolusi, bulir-bulir
pupuk daun atau percik ludah
mulut manyun. di larutan dalam
pot botol berdinding lumut,
helai-helai akar menyerupai
rambut tergerai dan terendam,
cacing-cacing merah muda berenang
bagai melayang
bergerak bukan sebab ingin pergi
atau hendak pulang
bergerak karena waktu dan ruang
memberi peluang.
disemai
menanam pohon jambu, yang ia
panen: daun benalu
menabur benih sawi, yang tumbuh:
rumput teki
memupuk ladang pepaya, yang
subur: ragam gulma
memelihara cita-cita, yang membesar:
keluh kesah saja
biasanya, ia rayakan gagal panen
dengan pesta bakar ladang atau
tebang pohon
namun, kali ini, sambil pegangi
kepala yang memberat
seperti habis menyantap sop
kambing, beralas tikar rumput
yang terhampar di pekarangan
rumahnya, ia hanya duduk
ditemani beberapa bongkah tahi
kucing. ujung pisau nasib sial
yang menikamnya kali ini,
barangkali, tak terlalu runcing.
telah 6 jam
menggantikan kerja matahari, ia
akan mendekatkan
ujung telunjuknya yang tertembus
jarum jahit no. 9
ke mulut botol obat luka, setelah
cairan merah
yang menitik dari sana menyatu
dengan merah lain
di ujung jari yang luka, penjahit
itu akan mencopot
benda yang menusuk telunjuknya
dari posisi penting
di tubuh mesin jahit. jarum jahit
no. 9 akan tergeletak
dalam asbak, bersama puntung dan
abu, bersama
hal-hal yang tak lagi dianggap
perlu.
yang suka
menghukum pihak lain atas
kesalahan yang tak mereka lakukan.
beralas punggung meja tempatnya
biasa menggambar pola
di antara hamburan benang ragam
warna, aneka bentuk kancing
spul, bobbin,
pita ukur dan kapur jahit, dibantu sepasang lidah
itu dari tangannya
sembil berkata: kau berdarah
kareana kau bergerak tak sesuai arah.
sesuatu
sebagaimana adanya,
kadang-kadang, tidak melulu berasal
dari luar raga. setidaknya, bagi
mataku, sewaktu memandang
sebuah kota dari pucuk bukit yang
menghadap ke laut.
bukan kepul asap dari cerobong
pabrik yang menghalimuni
mataku hingga kota seakan-akan
meja makan. namun,
uap dari lapar yang mendidih
dalam perutku
yang menabiri pengelihatan.
laut berkapal tampak bagai
selembar roti berkismis.
orang-orang yang hilir-mudik
di tepiannya, di pasir tak jelas
warna, menyerupai gerombol
semut yang berbaris di pinggiran
roti, merompak remah
segala yang manis. hanya yang
manis.
tegak di bagian kanan
laiknya puding pandan yang
sebagian badan telah dimakan.
truk-truk pengangkut pasir dan
batu – roda mereka
menggilas kaki gunung itu –
umpama lalat-lalat hinggap
lalu lekat pada saus vanila yang
menggenangi bagian
bawah puding.
sakit, rumah ibadah
rumah dinas walikota, gedung
perkantoran, hotel, sekolah
pom bensin, lapangan sepakbola,
supermarket, bengkel
serta bangunan lain yang sesak
terserak bagai tak berjarak
di antara laut dan gunung,
semacam belatung-belatung
menghimpun diri di piring berisi
kepala ikan bakar basi
di tengah meja.
lapar di pucuk bukit
persis kucing yang terkunci dalam
kandang besi, meringkuk gemetar
memandangi meja makan dari atas
lemari pakaian, dalam rumah
lelaki yang mati kekenyangan
karena mengira di tengah tubuhnya
ada samudera yang kuasa menerima
apa saja yang dimasukkan ke sana
padahal, perut semata.
di dalam kamar, dengan tubuh bersalut
kebaya merah mawar
kutunggu kedatangannya tanpa setitik
gentar.
kubiarkan rambut terurai agar tunai
tangannya membelai.
kain berhias benang emas membalut
pinggang hingga mata kakiku
menyembunyikan sumur sonder dasar,
tempatnya melepas
jutaan mahluk serupa anak katak dari
dalam tubuhnya.
di atas ranjang yang kulapis sprei
sewarna abu, perlahan ia lesapkan
jutaan mahluk itu tanpa sisa ke dalam
diriku, menjadi milikku.
sementara jauh di atas kamar kami,
awan-awan mekar
setenang dan sesunyi lotus merekahkan
kelopak di permukaan telaga
keindahan yang ditebar tanpa suara.
sepasang burung gereja yang biasa
berkicau di ranting kenanga
akan bersamadi dan menelan seluruh
cericitnya,
hingga yang dihamparkan alam semesta
hanyalah keheningan
keheningan yang pecah oleh desah
nafas dan derit ranjang percintaan
gunung dapat bergeser, kabut mau
menipis, awan tak meledak jadi hujan
langit tak melecutkan kilat, pusaran
angin bergeming
matahari tak sembunyi di kejauhan,
doa yang dirapalkan teman perjalanan
mampu mengetuk pintu kamar tuhan,
malaikat maut melepas cengkeraman
dari badan pesawat yang gemetaran,
atau sepasang sayap menyeruak
dari dalam punggungku, mengepak,
membawaku terbang menjauhi api
yang tak berampun menghabisi isi
perut dan seluruh tubuh rajawali besi
tapi gunung tetap pada tempatnya,
seinci pun kabut tak menipis
seperti gerombolan setan turun dari
neraka, hujan berluncuran
di persembunyiannya, matahari
meringkuk menyaksikan langit
mengibaskan kilat, doa yang
dirapalkan bibir-bibir gemetar
hanya jadi peluru yang lepas lalu
sasar
cengkeraman malaikat maut di tubuh
pesawat semakin gawat
sayap tak tumbuh di punggungku saat
rajawali besi lunglai diabukan api
tangis, jerit, dan lolongan yang
memanggil nama tuhan
menghantam punggung pegunungan,
bayangan wajah kekasih bertaburan
bersama repih tubuh-tubuh manusia
yang berhamburan
ke dalam mimpi indahmu, aku kini
menyelinap
meminta bantuanmu untuk mencari tahu
apakah berita hancurnya sebuah
pesawat
remah tubuhku yang tak berjejak dan
tak beralamat
serta pernikahan yang urung dihelat,
membuat kekasihku
sulit lelap atau tidur dalam nyenyak
yang sangat?
TERBINGKAI JENDELA
rumpun asoka
yang bergoyang
sejenak lalu diam
di dekat
jendela kamar yang terbuka
melambai sesaat
lalu diam
jendela, gadis kecil berdiri
poni di dahinya
sebentar terangkat
lalu jatuh tanpa
debam
tersempil
liontin perak
berbentuk telinga kancil
luput mendengar
desir darah dalam
tubuh mungil
saat menyaksikan
angin sore menggerakkan
segala hal di luar
jendela, segala hal
yang baginya tak
lagi sama:
dulu rampak berbunga
kini memekarkan
sejumlah rumpun saja
layu di bangku kayu:
dulu, singgasana
ibu
tempatnya mati
menenggak racun cemburu
bapak
tempatnya
memandang matahari pulang
sambil
melingkarkan tangan di pinggang perempuan
yang dikawini
sebelum nyawa istri meregang
tak akan pernah sama
tapi di mana gadis
kecil itu meletakkan air mata
tak pernah
berbeda: di tirai jendela
tahu alasannya.
30 orang beriringan menuju makam
10 orang menggotong keranda
sisanya membawa ragam benda:
payung, teko, bunga, airmata,
doa.
sekadar gerimis pun tak
berkelebat.
orang-orang berjalan dalam
kepungan
sinar matahari yang setajam tepi daun
tebu.
mereka menarik dan menghembuskan
nafas
di udara sesak debu.
arang
perempuan berbaju warna api
berjalan di tengah rombongan ini.
ia tahu mengapa makhluk dalam
keranda
meregang nyawa saat hari jelaga.
namun,
mulutnya terkunci seperti pagi
tadi
saat nenek sampaikan pesan ibu:
pakailah baju hitam bila ke makam
supaya duka tampak lebih dalam.
berbaju hitam
ia tatap pundak para lelaki yang
menandu
keranda berisi raga ayahnya. di
matanya
pundak-pundak itu bagai bersatu,
menyusun diri jadi pundak
bapaknya:
tempat ia duduk mengayunkan kaki
di kala balita
tempat ia menitipkan airmata di
kala dewasa.
di tenggorokan
ketika pandangannya bermuara di
perempuan tua
yang jalan terseok di barisan
depan.
pundak makhluk itu sesekali
terguncang.
di sebelah kiri wanita tua,
perempuan lain
pada pundak rapuh itu, sesekali
beri sentuhan.
menangis.
namun, mulutnya terkunci seperti
pagi tadi
saat melihat ibu berjalan dalam
iringan lain
menuju tempat lain. di kanan-kiri
ibu, berjalan
dua lelaki berseragam. di tangan
kanan-kiri ibu,
dua gelang logam melingkar
bertautan.
langkah para penandu keranda
makin cepat.
masih tak ada hujan lebat,
sekadar gerimis pun
tetap enggan berkelebat.
memutar tubuh
berlari meninggalkan rombongan.
ia ke mana? ia ke rel kereta.
dari liang, tempat tubuh ayahnya
kelak dilebur cacing lalu terurai
jadi unsur hara
benda itu hanya berjarak beberapa
puluh meter saja.
setelah kelopak matahari mengatup
dari balik bukit berpohon sedikit
kepala purnama menyembul
matanya menabur cahaya
serupa cakra mata ketiga yang
mekar sempurna
seperti tangan petani menebar
benih
di tanah yang matang oleh doa
cahaya menyebar:
ke tangan istri yang sedang
mencengkeram leher kekasih suami
ke tangan ibu yang gemetar
menghapus keringat dingin di dahi bayi
ke kucing pincang yang tak henti
mengeong
usai dilempari batu oleh penghuni
rumah yang disinggahi, ke anjing
yang terbaring di rumput menunggu
kedatangan tuannya, ke balita
yang lari ke sana-kemari, tanpa
berpikir untuk apa ia lahir
dan ke mana kelak pergi setelah
detak jantung berakhir, ke lelaki tua
yang sibuk merayu malaikat maut
agar tak datang buru-buru
sebab dosa-dosa masa lalu belum
sempat tersapu.
purnama menebar cahaya
tak seperti petani
tak berharap menuai yang ditabur di
bumi.
terhampar dalam lukisan
yang pagi tadi diantarkan tukang
pos padaku.
sebilah jarum seperti mencucuk
jantungku
saat nama pengirim sekilas
terbaca. nama yang sama
dengan yang kuberikan pada
seorang putera.
dengan dia, telah puluhan tahun,
akuk tak bertatap muka.
beledu, dinding warna akar tuba
plafon mengibarkan benang
laba-laba, rombongan rayap
berumah di kusen jendela, tirai
berwarna semuram ketam
meja dan kursi hilang kaki,
lemari kaca dihuni tumpukan panci
jam dinding ditumbuhi fungi,
televisi nyala tanpa warna, sofa busa
koyak pembungkusnya, dua gulungan
wol hijau jeruk purut,
perempuan keriput duduk merajut.
itu sebagaimana aku kenal
seluruh benda yang tergambar di
situ. tidak, tidak seluruhnya.
tergeletak di meja tak berkaki,
buket mawar dengan kartu ucapan
bertuliskan “untuk ibu” adalah
yang asing di antara semua yang akrab itu.
seasing perasaanku menerima kado
dari anakku: ia yang kukubur
usai kulahirkan puluhan tahun
lalu.
yang ditumbuhi jutaan jejak kaki
ketika di tepi laut, aku berdiri,
meletakkan tatapan di hamparan camar
di bagan-bagan apung yang
berderet membentuk barisan, di kapal-kapal
yang berlayar membawa harapan dan
penyesalan. tampak samar
gerak asap kapal membentuk
selendang, melayang lalu hilang,
sesaat putih lalu bening tanpa
bayang, bagai wajah orang-orang
di masa silam, yang hilang
setelah gemuruh ledakan gunung
di tengah laut ini berangsur
hitam.
berdiri
berpegangan tangan tanpa
percakapan, diam memperhatikan
orang-orang menanti kepergian
atau menunggu kepulangan.
sebagaimana aku, di tepi laut
ini, dua remaja itu kerap berdiri
melepas dan menyambut kapal yang
hendak berlayar atau menepi.
bertahun lalu,
di kapal yang kukira akan
menghantarku ke muasal:
ibu, sekuntum bunga yang
melindungi aku (saat masih putik)
dengan lembaran petalnya. di sisi
kiriku, dua remaja itu duduk
berpegangan tangan, masyuk
membincangkan kota-kota
yang kelak jadi tujuan. sesekali
mereka tertawa, sementara aku
sepanjang waktu mengenang wajah
ibu yang tak pernah kulihat
ribuan minggu.
hendak sandarkan kepala di bahu kekasihnya
ledakan itu terdengar. sebongkah
gunung telah melontarkan batu
dan menumpahkan api ke laut.
angin panas penuh abu dan debu
mendatangkan kawanan halilintar
yang menyambar, mencambuk
dan mengoyak permukaan laut.
sambil memeluk sebuah tiang, dalam kapal
aku dengar orang-orang menjerit.
kulihat seorang ibu terkapar
saat menyaksikan, ke laut,
bayinya terlempar.
asap membubung
bagai mengiring nyawa-nyawa
menuju rumah pemilik langit yang agung.
memeluk sebuah tiang, aku
terpanggang. aku tubuhku melayang,
bersatu dengan debu, terbawa
angin ke muasal lain, muasal yang bukan ibuku
tetapi tempat dulu kapal
menjemputku, tepi laut yang mempertemukanku lagi
dengan sepasang remaja yang
telah, sebagaimana aku, menghantu.
Inggit Putria Marga lahir di
Tanjugnkarang, Lampung, 25 Agustus 1981. Lulus dari fakultas Pertanian,
Universitas Lampung tahun 2005. Kumpulan puisinya: Penyeret Babi (2010) dan Empedu
Tanah (2019), yang menjadi pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2020.
Tak ada puisi yang berjudul “Empedu
Tanah” di buku ini. Juga setelah di searching,
pun tak ada puisi yang memuat frase itu. Sampul belakang buku memuat puisi “Tamu
tak Bermalu”. Puisi paling pendek di buku ini, hanya 1 bait dan 4 baris. Begitu.

Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.