Topik

Katanya Investor Fundamentalis, Kok Beli Saham dari Perusahaan Rugi?


Kemarin ada satu pertanyaan menarik, ‘Pak
Teguh kenapa kok lebih tertarik sama saham properti A dan B yang kinerjanya
jelek bahkan sampai rugi, dibanding saham properti C yang kinerjanya selama ini
lebih bagus, utangnya kecil, dan gak pernah sampai rugi. Memang saham C ini
valuasinya lebih tinggi dibanding saham A dan B, tapi bukankah Pak Teguh juga bilang kita harus lihat kualitas fundamental/kinerja keuangan perusahaannya dulu
lalu baru valuasi sahamnya? Seperti kalau mau beli mobil bekas, maka
lebih baik kita beli mobil A yang memang kondisinya layak daripada mobil B yang
tidak terawat dan berisiko mogok, meskipun mungkin mobil A ini harganya lebih
mahal. Termasuk kenapa Pak Lo Kheng Hong memilih saham Intiland
Development (DILD)
, padahal perusahaannya di tahun 2022 ini juga rugi?’

***

Ebook
Market Planning
 edisi September 2022 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info
jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit. Anda
bisa 
memperolehnya disini, gratis info jual beli saham,
dan tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

***

Dan berikut jawaban penulis, secara poin per
poin. Pertama, perusahaan yang kinerjanya buruk/merugi itu secara umum ada dua
macam. Satu, karena faktor eksternal seperti peristiwa resesi karena pandemi atau
lainnya (seperti di tahun 2020 kemarin ketika mayoritas emiten di BEI mengalami
penurunan kinerja karena PSBB dan PPKM), dan dua, karena faktor internal dimana
manajemennya memang kurang bagus. Jadi mau ekonomi sedang baik-baik saja, kinerja
perusahaan tetap saja jelek. Nah, jika kita bisa menilai bahwa kerugian yang
diderita perusahaan bukan karena manajemennya gak becus, melainkan karena kondisi resesi
ekonomi atau kondisi siklus sektornya yang memang sedang turun (bisa dengan
melihat track record kinerjanya, apakah perusahaan mampu menghasilkan laba yang cukup besar pada
tahun-tahun dimana kondisi ekonomi lebih baik), maka kita bisa menganggap bahwa
kinerja perusahaan berpeluang untuk bagus lagi suatu hari nanti, yakni ketika
ekonomi/sektornya kembali pulih. Atau istilahnya, turnaround.

Kedua, ketika kinerja perusahaan turun maka
sahamnya juga akan turun, semakin buruk kinerjanya maka semakin dalam penurunan sahamnya. Contohnya saham Unilever
Indonesia (UNVR)
, yang turun dari 8,500 sampai mentok di 3,400 (turun 60%),
antara bulan Mei 2020 – April 2022, dikarenakan labanya turun selama dua tahun
berturut-turut di tahun 2020 dan 2021. Barulah pada tahun 2022 ini, setelah
labanya naik lagi, maka UNVR juga mulai naik lagi dan sekarang sudah di
4,500-an lagi. Penurunan yang dialami UNVR relatif tidak terlalu besar, ‘hanya’
60%, karena penurunan kinerjanya juga tidak terlalu buruk dimana perusahaan
pada tahun 2020 dan 2021 kemarin itu masih membukukan laba, hanya saja angkanya
turun dibanding tahun sebelumnya.

Namun pada kasus dimana sebuah perusahaan
mengalami penurunan kinerja yang sangat buruk, misalnya dari sebelumnya laba
menjadi rugi, maka sahamnya bisa benar-benar jeblok. Contohnya? Indika Energy
(INDY)
, sebuah perusahaan batubara. Pada tahun 2017, didorong oleh kenaikan
harga batubara ketika itu, maka perusahaan membukukan rekor laba $335 juta,
yang menyebabkan sahamnya terbang dari 900 pada pertengahan tahun 2017, hingga
sempat tembus 4,500 pada awal tahun 2018. Tapi setelah itu harga
batubara cenderung turun, dan imbasnya laba INDY turun lagi menjadi hanya $80
juta pada tahun 2018, lalu lanjut merugi di tahun 2019 dan 2020. Maka jadilah
sahamnya terjun bebas dari 4,500 sampai mentok di 400 pada bulan Maret 2020, atau anjlok hingga tinggal tersisa kurang dari sepersepuluhnya, alias 90%.

Nah, tapi ketika sebuah saham turun hingga sedemikian
rendahnya, maka seringkali valuasinya juga menjadi sedemikian murahnya, dalam
hal ini PBV 0.4 kali atau lebih rendah lagi. Dan itulah yang terjadi pada saham
INDY dimana pada tahun 2020 lalu, PBV-nya sempat hanya 0.3 kali. Ilustrasi
gampangnya, INDY ini punya ekuitas/aset bersih senilai Rp1,000, tapi kita bisa
beli sahamnya pada harga Rp300 saja. Dan kenapa kok sahamnya bisa semurah itu?
Ya karena perusahaannya sedang rugi itu tadi.

Tapi disisi lain jika nanti perusahaan
kembali menghasilkan laba, maka sahamnya akan berbalik naik, dan kenaikannya
bisa sangat tinggi jika valuasinya sejak awal sangat rendah.
Contohnya ya
balik lagi ke INDY, dimana ketika artikel ini ditulis, dia sudah terbang tinggi
hingga ke 3,000-an dari hanya 400 pada tahun 2020 lalu. Jadi bisa dihitung sendiri kenaikannya berapa kali lipat. Karena memang sudah sejak tahun 2021 kemarin,
seiring dengan naiknya harga batubara, maka perusahaan kembali membukukan laba,
dan laba tersebut semakin membesar di tahun 2022 ini.

Okay, jadi balik lagi ke pertanyannya: Kenapa
Pak Teguh (dan juga Pak LKH) sekarang ini lebih memilih saham properti yang
sedang rugi ketimbang saham properti lainnya yang kinerja keuangannya
jelas-jelas lebih bagus? Jawabannya sebenarnya bukan karena ruginya. Melainkan
karena saya menganggap bahwa saham yang saya pilih tersebut berpeluang besar
untuk membukukan laba lagi suatu hari nanti, alias turnaround itu tadi, dan ketika itu terjadi maka
sahamnya bisa naik sangat tinggi hingga entah berapa ratus persen alias multibagger
(atau saya menyebutnya saham
mutiara terpendam
), karena sejak awal valuasinya sangat terdiskon. Sedangkan
jika saya memilih saham yang kinerjanya sejak awal sudah bagus, maka biasanya
valuasinya pun tidak terlalu murah sehingga potensi kenaikannya juga tidak
terlalu tinggi, mungkin hanya 20 – 30% saja.

Okay, lalu bagaimana caranya agar kita mengetahui perusahaan mana yang berpotensi turnaround, sehingga kita bisa beli sahamnya? Ya dengan mempelajari
prospek perusahaannya secara menyeluruh, itu sudah saya jelaskan
lengkap disini
. Hanya memang, ketika dua orang investor menganalisa prospek kinerja sebuah perusahaan di masa yang akan datang, maka hasil
kesimpulan analisanya bisa berbeda. Misalnya ketika Pak LKH membeli saham DILD,
maka itu tentunya karena beliau menganggap bahwa perusahaan akan menghasilkan
laba bersih lagi suatu hari nanti. Namun pada ulasan
disini
, saya katakan bahwa saya tidak tertarik masuk ke DILD karena saya
menganggap bahwa peluangnya kecil bagi perusahaan untuk menghasilkan laba. Jadi
saya belinya saham properti lain, salah satunya Bekasi
Fajar Industrial Estate (BEST)
.

Lalu soal apakah analisa saya atau analisa Pak LKH yang benar
terkait prospek DILD ini, maka cuma waktu yang akan menjawabnya. Tapi inilah
faktor terpentingnya, sekaligus poin utama dari metode value investing: Bahkan
kalaupun DILD ini kedepannya ternyata tetap saja rugi terus, maka sahamnya ya cuma sekedar batal naik saja, tapi juga tidak akan
turun lebih dalam lagi karena kembali lagi, valuasinya sejak awal sudah sangat
rendah dengan PBV 0.4 kali. Jadi DILD ini tidak akan turun lalu mati di gocap,
misalnya, karena perusahaan hanya sekedar rugi saja, tapi dia tidak ada masalah
gagal bayar utang atau kemungkinan bangkrut atau semacamnya (terkait hal ini,
baca artikel
ini tentang ‘value trap’
). Sehingga dari sisi risk and reward, investasi
Pak LKH di DILD ini memiliki risiko yang rendah, tapi reward-nya bisa sangat
luar biasa/sahamnya bakal naik berlipat-lipat, yakni jika perusahaan kedepannya sukses
membukukan laba.

Dan demikian pula saham properti lain yang
saya pilih (BEST), maka risk and rewardnya juga sangat bagus. Jadi ya sudah: Mari
kita lihat dalam satu atau dua tahun ke depan, apakah kita akan sukses dapat
multibagger lagi dari saham ini.

***

Jadwal
Live Webinar Investasi Saham/Value Investing
, Sabtu 17 September 2022, pukul
08.00 – 11.00 WIB. Untuk mendaftar
klik disini.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email

Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top