image |
SALJU
Asal mula adalah salju
sebelum tercipta Waktu
sentuhan perawan seringan kenangan
adalah semua yang disebut bumi
dan udara terus bicara
sebab bicara tak pernah berhenti
dan salju jatuh seperti mimpi
Angin kutub memanjang selalu
dan meraba tanpa jari
dan di ambang anjing belang menggonggong
sia sia membuka pagi
hanya geliat bayi sudah terasa
pada dinding tua dekat musim binasa
dan salju melebari hari
Bangunnya Waktu bersama penyesalan
ketika manusia dengan mukanya yang jelek
meninggalkan telapak kakinya di salju
pada setiap langkah menetes darah
sedang gelegar bintang berpadu ringkik kuda
terlempar damba ke angkasa
Pada saat begini terjadi penciptaan
ketika orang bungkuk dari gua di daerah selatan
menghembuskan napas dan bahasa
bagi segala yang tak terucapkan
sedang selera yang meleleh dari pahanya
menerbitkan keturunan yang kerdil
dengan muka tipis dan alis terlipat
suaranya serak meniru gagak menyerbu mangsa
Dengan tangan kasar digalinya kubur
di salju buat tuhan-tuhannya yang mati
dan di lopak-lopak air membeku
mereka cari muka sendiri terbayang sehari
di antara subuh dan kilat senja
sebelum kebinasaan menjadi mutlak
dan salju turun lagi menghapus semua rupa
dalam kenanaran mimpi
Napas begitu tipis seperti kaca
jangan dipecahkan dengan berkata-kata
keheningan jadi pengiring paling setia
bagi kelana di kelam buta
hari kemarin sudah tiada
Betapa lama sebelum rela
membunuh api kenang menyala
di luar keramahan kamar telah terkubur sisa mimpi
hilang nanar
tanpa sesal sosok setubuh dengan sepi
Terbaring di dataran asing
juga langit kelihatan lain
rumah-rumah redup tanpa jendela
tapi dengan tidak menanya
dicium tanah lekat di tangannya
belahan benua ini sebagian dari nasibnya
dia tak kembali ke pantai tua
Rindu lama tidak lagi bergejolak
demam yang diidap sudah reda
detik-detik kini lebih berarti
daripada terus mencari
di balik ufuk pasir melebar
telah habis basah air menghibur
sampai puas digosokkan tubuhnya
ke bumi bisu
Penyair meraba permukaan hari
di sini geraknya berhenti
di ambang gurun tak bertepi
dalam perkawinan dengan sunyi
dia tidak sanggup lagi bernyanyi
ketika napas putus mengalir
di udara bergema pekik terakir
Demi malam yang ramah
aku berjanji akan menyerah
kepada angin
yang menyisir tepi hari
Di pinggir lembah
aku akan diam terbaring
Yang membuat aku takut
hanya bulan di sela ranting
yang memperdalam hening
Ajarilah bagaimana menjadi tua
Terkuak gapura kesadaran
sehingga tampil kerajaan dalam
Tenunan kata mantra
yang kuhamparkan pada hari-hari besar
di bendul pura
adalah untuk menyambut tamu turun tangga
Jika berkenan tiba
apakah sempat memberi tanda
dengan kelining lonceng genta
di kuil pedanda
Di halaman yang tersapu bersih
dengan tubuh putih
aku menanti di bawah cemara
aku boneka yang butuh dihidupi
Bukankah kesetiaan dan kesabaran sebagian
dari upacara
Bulan yang berlayar di puncak batu candi
adalah pengawal gawat
yang memungkinkan lakon terjadi
di manakah teluk sunyi yang tidak disinggahi
Air di mana pun suci
juga yang terpercik di korban bunga melati
setetes dari telaga purba yang sakti
Sebelum ini kutanggalkan keinginan satu per satu
jiwa murni timbul dari siksaan sakit dan ngeri
Pengabdian menuntut penderitaan yang dicari sendiri
Aku telah membasuh di pemandian tirtasari
dan merasa tak bersalah seperti anak kembali
manusia selalu tinggal sebatang kara
tanggung jawab tertimpa pada seorang diri
nyawa yang yatim minta dipelihara
Saudara kandung yang lahir sebelum dan sesudahku
bahkan bunda yang teringat mukanya dalam lamunan
tinggal terkurung dalam pengasingan masing-masing
Nasib terkungkung dalam penjara sepi
Ketakutan tidak datang dari maut yang tiba-tiba hadir
melainkan dari pedih yang tak kunjung berakir
Jadikan aku anak emas
yang tak lepas dari hati
Adakah angan-angan yang lebih manis
daripada mengatasi kecemasan
dan bisa berlaku sebagai jantan
Terlimpah kasih kepada laki-laki gemilang
bagimu aku putra pahlawan
yang berani lebur dengan bayangan hilang
Ketika api hari mati
aku menari sebagai wayang
mengikut getar langkah dewa
Satu gerak tubuh kembar
tingkah gending tabuh kebyar
desah napas mengembus seirama
Dari pembakaran jenasah menyala merah sekar padma
Sejak berdiam di kota
hati yang memberontak
telah menjadi jinak
kini pekerjaan tinggal
membaca di kamar
barang dua-tiga sajak
atau memperbaiki pagar di halaman
(yang sudah mulai rusak)
atau menyuapi anak
waktu menangis karena lapar
kadang-kadang juga memuji istri
memakai baju yang baru dibeli
— meneropong bintang
bukan lagi menjadi hobi –
hanya sesekali di muka kaca
aku berkata menghibur diri:
bidadari! sayapmu patah
sekali waktu akan pulih kembali
Pada ketinggian usia
mimpi mulai pucat
daerah tandus menapak ke pinggir kota
jejak di pasir tak nampak
kenangan habis tersadap dari dada
membeku darah kata
anak yang baru lahir
masih mengenalnya sebagai sajak
orang lain membiarkannya tergeletak
di antara buku-buku tak terbaca
barangkali hanya Shakespeare sempat menyimak
tetapi dia pun kini sudah tak ada
Di daerah mimpi
nyawaku berdiri sebagai pohon hitam
dengan buah-buah getir bergantung di dahan
Hanya ular yang menjaga tahu akan rasanya
Perempuan yang telah kehilangan selera:
jangan masuk taman terlarang
atau akan bangun aku tersentak
menyaksikan diri telanjang
Atau cukup lebarkah tanganmu
untuk menutup lobang malu?
Sudah beberapa hari ini
telah putus tali pusat
maka kabur gambar kenangan
Kumakan bubur perpisahan
dan aku melayang tanpa pedoman
di belakang layar kayon
yang kaupasang
sebelum gamelan dibunyikan
Dari jauh ini
aku tak tahu
lakon apa yang kaudirikan
buat malammu sendiri
Tapi yang kaudengar pasti
menurut kabar cuaca di tv
di Paris ini turun hujan mawar
(Yang Melindungi Bumi dan Padi)
Jangan bicara denganku dengan bahasa dunia
Aku dari sorga
Jangan sentuh tubuhku dengan tubuh berdosa
Aku dari sorga
Sambut aku dengan bunga
Itu darah dari duka dan cinta
Bunga buat bayi yang baru lahir dari rahim ibu
Bunga buat kekasih yang manis merindu
Bunga buat maut yang diam menunggu
Tapi jaga anak yang menangis tengah malam minta susu
Tapi jaga ladang yang baru sehari digaru
Anak minta ditimang
Ladang minta digenang
Lalu panggil aku turun di teratakmu
Dengan bunga. Itu darah yang mengalir
dari duka dan cinta
Mengalir arus malam
sehingga tenggelam badan
tak tertinggal kesan
Dari puncak hulu
mata air menunjukkan jari
ke mana muara berhenti
teluk buntu
sudah tentu
sebelum terbuka ketelanjangan pagi
Laut tak terinjak
teduh sendiri
tergoncang sepenuh hari
Menetes air kelam
tertahan di telapak
menampa tanpa gumam
(Sebuah Nyanyian Kabung)
Di muka pintu masih
bergantung tanda kabung
Seakan ia tak akan kembali
Memang ia tak kembali
tapi ada yang mereka tak
mengerti – mengapa ia tinggal diam
waktu berpisah. Bahkan tak
ada kesan kesedihan
pada muka
dan mata itu, yang terus
memandang, seakan mau bilang
dengan bangga : – Matiku muda –
Ada baiknya
Mati muda dan mengikut
mereka yang gugur sebelum waktunya
Di ujung musim yang mati dulu
bukan yang dirongrong penyakit
tua, melainkan dia
yang berdiri menentang angin
di atas bukit atau dekat pantai
di mana badai mengancam nyawa.
Sebelum umur pahlawan ditanam
di gigir gunung atau di taman-taman
di kota
tempat anak-anak main
layang-layang. Di jam larut
daun ketapang makin lebat berguguran
di luar rencana
Dan kematian jadi akrab, seakan kawan berkelakar
yang mengajak
tertawa – itu bahasa
semesta yang dimengerti –
Berhadapan muka
seperti lewat kaca
bening
Masih dikenal raut muka,
bahkan kelihatan bekas luka
dekat kening
Ia menggapai tangan
di jari melekat cincin
– Lihat, tak ada batas
antara kita. Aku masih
terikat kepada dunia
karena janji karena kenangan
Kematian hanya selaput
gagasan yang gampang diseberangi
Tak ada yang hilang dalam
perpisahan, semua
pulih
juga angan-angan dan selera
keisengan – Di ujung musim
dinding batas bertumbangan
dan
kematian makin akrab.
Sekali waktu bocah
cilik tak lagi
sedih karena layang-layangnya
robek atau hilang
-Lihat, bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit –
Hari yang mempesona
betapa hampa cita
tembikar retak di bawah rabaan jari
Jam terlalu deras
insin saja dilepaskan dari pergelangan
lantas lekas menembus ruang malam
yang cerah intinya
di mana bersinar cahaya di langit angan
dan tak hangus muka oleh usia
Langkah mengalah
dan berita pertama terdengar dari sumbernya
yang asli
Kuncup muda terpetik dari ranting
lalu membuka bunga sajak
Kehadirannya merdu seperti lonceng
lembah meriah
Sungguh firdusi
tak kelak
tak ketika
semerbak abadi
Baca: Kumpulan Puisi Juwita Sari
Kita tak pernah memiliki
Rumah yang kita diami semusim
telah dituntut kembali
Dan tanah yang kita pijak
makin larut dalam pasang laut
Sedang kesetiaan yang dijanjikan kekasih
berhenti pada kianat
Dan nyawa ini sendiri
terancam setiap saat
Tak ada yang kita punya
Yang kita bisa hanya
membekaskan telapak kaki,
dalam, sangat dalam,
ke pasir,
Lalu cepat lari sebelum
semuanya berakhir
Semuanya luput
Juga waktu
Tamu
Masih ada yang mau singgah
di pondok tua – kesan sesal
gamit rindu, gores duka
biar terbuka pintu muka
buat tamu tak terduga
siapa akan mengajak berbicara –
rumput, batu, matahari
arti kabur di pudar hari
di bawah jenjang berdiri bayang
di tangan pisau belati
tiba ia menoleh memperhati
Di ruang sunyi
di tengah dada
ada lengking
ada sakit
berhenti bunyi jeram di bukit
istana sudah kosong
di antara tiang batu rindu terbaring
Darah mengental
masih nyaring tuntutan tanah
dari mana berasal
dan bila kembali
taruhan yang salah
telah membuat diri mengembara
bayangan rumah surut di cakrawala
Pada wajah silih berganti
belum bertemu apa yang dicari
topeng-topeng bisu
mengubur sisa haru
di balik dinding
betapa larut sinar hari
raut muka makin kejam
sosok asing hanya mau ramah semalam
Kelana terkutuk tergolek di pinggir kota
(yang bukan punya dia)
sudah lama dia tidak bersolek
menyayangi rupa di kaca
hidupnya tidak untuk siapa
hanya untuk dirinya dia berada
jadi kabur garis pinta
dia tidak lagi punya apa
warisan yang masih ada
tinggal coretan mesum di kamarnya
gambar semu yang kabur artinya
Dia tidak menyesal
bahwa dia tinggal di bawah hujan bintang
dan berjalan sebagai pangeran
yang memburu dan diburu kasih sayang
dia masih membutuhkan bukti
bahwa dia pernah di sini
bayang diri terlempar di layar kenangan
dan disiksa di sana kekal
Dari pola ramuan nada
ingin didengarnya kata-kata
lagu tidak bisa sempurna
tanpa terjalin suara manusia
bahasa merdu itu yang begitu dikenalnya
bicaralah kirana madu kusuma
di tengah kehampaan ditangkapnya gema
Hati melekat pada gejala yang diraba
jari gemetar mengusut makna pada tubuh mempesona
nestapa tumbuh dari bercumbu dengan dunia
dewi, di matamu membujuk nikmat sorga
Yang memberinya keberanian
menempuh kegelapan
adalah benih
yang mau membenam ke perut malam
kalau tiada napsu
apakah mungkin dia pahlawan
menapak benua tanpa kawan
pada batas pajar
bakal ditemuinya kepuasan
Pengalaman perawan
yang menyimpan rahasia tak terjamah
mengapa tidak dihisapnya segera
sampai tetes getah penghabisan
terkam sebelum kesempatan luput dari tangan
serta hidup susut oleh usia
di mulut masih titik air selera
Sudah sekian saat
dia menunggu dekat kayu membara
dan melihat pijar terbasmi
lalu menyala berulang kali
bulan tua terasing di gurun pasir
dan dia seperti anjing
menggonggong mengusir sunyi
tidurnya diganggu oleh mimpi yang sama
nyawa laki dikejar dendam berahi
Sejak termakan buah terlarang
ladang lama tinggal gersang
di dada telanjang
tersurat nasib petualang
selepas rindu merundung kekosongan baru
tidak setia jiwa jalang
DI DALAM DADA
Jika dibelah dadaku
akan nampak semua yang diangan
Ada gunung ada lembah
ada pohon di pinggir sawah
jalan setapak menuju ke rumah
Tapi ada juga kota lama
dengan gedung runtuh
dan langit terbakar merah
Ada juga hutan rimba
tempat nyawa tersesat
terbayang di dalam
lengking rusa yang lari terluka
sudah berkumandang sebelum sempat bersuara
Kalau alam tak terangkum dalam dada
bagaimana kata seakan terbit dari tiada
tangan akan hampa meraih ke udara
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi anda. Baca juga kumpulan puisi Acep Syahril
Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.