BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkara yang diperiksa pengadilan dilingkungan pengadilan agama ada dua macam, yaitu Permohonan (voluntair) dan Gugatan ( contentieus). Permohonan adalah mengenai suatau perkara yang tidak ada pihak pihak lain yang bersengketa. Gugatan adalah suatu perkara yang terdapat sengketa antara dua belah pihak. [1]
Jadi perbedaan dari gugatan dan permohonan adalah bahwa permohona itu tuntutan hak perdata yang didalam kepentingannya itu bukan suatu perkara sedangkan gugatan adalah surat yang diajukan oleh penggugat terhadap tergugat yang menuntut tuntutan hak yang yang didalamnya berisi suatu perkara. Alam gugatan inilah yang disebut dengan pengadilan yang sesungguhnya dan produk hokum yang dihasilkan adalah putusan hukum.[2]
Perbedaan Perkara Voluntair dan Contentieus Sebelum saya membahas apa itu perkara voluntair dan contentious saya akan menjelaskan apa itu yang disebut voluntair dan contentious.
Voluntair juga disebut juga dengan permohonan, yaitu permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang ditunjukan kepada ketua pengadilan. Permohonan ini merupakan kepentingan sepihak dari pemohon yang tidak mengandung sengketa dengan pihak lain. Ciri dari voluntair ini diantaranya:
1. Masalah yang diajukan berisi kepentingan sepihak
2. Permasalah yang diselesaikan di pengadilan biasanya tidak mengandung sengketa.
3. Tidak ada pihak lain atau pihak ketiga yang dijadikan lawan
Sedangkan contentious adalah perdata yang mengandung sengketa diantara pihak yang berpekara yang pemeriksaan penyelesaiannya diajukan dan diajukan kepada pengadilan, dimana pihak yang mengajukan gugatan disebut dan bertindak sebagia tergugat. Ciri – ciri dari contentieus ini diantaranya:
1. Ada pihak yang bertindak sebagai penggugat dan tergugat.
2. Pokok permasalahan hokum yang diajukan mengandung sengketa diantara para pihak.
Perbedaan Antara Voluntair dan Contentieus :
1. Contentieus
a. Para pihak terdiri dari penggugat dan tergugat.
b. Aktifitas hakim yang memeriksa hanya terbatas pada apa yang diperkerakan untuk diputuskan.
c. Hakim hanya memperhatikan dan menerapkan apa yang telah di tentukan undang-undang dan tidak berada dalam tekanan atau pengaruh siapapun.
d. Kekuatan mengikat, keputusan hakim hanya mempunyai kekuaan men gikat kepada para pihak yang bersengketa dan keterangan saksi yang diperiksa atau didengarkan keterangannya.
2. Voluntair
a. Pihak yang mengajukan hanya terdiri dari satu pihak saja.
b. Aktifitas hakim lebih dari apa yang dimihinkan oleh pihak yang bermohon karena hanya bersifat administrative.
c. Hakim mempunyai kebebasan atau kebijaksanaan untuk mengatur sesuatu hal.
d. Keputusan hakim mengikat terhadap semua orang.
Ikut sertanya pihak ketiga dalam proses perkara yaitu voeging, intervensi/tussenkomst, dan vrijwaring tidak diatur dalam HIR atau RBg, tetapi dalam praktek ketiga lembaga hukum ini dapat dipergunakan dengan berpedoman pada Rv (Pasal 279 Rv dst dan Pasal 70 Rv), sesuai dengan prinsip bahwa hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam hukum materiil maupun hukum formil. Masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara yang sedang berjalan disebut intervensi.[3]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas pemakalah akan menguraikan mengenai “Gugatan Intervensi” Secara ringkas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah, sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan Gugatan Intervensi ?
2. Bagaimanakan tata cara dalam megajukan Gugatan ?
3. Bagaimanakah tata cara masuknya Gugatan Intervensi dalam pemeriksaan perkara ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui maksud dari Gugatan Intervensi
2. Untuk Mengetahui tata cara dalam megajukan Gugatan Intervensi
3. Untuk Mengetahui tata cara masuknya Gugatan Intervensi dalam pemeriksaan perkara
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gugatan Intervensi
Di lingkungan Pengadilan Agama perkarayang diperiksa ada dua macam, yaitu Permohonan (voluntair) dan Gugatan ( contentieus). Permohonan adalah mengenai suatau perkara yang tidak ada pihak pihak lain yang bersengketa. Gugatan adalah suatu perkara yang terdapat sengketa antara dua belah pihak.[4]
Jadi perbedaan dari gugatan dan permohonan adalah bahwa permohona itu tuntutan hak perdata yang didalam kepentingannya itu bukan suatu perkara sedangkan gugatan adalah surat yang diajukan oleh penggugat terhadap tergugat yang menuntut tuntutan hak yang yang didalamnya berisi suatu perkara. Alam gugatan inilah yang disebut dengan pengadilan yang sesungguhnya dan produk hokum yang dihasilkan adalah putusan hukum.[5]
Adapun Ikut sertanya pihak ketiga dalam proses perkara yaitu voeging, intervensi/tussenkomst, dan vrijwaring tidak diatur dalam HIR atau RBg, tetapi dalam praktek ketiga lembaga hukum ini dapat dipergunakan dengan berpedoman pada Rv (Pasal 279 Rv dst dan Pasal 70 Rv), sesuai dengan prinsip bahwa hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam hukum materiil maupun hukum formil. Masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara yang sedang berjalan disebut intervensi.[6]
Voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada penggugat atau tergugat. Dalam hal ada permohonan voeging, hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi, selanjutnya dijatuhkan putusan sela, dan apabila dikabulkan maka dalam putusan harus disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut.[7]
Intervensi (tussenkomst) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara itu atas alasan ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi diajukan oleh karena pihak ketiga merasa bahwa barang miliknya disengketakan/diperebutkan oleh penggugat dan tergugat. Permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela. Apabila permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa bersama-sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi[8]
Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh tergugat secara lisan atau tertulis. Misalnya: tergugat digugat oleh penggugat, karena barang yang dibeli oleh penggugat mengandung cacat tersembunyi, padahal tergugat membeli barang tersebut dari pihak ketiga, maka tergugat menarik pihak ketiga ini, agar pihak ketiga tersebut bertanggung jawab atas cacat itu
B. Tatacara Mengajukan Gugatan Atau Permohonan
1. Tahap Persiapan
Sebelum mengajukan permohonan atau gugatan ke pengadilan perlu diperhatika hal-hal sebagai berikut:
a. Pihak yang berpekara : Setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat menjadi pihak dalam berpekara di pengadilan.
b. Kuasa : Pihak yang berpekara di pengadilan dapat menghadapi dan menghadiri pemeriksaan persidangan sendiri atau mewakilkan kepada orang lain untuk menghadiri persidangan di pengadilan.
c. Kewenangan Pengadilan : Kewenangan relative dan kewenangan absolut harus diperhatikan sebelum me,buat permomohan atau gugatan yang di ajukan ke pengadilan.[9]
2. Tahap pembuatan permohonan atau Gugatan
Permohonan atau gugatan pada prinsipnya secara tertulis (pasal 18 HIR) namun para pihak tidak bisa baca tulis (buta huruf) permohonan atau gugatan dapat dilimpahkan kepada hakim untuk disusun permohonan gugatan keudian dibacakan dan diterangkan maksud dan isinya kepada pihak kemudian ditandatangani oleh ketua pengadilan agama hakim yang ditunjuk berdasarkan pasal 120 HIR. Membuat permohonan pada dasarnya berisi :
a. Identitas pemohon
b. Urain kejadian
c. Permohonan
Isi gugatan secara garis besar memuat hal-hal sebagai berikut :
Mengenai isi gugatan atau permohonan UU. NO 7 Tahun 1989 maupun dalam HIR atau Rbg idak mengatur, karena itu diambil dari ketentuan pasal 8 NO. 3 RV yang mengatakan bahwa isi gugatan pada pokoknya memuat tiga hal yaitu:[10]
a. Identitas para pihak : Identitas para phak meliputi nama, umur, pekerjaan, agama, kewarganegaraan.
b. Posita : Berisi uraian kejadian atau fakta-fakta yang menjadi dasar adanya sengketa yang terjadi dan hubungan hokum yang menjadi dasar gugatan.
c. Petitium atau tuntutan berisi rincian apa saja yag diminta dan diharapkan penggugat untuk dinyatakan dalam putusan atau penetapan para kepada para pih.ak terutama pihak tergughat dalam putusan perkara.
3. Tahap pendaftaran pemohon atau gugatan
Setelah permohonan atau gugatan dibuat kemudian didaftarkan di kepaniteraan pengadilan agam yang berwenang memeriksa dengan membayar biaya panjar perkara. Dengan membayar biaya panjar perkara maka penggugat atau pemohon mendapatkan nomor perkara dan tinggal menunggu panggilan siding.
Perkara yang telah terdaftar di pengadilan agama oleh panitera diampaikan kepada ketua pengadilan agama untuk dapat menunjuk majelis hakim yang memeriksa, memutus, dan mengadili perkara dengan suatu penetapan ya g disebut penetapan majelis hokum (PMH) yang terdiri satu orang hakim sebagai ketua majelis dan dua orang hakim sebagai hakim anggota serta panitera siding. Apabila belum ditetapkan panitera yang ditunjuk, majelis hakim dapat menunjuk panitera siding sendiri.
4. Tahap Pemeriksaan Permohonan atau Gugatan
Pada hari sidang telah ditentukan apabila satu pihak atai kedua belah pihak tidak hadir maka persidangan ditunda dan menetapkan hari sidang berikutnya kepada yang hadir diperintahkan menghadiri sidang berikutnya tanpa dipanggil dan yang tidak hadir dilakukan pemanggilan sekali lagi.
Dalam praktek pemanggilan pihak yang tidak hadir dilakukan maksimal tiga kali apabila :
a. Penggugat tidak hadir maka gugatan gugur. Tergugat tidak hadir maka pemeriksaan dilanjutkan dengan putusan verstek atau putusan tanpa hadirnya pihak tergugat.
b. Apabial terdapat beberapa tergugat yang hadir ada yang tidak hadir, pemeriksaan tetap dilakukan dan kepada yang tidak hadir dianggap tidak menggunakan haknya untuk membela diri.
c. Penggugta dan tergugat hadir, maka Pemeriksaan dilanjutkan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dalam pemeriksaan perkara pengadilan akan disampaikan dalam ilustrasi berikut ini :[11]
a. Apabila penggugat dan tergugat hadir maka mula-mula majelis hakim memasuki ruang persidangan diikuti panitera sidang. Majelis memanggil para pihak untuk masuk ke persidangan dan ketua membuka persidangan dengan menyatakan “sidang dibuka dan terbuka untuk umum (apabila sidang terbuka untuk umum) dan jika sidang dibuka dan tertutup untuk umum (apabila sidang terbuka itu tertutup untuk umum).
b. Hakim menanyakan identitas para pihak baik pihak penggugat atau tergugat.[12]
c. Hakim mengupayakan perdamaian pada para pihak dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk berdamai dan menetapkan hari sidang berikutnya tanpa dipanggil.
d. Apabila kedua belah pihak berdamai, maka dibuat akta perdamaian yang kekuatan hukumnya samutusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga dapat dilaksanakan esekusi.
e. Apabila tidak tercapai perdamaian maka dinyatakan kepada penggugat ada perubahan gugatan atau tidak, kalau ada maka persidangan ditunda pada persidangan berikutnya untuk perubahan atau perbaikan gugatan dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan yang hadir dalam sidang berikutnya untuk hadir tanpa di panggil.
f. Apabila tidak ada perubahan atau sudah ada perubahan gugatan, maka sidang dilanjutkan dengan pembacaan gugatan. Setelah pembacaan gugatan hakim memberikan kesempatan kepada tergugat untuk mengajukan pertanyaan, kemudian sidang ditunda untuk memberi kesempatan kepada tergugat menyususn jawaban dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan yang hadir untuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa pengadilan.
g. Dalam sidang selanjutnya jawaban dibacakan dan penggugat diberi kesempatan untuk mengajukan replik, kemudian sidang ditunda untuk memberi kesempatan kepada penggugat menyusun replik dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan untuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa dipanggil.
h. Sidang selanjtnya replik dibacakan tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan duplik, kemudian tergugat diberi kesempatan untuk menyususn duplik dengan menetapkan hari sidang berikutnya dan memerintahkan utuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa dipanggil.
i. Sidang selanjutnya duplik dibacakan kemudian pihak penggugat diberi kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti untuk memperkuat dalil-dalil gugatannya, kemudian sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada penggugat menyampaikan bukti-bukti dengan menetapkan hari sidang berikutnya dan memerintahkan yang hadir untuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa dipanggil.
j. Sidang selanjutnya setelah penggugat mengajukan bukti-bukti tergugat di beri kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti untuk menguatkan dalil-dalail sanggahannya, kemudian sidang ditunda untuk memebri kesempatan kepada tergugatuntuk pembuktian.
k. Sidang selanjutnya setelah pembuktian tergugat selesai kemudian sidang ditunda untiuk memberi kesempatan kepada penggugat dan tergugat menyususn kesimpulan.
l. Sidang selanjtnya penggugat dan tergugat menyampaikan kesimpulan, kemudian sidang ditunda untuk musyawarah hakim untuk menjatuhkan putusan.
m. Dalam sidang selanjutnya, putusan dibacakan oleh ketua majelis hakim dan kepada pihak yang tidak puas dapat mengajukan upaya hukum banding.
C. Sita Jaminan
1. Conservatoir beslaag.
Adalah sita terhadap barang-barang milik tergugat yang disengketakan status kepemilikannya, atau dalam sengketa hutang piutang atau tuntutan ganti rugi. Sita jaminan (Conservatoir Beslaag) ini diatur dalam pasal 227 HIR. Conservatoir beslaag Adalah penyitaan terhadap harta benda bergerak milik tergugat atas kehendak penggugat untuk menjamin gugatanya.[13]
Adapun mengenai proses permohonan sita jaminan adalah dilakukan dengan:
a. Permohonan sita jaminan dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan, oleh karena itu permohonan sita jaminan menjadi bagian dari pokok gugatan yang assesoris (diletakkan) pada pokok gugatan. Karena itu pula permohonan sita jaminan tidak boleh berdiri sendiri tanpa ada perkara pokok dan perkara pokok bisa ada tanpa sita jaminan. Permohonan sita jaminan itu biasanya dicantumkan pada bagian akhir “fundamentum petendi” (tuntutan).
b. Permohonan sita jaminan dapat diajukan tersendiri asalkan didahului oleh adanya gugatan pokok sebagai landasannya.
c. Permohonan sita jaminan dapat diajukan selama proses persidangan berlangsung pada semua tingkat pengadilan.
Memahami pasal 227 (1) HIR. Bahwa sita jaminan (Concervatoir Beslaag) dapat dilakukan oleh penggugat sebelum dijatuhkan putusan atau sudah ada putusan akan tetapi putusan tersebut belum dapat dilaksanakan. Adapun tata cara concervatoir beslag:[14]
a. Penggugat dapat mengajukan permohonan sita bersama-sama (menjadi satu) dengan surat gugatan, mengenai pokok perkara.
b. Permohonan sita dapat diajukan tersendiri, selama proses perkara berlangsung atau sebelum ada eksekusi.
c. Permohonan diajukan kepada Pengadilan yang memeriksa perkara pada tingkat pertama.
d. Dalam permohonan sita concervatoir harus ada alasan permohonan sita, yaitu adanya kekhawatiran bahwa tergugat akan memindahtangankan atau mengasingkan barang-barang sengketa sehingga akan merugikan penggugat.
e. Alasan tersebut disertai data-data atau fakta-fakta yang menjadi dasar kekhawatiran.
f. Hakim/majelis akan mempertimbangkan permohonan sita tersebut dengan mengadakan pemeriksaan secara insidentil mengenai kebenaran fakta-fakta yang menimbulkan kekhawatiran itu sehingga diajukannya permohonan sita.
g. Hakim/ketua majelis mengeluarkan “penetapan”, yang isinya menolak atau mengabulkan permohonan sita tersebut.
h. Apabila permohonan sita ditolak kemudian timbul hal-hal baru yang mengkhawatirkan bagi penggugat sebagai alasan permohonan sita, maka dapat diajukan lagi permohonan sita.
i. Dalam hal permohonan sita dikabulkan, maka hakim/ketua majelis memerintahkan kepada panitera untuk melaksanakan penyitaan tersebut.
j. Penetapan pengabulan sita atau perintah penyitaan tersebut dapat: bersama-sama (menjadi satu) dengan penetapan hari sidang (PHS) dan perintah panggilan para pihak atau terpisah dari PHS, yaitu : perintah penyitaan lebih dahulu dan PS kemudian / PHS lebih dulu dan perintah penyitaan kemudian.
k. Atas perintah hakim tersebut, panitera melalui jurusita memberitahukan kepada para pihak dan kepala desa setempat akan dilangsungkannya sita jaminan terhadap barang sengketa / jaminan pada hari, tanggal, dan jam serta tempat yang telah ditetapkan, serta memerintahkan agar para pihak dan kepala desa tersebut hadir dalam pelaksanaan sita jaminan yang telah ditetapkan itu.
l. Penyitaan dilakukan oleh panitera dan dibantu oleh dua orang saksi. Apabila panitera tersebut berhalangan maka dapat ditunjuk pejabat atau pegawai lainnya oleh panitera.
m. Pada hari, tanggal yang telah ditetapkan tersebut, panitera melaksanakan penyitaan.
n. Panitera memberitahukan penyitaan tersebut kepada pihak tersita dan kepala desa / lurah setempat.
o. Pemeliharaan barang-barang tersita tetap berada di tangan pihak tersita.
p. Panitera melaporkan penyitaan tersebut pada hakim / ketua majelis yang memerintahkan sita tersebut dengan menyerahkan berita acara sita.
q. Majelis membacakan berita acara Sita tersebut pada persidangan berikutnya dan menetapkan sah dan berharga penyitaan tersebut yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan.
r. Apabila barang-barang yang disita berupa benda tetap atau benda yang tercatat dalam lembaga/Kantor Pemerintah maka hal itu diberitahukan kepada lembaga/Kantor yang bersangkutan.
s. Hendaknya tentang sita itu di catat dibuku khusus yang di sediakan di Pengadilan Agama yang memuat catatan mengenai tanah-tanah yang disita, kapan disita dan perkembanganya, Buku ini adalah terbuka untuk umum.
t. Apabila gugatan di kabulkan, sita jaminan akan dinyatakan sah dan berharga oleh Hakim dalam Amar putusanya. Apabila gugatan ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, sita harus diperintahkan untuk diangkat.
u. Apabila gugat dikabulkan sebagian dan selebihnya ditolak, maka sita jaminan untuk sebagian dinyatakan sah dan berharga sedang untuk sebagian yang lain diperintahkan untuk diangkat, kecuali dalam hal ini yang tidak mungkin dipisahkan dalam penyitaan, seperti tanah dan rumah, dan sebagainya.
v. Pengangkatan sita dilakukan atas permohonan pihak yang bersangkutan.
2. Sita Revindicatoir Beslaag
Adalah diatur dalam Pasal 226 HIR, 260 RBg, 714 Rv, jo Pasal 1977 KUHPer. Adapun kata Revindicatoir adalah berasal dari kata “revindiceer” yang artinya “mendapatkan” dan pengertian revindicatoir beslaag adalah mengandung pengertian “untuk mendapatkan hak kembali”. Maksudnya adalah barang yang digugat itu jangan sampai dihilangkan selama proses berlangsung.[15]
Ketentuan Pasal 226 HIR dapat dipahami bahwa untuk dapat diletakkan sita revindicatoir beslag itu adalah harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Harus berupa barang bergerak
b. Barang bergerak tersebut adalah merupakan barang milik penggugat yang berada ditangan tergugat
c. Permintaannya harus diajukan kepada Ketua pengadilan
d. Permintaan sita dapat diajukan secara lisan atau tulisan
e. Barang tersebut harus diterangkan dengan seksama dan terperinci
3. Sita Harta Bersama
Sita harta bersama (maritaal beslaag) ialah sita yang diletakkan atas harta perkawinan. Sita marital diatur dalam pasal 78 huruf c UU. No. 7/19989 jo. Pasal 24 PP No. 9/1975, pasal 95 Kompilasi Hukum Islam.
Sita ini dapat dimohonkan oleh suami atau isteri dalam sengketa perceraian, pembagian harta perkawinan, pengamanan harta perkawinan. Sita dapat diletakkan atas semua harta perkawinan yang meliputi harta suami, harta isteri dan harta bersama suami isteri yang disengketakan dalam pembagian harta bersama. Sita harta bersama ini dapat diajukan bersama-sama dalam pemeriksaan perceraian atau setelah perceraian terjadi. Selama masa sita tidak dapat dilakukan penjualanatas harta bersama untuk kepentingan keluarga kecuali dengan izin dari pengadilan Agama. Adapun tata cara sita ini, sama dengan sita pada umumnya.
D. Masuknya Pihak Ketiga dalam Perkara (Gugatan Intervensi).
Ikut sertanya pihak ketiga dalam proses perkara yaitu voeging, intervensi/tussenkomst, dan vrijwaring tidak diatur dalam HIR atau RBg, tetapi dalam praktek ketiga lembaga hukum ini dapat dipergunakan dengan berpedoman pada Rv (Pasal 279 Rv dst dan Pasal 70 Rv), sesuai dengan prinsip bahwa hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam hukum materiil maupun hukum formil. Masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara yang sedang berjalan disebut intervensi.[16]
Voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada penggugat atau tergugat. Dalam hal ada permohonan voeging, hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi, selanjutnya dijatuhkan putusan sela, dan apabila dikabulkan maka dalam putusan harus disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut.[17]
Intervensi (tussenkomst) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara itu atas alasan ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi diajukan oleh karena pihak ketiga merasa bahwa barang miliknya disengketakan/diperebutkan oleh penggugat dan tergugat. Permohonan intervensi dikabul kan atau ditolak dengan putusan sela. Apabila permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa bersama-sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi
Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh tergugat secara lisan atau tertulis. Misalnya: tergugat digugat oleh penggugat, karena barang yang dibeli oleh penggugat mengandung cacat tersembunyi, padahal tergugat membeli barang tersebut dari pihak ketiga, maka tergugat menarik pihak ketiga ini, agar pihak ketiga tersebut bertanggung jawab atas cacat itu
Setelah ada permohonan vrijwaring, hakim memberi kesempatan para pihak untuk menanggapi permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan yang menolak atau mengabulkan permohonan tersebut.
Apabila permohonan intervensi ditolak, maka putusan tersebut merupakan putusan akhir yang dapat dimohonkan banding, tetapi pengirimannya ke PT harus bersama-sama dengan perkara pokok. Apabila perkara pokok tidak diajukan banding, maka dengan sendirinya permohonan banding dari intervenient tidak dapat diteruskan dan yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan tersendiri.
Apabila permohonan dapat dikabulkan, maka putusan tersebut merupakan putusan sela, yang dicatat dalam Berita Acara, dan selanjutnya pemeriksaan perkara diteruskan dengan menggabung gugatan intervensi ke dalam perkara pokok.
E. Perubahan dan Pencabutan Gugatan
IR dan R.Bg tidak mengatur tentang perubahan gugutan yang telah diajukan oleh pengugat. Oleh karena itu hakim leluasa untuk menentukan samapai sejauh mana perubahan itu dapat dilakukan oleh pihak pengugat. Sebagaimana patokan ditentukan bahwa perubahan surat gugat itu diperkenankan asalkan kepentingan kedua belah pihak harus tetap dijaga dan tidak menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak apabila surat gugat itu dirubah oleh pihak penggugat. Perubahan gugatan adalah merubah atau menambah gugatan dengan ketentuan sebagai berikut.[18]
1. Perubahan gugatan tidak boleh merugikan pihak lawan
2. Perubahan gugatan tidak boleh menyimpang dari asas-asas hukum acara perdata
3. Perubahan gugatan tidak boleh menyimpang dari petitum atau tuntutan semula
4. Perubahan sebelum jawaban tergugat diperbolehkan tanpa izin terguga
5. Perubahan gugatan setelah jawaban tergugat harus dengan izin tergugat
6. Perubahan gugatan harus memberikan kesempatan kepada pihak lawan untuk membela diri.[19]
7. Perubahan gugatan dengam mengurangi petitum tidak boleh.
Pencabutan gugatan yang telah didaftarkan dan diperiksa di pengadilan dapat dilakukan oleh pengugat dengan alasan sebagai berikut :
1. Tuntutan pengugat telah dipenuhi oleh tergugat
2. Adanya kekeliruan atau kesalahan dalam penyusunan gugatan
Syarat perubahan gugatan, Mahkamah agung dalam buku pedomannya menyebutkan persyaratan formil yaitu :
1. Pengajuan perubahan pada sidang pertama dihadiri tergugat
2. Memberi hak kepada tergugat menanggapi
3. Tidak menghambat acara pemeriksaan.[20]
Dalam hal perubahan gugatan, dalam praktik peradilan sering terjadi dalam bentuk :
1. Diubah sama sekali, berarti gugatan itu diubah sama sekali baik posita maupun petitumnya. Dalam hal ini, putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1043 K/Sip/1971 tanggal 3 Desember 1974 hanya mengizinkan perubahan gugatan terhadap hal-hal yang tidak prinsip saja, tidak dibenarkan mengubah gugatan yang mengakibatkan terjadi perubahan pada posita sehingga mengakibatkan tergugat merasa dirugikan haknya untuk membela diri.
2. Diperbaiki, maksudnya suatu perbaikan terhadap gugatan berarti hal-hal tertentu dari gugatan itu bisa diperbaiki. Misalnya ada kekurangan kata,kalimat,kesalahan ketik atau kelebihan kata-kata yang mesti harus dibetulkan.
3. Dikurangi,suatu gugatan dikurangi berarti ada bagian-bagian tertentu dari posita atau petitum gugatan yang dikurangi. Dalam praktik peradilan, pengurangan dalam gugatan sering dikabulkan oleh hakim karena peraturan perundang-undangan memperbolehkannya, misalnya semula dalam gugatan empat bidang tanah,kemudian dikurangi menjadi dua bidang saja.
4. Ditambah, suatu gugatan ditambah berarti bagian posita atau petitum dari gugatan itu ditambah. Hal ini bisa terjadi karena dalam posita sudah disebutkan tetapi dalam petitumnya tidak dicantumkan, dengan demikian perku ditambah dalam bagian posita atau petitum atau pada kedua-keduanya.[21]
Dengan demikian jelas, bahwa perubahan atau penambahan gugatan masih diperbolehkan selama dalam tahap pemeriksaan dan belum memasuki tahap pemeriksaan dan belum memasuki tahap kesimpulan dengan ketentuan sebagai berikut.
1. Jika gugatan belum dibacakan maka perubahan gugatan tidak perlu mendapat persetujuan tergugat.
2. Jika gugatan sudah dibacakan dan tergugat telah memberikan jawaban, maka perubahan gugatan hanya dapat dilakukan apabila telah mendapat izin dari tergugat.
3. Perubahan tersebut masih dalam koridor posita gugatan.
Pencabutan gugatan yang telah didaftarkan dan diperiksa dipengadilan dapat dicabut sewaktu-waktu dengan syarat sbg berikut :
1. Sebelum tergugat mengajukan jawaban, gugatan dapat dicabut tanpa izin tergugat
2. Apabila tergugat sudah mengajukan gugatan jawaban, gugatan dapat dicabut atas izin tergugat.[22]
F. Ekspesi dan Rekonvensi
1. Ekspesi
Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata memiliki makna tangkisan atau bantahan (objection). Bisa juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat formalitas gugatan dan tidak ditujukan atau menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale). Salah satu eksepsi dalam hukum acara perdata adalah eksepsi mengenai kewenangan mengadili. Eksepsi kewenangan mengadili diajukan apabila dianggap pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Eksepsi kewenangan mengadili dibagi menjadi:[23]
2. Rekonvensi.
Istilah (gugatan) rekonvensi diatur dalam Pasal 132a HIRyang maknanya rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya. Dalam penjelasan Pasal 132a HIR disebutkan, oleh karena bagi tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya. untuk menggugat kembali penggugat, maka tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan memajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya terhadap gugatan lawannya.
G. Pembuktian
Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta atau pristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku. Untuk memperoleh kepastian bahwa suatu pristiwa/fakta yang diajukan itu benar terjadi, yang dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak, inilah merupakan tujuan dari pembuktian itu sendiri.[24]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Yang dimaksud dengan Intervensi secara umum adalah campur tangan atau ikut serta pihak ke-3 kedalam suatu perkara perdata yang sedang berjalan (berproses) antara pihak penggugat dengan pihak tergugat. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur dari intervensi, antara lain:
1. Harus ada perkara perdata yang sedang berjalan(berproses)
2. Di dalam perkara perdata tersebut pihak ketiga ikut masuk ke dalamnya maka pihak ketiga tersebut disebut dengan penggugat intervensi
3. Penggugat intervensi jika ingin masuk kedalamnya terlebih dahulu harus mengajukan surat permohonan kepada majelis hakim yang mengadili sengketa yang hendak diikutinya.
4. Apabila diperkenankan dirinya untuk masuk di dalamnya maka penggugat intervensi membuat/menyusun dan menyerahkan gugatan intervensinya kepada majelis hakim yang secara garis besar terdiri dari Indentitas, posita dan petitum
5. Dalam hal pengajuan surat permohonan untuk ikut serta dan pengajuan gugatan tidak dikutip biaya.
Berkenaan dengan bentuk-bentuk intervensi yang terdiri atas Voeging, Tussenkomst dan Vrijwaring perlu diketahui bahwa ketiga bentuk intervensi in tidak terdapat dalam HIR/RBG, akan tetapi berdasarkan Pasal 393 HIR /721 RBG menyatakan bahwa apabila ada letentuan yang tidak diatur dalam HIR/RBG maka peraturan-peraturan luar dapat dipedomani. Sehubungan dengan itu mengenai bentuk-bentuk intervensi diatur dalam Pasal 274 Rv. sedangkan dalam Hukum Acara TUN mengenai intervensi terdapat dalam Pasal 83 UUTUN.
B. Saran
1. Hendaknya Badan Hukum yang berkaitan dengan masing-masing bidang pengadilan lebih memaksimalkan dalam Melakukan Pembinaan kepada seluruh masyarakat yang terkait, agar tidak banyak jerjadinya kasus-kasus pelanggaran dan agar semua dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya.
2. Hendaknya dari pihak para masyarakat yang terkait pun memilki kesadaran diri yang tinggi sehingga dapat beraktifitas semaksimal mungkin tanpa harus melangkahi peraturan yang telah berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulah Tri Wahyudi, Pengadilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004)
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, Cet III, (Jakarta : Kencana , 2005)
Akmaluddin Syahputra, Hukum Acara Perdata, (Medan : Wal asri publishing, 2008)
https://darwisroland.blogspot.com/ 2014/12/ makalah- gugatan- dan- permohonan. html, diakses pada tanggal 27 juli 2019 pukul 09.00
Kussunaryatun, Hukum Acara Perdata Pemeriksaan Perkara Perdata. (Surakarta : UNS Press, 1995).
M Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama Undang Undang N0. 7 Tahun 1989. (Jakarta : Pustaka Kartini, 1993)
Retno wulan Soentantio dan ISkandar, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. (Bandung : Mandar Maju, 1997.
Roihan A. Rasyid , Hukum Acara Peadilan Agama ( Jakarta :Rajawali, 1991).
FOOTNOTE:
[1] Abdulah Tri Wahyudi, Pengadilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004) h.126
[2] Retno wulan Soentantio dan ISkandar, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. (Bandung : Mandar Maju, 1997. ) h. 10
[3] M Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama Undang Undang N0. 7 Tahun 1989. (Jakarta : Pustaka Kartini, 1993) h. 357
[4] Abdulah Tri Wahyudi, Pengadilan Agama di Indonesia,…, h.126
[5] Retno wulan Soentantio dan Iskandar, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek…, h. 10
[6] M Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama Undang Undang N0. 7 Tahun 1989. (Jakarta : Pustaka Kartini, 1993) h. 357
[7] Abdulah Tri Wahyudi, Pengadilan Agama di Indonesia…, h.144.
[8] https://darwisroland.blogspot.com/ 2014/12/ makalah- gugatan- dan- permohonan. html, diakses pada tanggal 27 juli 2019 pukul 09.00
[9] Abdulah Tri Wahyudi, Pengadilan Agama di Indonesia,…, h.131
[10] https://darwisroland.blogspot.com/ 2014/12/ makalah- gugatan- dan- permohonan. html, diakses pada tanggal 27 juli 2019 pukul 09.00
[11] https://darwisroland.blogspot.com/ 2014/12/ makalah- gugatan- dan- permohonan. html, diakses pada tanggal 27 juli 2019 pukul 09.00
[12] https://darwisroland.blogspot.com/ 2014/12/ makalah- gugatan- dan- permohonan. html…,
[13] Kussunaryatun, Hukum Acara Perdata Pemeriksaan Perkara Perdata. (Surakarta : UNS Press, 1995). h. 34
[14] https://darwisroland.blogspot.com/ 2014/12/ makalah- gugatan- dan- permohonan. html, diakses pada tanggal 27 juli 2019 pukul 09.00
[15] Kussunaryatun, Hukum Acara Perdata Pemeriksaan Perkara Perdata…, h.35.
[16] M Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama Undang Undang N0. 7 Tahun 1989. (Jakarta : Pustaka Kartini, 1993) H.357
[17] Abdulah Tri Wahyudi, Pengadilan Agama di Indonesia…, h.144.
[18] Kussunaryatun, Hukum Acara Perdata Pemeriksaan Perkara Perdata…, h.53.
[19] Abdulah Tri Wahyudi, Pengadilan Agama di Indonesia…, h.150-151
[20] Akmaluddin Syahputra, Hukum Acara Perdata, (Medan : Wal asri publishing, 2008) h.48
[21] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, Cet III, (Jakarta : Kencana , 2005 ) h. 45
[22] Abdulah Tri Wahyudi, Pengadilan Agama di Indonesia…, h.150-151
[23] Kussunaryatun, Hukum Acara Perdata Pemeriksaan Perkara Perdata…, h.53-54.
[24] Roihan A. Rasyid , Hukum Acara Peadilan Agama ( Jakarta :Rajawali, 1991). h.138
Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.