koleksi iPusnas

Mathori A Elwa: AKU PERNAH SINGGAH DI KOTAMU


 
Data Kumpulan Puisi

 

Judul buku: Aku Pernah Singgah di
Kotamu

Penulis: Mathori A Elwa

Penerbit: PT Kiblat Buku Utama, Bandung.

Cetakan: I, April 2008

Tebal: 66 halaman (33 puisi)

Gambar kulit muka: lukisan “Pelabuhan
di Eropa Utara II” (1961) karya Salim

dari buku Salim Pelukis Indonesia
di Paris (Ajip Rosidi, Pustaka Jaya, Jakarta, 2003)

ISBN: 978-623-221-005-9

 
Aku Pernah Singgah di Kotamu terdiri dari 3
bagian, Rumah Tinggal (12 puisi), Aku Pernah Singgah di Kotamu (9 puisi)
dan Teringat Sebuah Nama (12 Puisi).
 
Sepilihan puisi Mathori A Elwa
dalam Aku Pernah Singgah di Kotamu
 
KEPADA UMBU LANDU PARANGGI
 
pertapa sembahyang di pucuk daun
alang
rerumput berjemur di tengah sawah
para petani kalimat menanam gelisah
di ladang yang pongah
 
pejalan semadi di puncak hilang
rerumputan menjemput maut di
padang-padang
para penari menunggang kuda
sembrani
di ufuk matahari kintamani
 
pesolek sembahyang dalam bara api
tulang daging ruh menyelam di
kuta
brahmana ksatria bertempur
melawan sudra
di nganga ngaben pariwisata
 
penyair samsara
di pulau dewata
 
15, 9, 1995, 2004
 
 
SERENDIPITI
Kepada Penyair
Fauzi Absal
 
penyair sejati tak pernah jatuh
cinta
sekalipun ada goda dan gelisah.
Matanya gosong menatap sajak.
          Mengaum
dari kedalaman
kata-kata.
 
mengapa penyair tak pernah jatuh
cinta?
benda-benda pedalaman harus
dirogoh. Diperjuangkan hingga akhir.
          Nilai-nilai
belum cemerlang. Dan sajak-sajak harus seperti luka
tergores di fosil kalimat
 
ada yang harus dibakar
dan dikuburkan. Sepatu,
nama-nama, dan sejarah
juga cinta yang cengeng. Karena
penyair
tak pernah jatuh cinta
bagaimana penyair dapat jatuh
cinta
padahal sajak-sajaknya bebal
kejam
dan dahsyat
 
Cilengrang, 18 Agustus 2003
 
 
TERINGAT SEBUAH NAMA
 
aku teringat sebuah nama
tapi tak mampu kuucapkan
bukan karena dendam atau menutupi
kebenaran
 
esok jika ia sudah terkubur
atau aku dikuburkan
biarlah petugas kelurahan yang
mencatat
nama itu di kantor desa
mengiringi sebuah laporan
kematian
 
semua pasti tercatat
selain mereka yang kita lupakan
 
18 Agustus 2003
 
 
INTIMIDASI
 
mengapa sajak masih ditulis orang
karena kata-kata masih diperlukan
jika kata-kata tak lagi
dibutuhkan?
sajak menjelma tindakan
jika tindakan nyata sudah tak
boleh dilakukan?
penyair sesungguhnya
mengumumkan perang
 
1995, 1996, 2004
 
 
AKU PERNAH SINGGAH DI KOTAMU
 
aku pernah singgah di kotamu
ruas-ruas jalan, taman-taman kota
kebanyakan makin gersang
membuat aku tidak kerasan
 
di kotamu
kini bertumbuhan gedung pencakar
langit
dan sarana industri
hasil utang bank dan luar negeri
kebersihan air sudah tak penting
lagi
 
udara penuh asap knalpot dan
limbah pabrik
got-got di perkampungan amat
jorok dan berisik
bau amis dan bacin terminal
telepon umum yang rusak
dan halte bus tak berfungsi
gedung pemerintahan, sekolah
negeri yang tak terawat
para pegawai yang tampak
menganggur
adalah pemandangan biasa yang kau
jumpai
karena aku pernah singgah di
kotamu
 
selalu ada kampanye yang rutin
dan senantiasa menakutkan
sempritan polisi, demonstrasi
mahasiswa dan tembakan senjata
karnaval tujuh belasan dan
upacara bendera
toko-toko banting harga pura-pura
hotel dan manusia
dipasang tarif menggiurkan
bus-bus kota saling mendahului
meraung-raung menyemprotkan asap
hitam
para pengendara sepeda butut yang
gemetar dan lamban
adalah panorama biasa
karena akuk pernah singgah di
kotamu
kantor bupati, kecamatan dan
kepala desa yang rutin
gedung gubernuran dan dewan yang
angker
pejabat tinggi, pengamat dan
politisi yang banyak bicara
marah-marah dan mengepalkan
tinjunya di televisi swasta
entah karena apa
 
aku pernah tinggal di kotamu
 
berita dan pendirian koran yang
berubah-ubah
dan masyarakat yang sulit atau
mudah percaya
membuat aku kangen pada kampung
halamanku
di pinggir sungai yang
–celakanya— juga sudah kaucemari
sebuah kampung yang tenang tanpa
berita dan kebohongan
sawah-sawah hijau membentang
pepohonan masih bertahan tak
ditebang
rendah hati dan saling menghargai
amat tinggi
aku ingin sekali jadi petani atau
penggembala ternak yang sederhana
meskipun sawah dan ladang sudah
tak lagi kupunya
karena aku pernah singgah di
kotamu
 
2000, 2004
 
 
KUTA – TELUK BETUNG
 
dari pantai kuta hingga teluk
betung
tak kita temukan lagi rimbun
hutan jati
kasih sayang atau cinta
yang melebat-merimbun di sanubari
 
kita hanya dapat berdoa
di bawah terik panas matahari
di atas jembatan tak terkenal
sebuah sungai yang airnya keruh
udara bau tengik yang menyengat
dari arah sekian kilometer
pabrik tepung tapioka yang
dimaafkan masyarakat
 
kita hanya dapat berdoa
di bahwa kibaran merah putih
di balik hiruk-pikuk
ketakpedulian
caci-maki politik, kebrengsekan
hukum dan etika
 
dari pantai kuta hingga teluk
betung
tak kutemukan pohon bakau
pengorbanan dan rasa iba
yang menghutan di jiwa risau
di tengah pelabuhan
merak-bakauheni yang panas
di pulau-pulau dan negeri
yang nyaris tak punya belas kasih
kita tinggal hanya dapat berdoa
selebihnya
amin!
 
2001, 2004
 
 
CERMIN TOPENG
 
tiap hari aku berkaca kepadamu
wajahku makin tua
lihatlah ke dalam matamu sendiri
lorong gelap tanpa cahaya
jalan sesat dari marabahaya
lubang hidungmu
adalah segala pintu gerbang
air comberan limbah industri
kehidupan
masuklah dalam mulutku
lubang ozon raksasa
mengatup dan menganga
menyemprotkan
karbon dioksida
bara api dari neraka kerakusan
dunia
kepalaku sudah tak subur lagi
menjelma padang sahara
 
tiap hari aku berkca kepadamu
wajahmu berantakan
 
27, 7, 2003
 
 
MAKA, JADILAH KAU PENYAIR
 
di atas singgasana brengsek
aku bertakhta
permaisuriku putri busuk
yang kurenggut dari comberan
semula aku bernama samoon
angin dan api yang dilempar dari
neraka
kemudian adalah kata-kata indah
syair beracun dari kedalaman
gelap
dengan takhta kata-kata
aku menyamun
para penyair
mengibarkan bendara malam
dalam pusaran kengerian
kekuatanku adalah retorika
sunyi dari kehidupan nyata
bergabung dengan kami
amatlah menjanjikan
maka, jadilah kau penyair
murung, sombong
dan bohong besar
 
2003, 2004
 
 
MIMPI TELAGA
 
pada sebuah arus rahasia
tak jauh dari tempat berbaring
antara makam dan sebuah musium
kulepas perahu purba
nuh, luth, musa
dan negeri-negeri terkutuk
berseliweran dalam tidur jaga
membentang di antara tahajud
dan tangis yang membusuk, rabbana
seorang tamu ditakdirkan (akan?)
datang
pagi-pagi sekali
menagih hutang (kematian?)
mengajak pergi
 
– engkau mungkin nyinyir
tertawa getir
kapankah para pengungsi abadi
pernah punya tempat yang dapat
disinggahi
hingga ada yang sempat berpikir
ingin menjumpaimu lagi?
 
hutang demi hutang menumpuk
dalam dada, tas plastik dan sibuk
pegunungan putus asa tumbuh
sebagai bisul-bisul
doa apakah yang terkandung dalam
derita ayyub
zabur, taurat, injil, al-quran
berdengung dalam telingaku yang tuli
puluhan nama nabi dan rasul
menziarahi mayat hidupku
samiri, fir’aun, abrahah, abu
lahab
jengis khan, hitlet, orde baru
tumbuh subur sebagai pohon kalap
gigiku menyeringai di antara
jutaan wisatawan dan penganut agama
dada, paha dan selangkangan
kalian
adalah dajjal yang menyedot habis
nuthfah para pengkritik
jutaan ular weling menjelma bursa
efek
bajak laut dan udara kenakan
surban para nabi dan rabbi
meledakkan bom dan gunung-gunung
rahasia
dalam amarah, dengki dan dendam
kesumat
 
kucoba membaca takdir
dan di pagi buta itu
sebelum penagih hutang dan
kematian lainnya menjemputku
kuukir terlebih dahulu huruf demi
huruf
pada dinding perahu
aku bermimpi nuh bermimpi ibraham
bermimpi musa
bermimpi sulaiman bermimpi
musthafa habibina
bermimpi tuhan
bermimpi telaga
mata air dari barat atau timurkah
itu
menghanyutkan perahu doa dan duka
cintaku?
permohonan telah mendidih dalam
magma ubun-ubun jiwa
shalawat dan salam padamu, ya musthafa
habibina
mengalir dalam hatiku yang busuk
menggumpal dalam dahak dan ludah
khilafku yang sempurna
napasku tersengal sebagai sejarah
yang terpenggal
menggendong derita dan bahagia
memanggul pelarian
melolong sebagai qithmir
menembus kegelapan makrifat
tersingkir dari jalan tembus
khidhir
 
Ramadhan 1421/Oktober 2000, 1424, 2004
 
 
RUMAH TINGGAL
 
kubangun sebuah rumah tinggal
sederhana
luas dan besar rupanya
untuk siapa?
cukup lama kalian pergi ngembara
tak ada yang peduli
anak-anak pun juga istri. Rumah
tinggal hakikat
di mana kini?
engkau lupa dan tersesat
 
kubangun sebuah rumah tinggal
hakikat. Kalian lama pergi
ngembara
lupa
dan
tersesat
 
15, 9 , 1995, 2004
 
 
PAKIJANGAN DINI HARI
 
[1]
aku tiba pada malam lagi
seperti tibaku
menjelang dini hari
kampung halaman siapakah
yang kumasuki berulangkali
bagai mencatat yang samar
jejak-jejak esok hariku selalu
saja terbakar
 
[2]
entah suara siapa
senantiasa memanggil
keras sekali
seperti suara deru ribuan
kendaraan
(kefanaan)
entah jejak siapa
selalu kuikuti
seperti rintik hujan di subuh itu
mengulang-ulang tapak yang sama
bagai doa yang dilantunkan
bagai tasbih yang diputar
mengingatkan kembali pada asal
segala sesal
 
[3]
aku terjaga pada entah
seribu kubangan menganga
sejuta got mengalir
semilyar orang kota anyir
tak berduka tak bersyair
 
[4]
pakijangan, dini hari
kutemukan diri sendiri
dalam badai
dalam pertempuran
dalam bah derita
teronggok di serapah
masa lalu yang menyampah
 
[5]
kupenuhi panggilan azan
mencoba mengingat-ingat nama demi
nama
yang selalu sama pada tiap zaman
– adam hawa –
dengan susah payah
kucatat, kueja
dengan sesal satu demi satu
kuhapus
tanpa sisa
dengan tangis terbata-bata
kurindukan yang lama tak tiba
nurul musthafa habibina
laikkah diri yang hina
memanggil-manggil diri yang agung
yang hingga dunia tercipta?
 
[6]
kucoba segala dendam
kubuang-buang
tapi selalu saja maafku tenggelam
jika tak kaudengarkan
harapankku yang tinggal sejengkal
terjungkal-jungkal
 
[7]
kuputuskan untuk mirad
menjauhi para bangsat
karena diri merasa keparat
kutekatkan untuk pergi
dari para mufti
karena diri tak ada lagi
kubuang diri yang hina
dalam kubangan tanpa nama
agar derita segera sempurna
banyak sudah pelajaran yang
kulihat
kudengar dan kuterima
wahai kalian para guru
namun diri yang tak berdaya
tak kuat lagi menyangga kepalsuan
tak terkira
 
[8]
ada saja impian yang melintas
untuk kembali mencatat sebal
dalam buku diri yang kumal
lewat keangkuhan dan sikap bebal
akulah pelarian itu
yang selalu cemas
menyambut takdir datang tiba-tiba
tanpa surat dan pemberitahuan
akulah pelarian itu
yang selalu terpental
menggotong amanah (amarah?)
jatuh begitu saja
tanpa isyarat dan berita
akulah pelarian itu
yang selalu berantakan
menderita kebaikan dikirim
orang-orang
tanpa nama, alamat dan perjanjian
akulah pelarian itu
yang selalu remuk
memamah biak baik-buruk
yang menyerbu dari segala penjuru
tanpa permisi tanpa ragu
 
[9]
pakijangan dini hari
mungkinkah impian dapat dihadang
apakah ilham bisa ditendang
apakah anugerah dibiarkan
gentayangan
bagai gerimis
ada jejak yang mengiris
bagai deras hujan
ada saja penagih hutang
mencegat dari setiap pintu dan
ruang
padahal hartaku cuma ketakpastian
di manapun kubaringkan tubuh
yang lapuk oleh perang dan garang
di situlah kubayar diri tak
berharga
kepadamu hanya
lakukah?
 
Nisf ul-Sa’ban-13 Ramadhan 1421, 1423
 
 
TENGOKLAH SEJENAK
 
tengoklah sejenak
masih adakah sawah ladang
menghijau, teduh dan tenang
pohon-pohon bambu bergesekan
sayur katu, pohon rambutan
 
tengoklah sejenak kampung halaman
masih adakah kelapa, petai dan
aneka jambu
bergelantungan
 
di sanalah tempat kita dilahirkan
 
tengoklah sejenak kota itu
adakah berjajar di pinggir jalan
pohon flamboyan, dadap dan cemara
rumputan hijau dan pohon palem
tua
 
di sanalah tempatmu dibesarkan
 
tengoklah sebentar negeri itu
masihkah ada peduli
pada bukit-bukit, air kaldera
parit-parit, sungai-sungai dan
lautan
masihkah ada sangsi
pada cinta sejati
air yang mengalir dari pegunungan
 
masihkah ada ragu
pada kesetiaan murni
rahmat yang mengalun pada sungai
 
masih adakah bimbang
pada murninya ketulusan
berkah yang melaut pada samudera
hingga kalian tega mengkhianati
diri sendiri
di kampung halaman
di kota-kota
hingga negeri ini hancur percuma
 
tengoklah sejenak hati kita
masihkah ada peduli
pada kampung halaman, kota-kota
dan masa depan manusia
 
tengoklah sejenak. Tengoklah
 
21 Mei 2001, 2004
 
 
Tentang Mathori A Elwa
Tak ada biodata Mathori A Elwa di
e-book itu. Googling aja ya.
 
 
Catatan Lain
            Tak ada sampul halaman
belakang itu e-buku ini. Halaman terakhir (66) memuat Indeks Baris Pertama
Sajak. Tak juga ada pengantar dari siapapun. Begitu. 


Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top