Data
buku kumpulan puisi
buku kumpulan puisi
Judul : Cerita untuk Nancy
Penulis
: Mawie Ananta Jonie
: Mawie Ananta Jonie
Cetakan : I, September 2008
Penerbit : Ultimus, Bandung.
Bekerjasama dengan Lembaga Sastra
Pembebasan
Pembebasan
Tebal : x + 118 halaman (105 puisi)
ISBN : 978-979-17174-8-9
Editor : Heri Latief, Bilven
Desain sampul : Ucok (TYP:O Graphics)
Prolog : Heri Latief
Beberapa
pilihan puisi Mawie Ananta Jonie dalam Cerita untuk Nancy
pilihan puisi Mawie Ananta Jonie dalam Cerita untuk Nancy
TELUK BAYUR
Dia pelabuhan yang membuka pintu hatinya bagi perantau,
datang dan pergi aku mendengar suaranya di lepas pulau.
Di sini aku lahir dan besar dimandikan asam garamnya,
juga masa perang dan damai kami tanggung bersama
Perang pernah menenggelamkan kapal dan tongkang,
tidak itu saja bom dan peluru merenggut nyawa banyak orang.
Depan pelabuhan Pulau Telok berjaga dan melindungi,
dari gelombang datang atau angin dan badai.
Teluk Bayur tempatku lahir,
tempatku menggali pantun dan akar syair.
Amsterdam, 21 Februari 2008
PANTAI PADANG
Kampung nelayan itu hanya tinggal bayangan saja,
beberapa perahu terdampar dan satu dua gubuk tua
Putih pasirnya ombak membentur batu karang,
di sini hatiku pernah luka dan luka itu tak hilang hilang.
Aku berdiri menyibak kuburan sedang digaruk ombak,
puluhan tahun yang lalu dari kenangan yang kubukak.
Di pinggir sana di bangku panjang bawah pohon aru,
kau dara yang pernah mengirim pandangan cinta padaku.
Kita tak sempat lagi berjabat tangan selamat jalan,
tapi pada langit dan camar salam pernah kukirimkan.
Amsterdam, 24 Februari 2006
DIGUSUR
Ini nenek kami segani tapi juga yang kami cintai,
dia mati tua hanya menyebut namaku beberapa kali.
Begitu sampai di Jakarta aku menanyakan pusaranya,
kemenakan menjawab sudah digusur sejak lama.
Untuk melepas rindu di Padang minta aku diantarkan,
tapi di atas tanah itu kini hanya jalan dan bangunan.
Airmata menitik membasahi pipiku,
nek tak ada lagi tanda tanda bagi anak cucumu!
Amsterdam, 20 Februari 2008
BERDEBUR OMBAK PARIAMAN
Berdebur ombak Pariaman berdebur suaranya sampai jauh,
pulau Angsa Dua berjabat tangan menyambut pesiar datang bersauh.
Ramai kota Pariaman ramai bila musim bertabut datang
beroyak hasan beroyak hosen menari menuruti irama gendang.
Ketika masa kanaknya lelaki itu setiap minggu diterpa angin laut,
dikawal parit batu stasion tua bertahan agar tak hanyut.
Camar putih putih terbang menciap terbang bergurau,
memikat pulang nak dagang nan jauh di rantau.
Berdebur ombak Pariaman berdebur,
dalam kesetiannya pada merdeka boleh diukur.
Amsterdam, 1 April 2008
KAYUTANAM
Menurun dari Silaying ke Kayutanam udaranya nyaman,
senja pun mengantar purnama dalam perjalanan
Ingatannya pada stasion tempat dulu bertolak kaum pengungsi,
ditembaki mustang Belanda dengan senapang mau dihabisi.
Berapa mati dan berapa yang luka dia tak pernah dengar,
yang dia tak lupa suara anak anak menangis karena lapar.
Dia masih kecil berada di dalam gerobak barang,
bersama ratusan pengungsi menghindar dari perang.
Antri kereta di Kayu Tanam menanti giliran berangkat,
menunggu gelap datang pelindung untuk selamat.
Bertanya pada dirinya manakah pohon pohon raksasa dulu,
peneduh Amai Amai menjual ketupat goreng rabu?
Amsterdam, 28 Maret 2008
MENUNGGANG KUDA MEMETIK BUNGA1
Tinggi bukit seribu gunung bertahun baru di rumah mertua,
bersandal jepit berkain sarung menunggang kuda memetik bunga
Di pekarangan rumah babi dan ayam berebut makan,
padi ditumbuk ditampi dinyanyikan.
Trompet dan tambur diarak dimainkan si buyung,
di rumah rumah bertingkah alu dengan lesung.
Tua muda laki perempuan melingkar berpegangan jari,
mengayunkan langkah menari dan menyanyi.
Istri kubimbing anak kupangku.
orang kampung tempatkan dahulu.
Amsterdam, 19 April 2008
1Dari “Mencari Bumi Tempat Berpijak”.
DI BATAS RENVILLE
Batang Tapakih mengalir membelah kampungku,
airnya kuning sejak dari hulu sejak dulu dulu.
Ketika Belanda melancarkan agresinya yang kedua ditahan,
di sinilah tapal batas agresor dengan republiken angkat senapan.
Di ujung sebuah jembatan dua pejuang telah gugur bertempur,
dan di sinilah mereka oleh Rakyat telah dikubur.
Aku masih di bawah umur ketika belajar apa arti kata berjuang,
ketika negeri sedang menghadapi diserang perang.
Di atas pisang di bawah jantung, di
tengah tengah pohon kelapa,
tengah tengah pohon kelapa,
biar dipasang biar digantung, asal kita tetap merdeka.
Amsterdam, 14 Februari 2008
KETIKA AKU MEMETIK SEBUAH JAMBU
Ketika aku memetik sebuah jambu siang itu di halaman,
dari langkan rumah tua kucium bau kembang pernah jadi impian.
Puluhan tahun yang lalu hidup ini kurancang rancang,
jadi petani dengan dara anak peladang.
Ketika aku pulang kampung dia pun sudah beranak cucu,
dan di dalam doa dan restu kami bertemu.
Lalu hujan lebat turun di tengah malam,
titiknya jatuh atas mimpiku diamdiam.
Amsterdam, 18 Februari 2008
CERITA UNTUK NANCY
Tiba tiba di kota Kecamatan berletupan suara senapan,
tiba tiba dari seluruh kaki gunung seperti datang penyerbuan.
Tenang kata nenekmu itu bukan suara tembakan dari bedil musuh
tetapi ia semakin gencar tidak semakin jauh.
Dari luar ada orang memanggil nenekmu minta segera datang,
lama dia tak pulang walau tiada lagi suasana perang.
Nenekmu baru kembali di larut malam,
setelah bulan di balik gemunung pergi diam diam
Apa yang terjadi Nancy penduduk menembak gerhana,
bulan sumbing digigit serigala dunia gelap ada bencana.
Dan penduduk bertekat binatang jahanam ini mesti ditangkap,
diikuti oleh anak anak petani bersenjata siap menyergap
Amsterdam, 25 April 2008
KALAU NANCY MENANGIS
Dua bulan lagi Nancy akan tiga tahun umurnya,
sejak dia lahir aku terasa sudah lebih tua tua bangka.
Ketika berumur dua tahun dia sudah turun naik tangga sendirian,
dan bicara Tionghoa, Belanda dan Indonesia menyenangkan.
Waktu kosong neneknya bercerita tentang sawah dan ladang,
dan aku sebagai kakek bicara perasaan hidup di negeri orang.
Setiap hari bila turun tangga diahapal dengan langkahku,
seperti aku juga tahu bahwa dia suka mengeja angka dari satu.
Kalau dimarahi dan menangis,
aku menahan airmata yang sudah habis.
Amsterdam, 22 April 2008
SEGULUNG OMBAKDI DALAM SAMUDRA BIRU1
Sebuah
Cerita Buat Anakku Pinta
Cerita Buat Anakku Pinta
1
100 tahun yang lalu anakku, tatkala Nusantara bersuku-suku,
dia lahir dari kandungan mimpi dan kenyataan bergerak maju.
Seorang dokter berkelana dari kota ke kota,
berpropaganda meningkatkan derajat dan martabat bangsa kita.
Dengan Dana Studi, diketuknya pintu hati pemuda dan pelajar,
di Stovia cita cita ini mendapat angin panji berkibar.
2
Bulan Mei, ketika bunga musim semi mekar di pantai Barat,
di Timur Budi Utomo lahir ke pangkuan rakyat.
Anak jaman itu tumbuh membesar dengan angan angan,
untuk sebuah kemajuan di lekuk jalan dinyatakan.
Kau dengar anakku, dia bergagasan tani sampai industri,
supaya jadi kehidupan di negeri kita yang tak miskin ini.
maka dia menentang politik dan undang undang kolonial,
yang melarang kegiatan membahayakan ketertiban massal.
3
Tahun tahun merangkak naik dia mencari bumi tempat berpijak,
mempersatukan pemimpin pemimpin massa yang bergerak.
Dengan kekuatan ini anakku, mereka memperjuangkan program,
sebuah pemerintahan perlementer yang tak dibungkam.
Mereka tagih perbaikan aturan pemilihan yang ada,
persamaan hukum dan pengadilan bagi bangsa kita.
4
Anakku, dia gigih melawan perbedaan,
yang dapat mengobarkan diskriminasi antar golongan.
Bukan itu saja, Budi Utomo berbincang non-kooperasi,
tampil memberantas lintah darat bersama kaum tak berdasi.
Ikut aksi protes atas rintangan mengenai pergerakan,
protes atas pengawasan polisi dan ancaman pembuangan.
Menyokong pemogokan dan mencela tindakan penguasa,
atas penangkapan penangkapan pemimpin mereka.
5
Budi Utomo revolusioner dicap penguasa pembelok,
seorang pemimpinnya menjawab tanpa menunggu hari esok.
Waspadalah. Sekarang saatnya bagi tuan penjajah,
memberi apa yang kami inginkan tanpa tangan menadah.
Sekarang tuan penjajah masih bisa menuntun kami,
tapi berilah apa yang kami mau. Jangan tunggu lagi.
Saatnya akan tiba rakyat kehilangan kesabaran,
saat itu saat sekarang. Di mana kita berhadap-hadapan,
saat itu saat sekarang. Di mana kita berhadap-hadapan,
Diemen— Amsterdam, 18 Mei 2008
1Sajak ini telah
dibacakan oleh penulisnya dalam Acara Peringatan 100 Tahun Hari
dibacakan oleh penulisnya dalam Acara Peringatan 100 Tahun Hari
Kebangkitan Nasional, hari ini tanggal 18 Mei 2008 di Diemen—Amsterdam,
Negeri
Negeri
Belanda.
DOA
Malam keluarga kumpul dan orang sekampung,
ruangan tengah penuh yang di langkan tak bisa bergabung.
Seseorang memanjatkan doa hadirin menadahkan tangan,
aku yang pernah dibilang mati pulanglah dengan aman.
Menangis hatiku meratap untuk orang yang kucintai,
di pergi dan dikubur karena penyakit tak terobati.
Ibunda jantungmu luka dan kuburmu siapa yang pelihara,
begitu kering begitu duka anakmu jauh di lain benua.
Semoga kembaliku hari ini awal yang akan datang,
meskipun jalan jauh dan tinggal di negeri orang.
Amsterdam, 16 Februari 2008
DI SEPANJANG DUA SISISUNGAI MONGYA
Sebuah sungai mengalir membelah Kecamatan Mongya,
sudah bebas Mongya sungainya Sungai Mongya mencari muara.
Suku suku Thai, Kechin, Lawhu, Miao, Hui dan Han,
tinggal mendiami kedua sisi sungai hidup bergandengan tangan.
Mereka sepakat dalam Sarekat Tani membela garis belakang,
mendukung front depan untuk memenangkan perang.
Di sepanjang dua sisi sungai Mongyan itu hanya ada satu,
arus perlawanan mengacungkan satu tinju
Siang para petaninya pegang pacul.
malamnya bedil mereka panggul
Amsterdam, 21 Mei 2008
MEMBUKA TANAH MEREBUT PUNCAK
Tanah tanah di ssepanjang aliran sungai Mongya itu dibuka,
oleh tangan anak anak petani yang pernah luka.
Jadilah Mongya gudang pangan tumpuan perlawanan,
kuning bulir padi dan harum bunga jagung kehidupan.
Pasarnya ramai campur pedagang dan mata-mata musuh,
sulit diraba mana penduduk mana yang perusuh.
Di garis paling depan berebut puncak puncak gunung,
di sini Sarekat Tani dan Milisia setia mendukung.
Sebuah panji merah berkibar,
dari orang orang yang mengenal lapar.
Amsterdam, 26 Mei 2008
JALAN INI BERTARUH HIDUP ATAU MATI
Tahun 1970 dua tahun dia berada dalam barisan partisan,
keberaniannya ditempa dalam maju mundurnya perjuangan.
Sungai Mongya mengalir dalam hati manusia,
mimpi kehidupan datang dan pergi bersama suka dan duka.
Gunung dan hutannya jadi saksi perlawanan yang ditindas,
atas yang tak berhak punya tanah tapi kerjanya menindas.
Dara muda itu merangkak naik jadi wakil kepala regu,
seorang anak petani buta huruf pengalamannya jadi guru
Jalan ini bertaruh hidup atau mati,
di sini ditemukannya tempat berpijak yang dia cari.
Amsterdam, 24 Mei 2008
SEHABIS PENYEBERANGAN SUNGAI MAONG THANG
Sehabis penyeberangan sungai Maong Thang malam itu,
lalu bersalin dan segera bergerak sebelum diburu.
Ini pengunduran penyelamatan kekuatan menyerang,
karena untuk berhadaphadapan tak seimbang.
Pagi hujan teduh mereka rebut waktu di sebuah hutan,
memasak nasi dan sayur liar untuk dimakan.
Sehari semalam perut lapar perjalanan jauh,
pesawat datang menembaki tempat berteduh.
Hutan dan rimba jadi saudara kandung
di langit suara serak meraungraung
Amsterdam, 14 Juni 2008
KITA ORANG ORANG YANG TAK MAU JADI BUDAK
Kita adalah orang orang yang pernah dicap sebagai pembangkang,
maka sekali diberi tanda gelar ini jangan ragu jangan bimbang.
Mari kita terus mengayunkan langkah untuk tidak dijadikan budak,
di negeri sendiri kita punya kewajiban dan punya hak.
Aku pernah kehilangan, kehilangan sanak saudara,
kau kehilangan ayah bunda dan cintanya.
Tapi di atas segala galanya itu,
kita masih punya tinju!
Terkadang memang kehilangan yang tak tahu hutan rimbanya ini,
tidak ada tempat mengadu, menyakitkan hati sakit sekali
tapi apakah kita akan berhenti di perjalanan,
atau tidak berbuat apa apa atas kematian.
Kau tidak, aku tidak, kita sekalian tidak,
karena kita tak mau jadi budak.
Masih punya laut dan tanah,
darahnya merah!
Amsterdam, 17 Januari 2008
LELAKI ITU PULANG
Hujan turun sejak pagi orang orang sekampung telah berdatangan,
lelaki itu untuk pertama kali kembali sehabis 40 tahun berjalan
Di halaman rumah pusaka jambu merah sedang lebat berbuah,
dipetiknya setangkai lalu manisnya menjalar rasa tak sudah.
Bergurau dengan orang sekampung baju ditanggalkan tanda mata,
nenek nenek memandang dengan menahan gelak tawa.
Rambutan buahnya rendah manggis matang jatuh satu satu,
istri dan anakanaknya minum kelapa muda melepas dahaga rindu.
Lelaki itu mendengarkan cerita dia ditembak mati karena komunis,
ketika G30S pecah ini fitnah laku buat membangkitkan bengis.
Semua gembira yang dikabarkan mati telah pulang,
semua berjabat tangan dengan lelaki yang dikatakan hilang.
Amsterdam, 4 April 2008
SEBUAH PERBINCANGAN KASIH DAN CINTA
Mereka adalah para sahabat yang datang dari berbagai kota jauh,
lagu “Tuhan Dikau Naungan Hidupku” itu kudengar tempat berteduh.
Gerimis turun membasahi hutan di dalam sebuah perkampungan,
tempat janji bertemu kasih dan cinta diperbincangkan.
Gelombang nyanyian pujian kepada langit dan laut begitu mesra,
pedih pada luka luka masa lalu tanpa cinta jadi menganga
Maka aku datang mencari nyala dari api yang tak kunjung padam,
bukan bayangan saja tapi bintang timur di tengah kelam.
Kita anakku mesti belajar dari pengalaman yang lalu dan hari ini,
mengapa luka pembasmian belum juga sembuh sampai kini?
Amsterdam, 7 Maret 2008
DALAM MASA GELAP ANAKKU
Dalam masa gelap anakku apa yang bisa kita kerjakan,
aku berharap kalau jejak langkah yang dilumpuhkan adalah peringatan.
Kebenaran ada di dalam kenyataan maka sejarah perlu kita pelajari,
lalai akan sejarah kita berlayar tanpa kemudi.
Mereka mengangkat kepahlawanan atas seorang penguasa,
yang telah menindas dan menimbulkan banyak bencana.
Maka belajarlah dari sejarah anakku
belajar dari perjuangan rakyat masa lalu.
Amsterdam, 1 Maret 2008
ADA YANG INGIN KUKATAKAN
Mendung dan hujan turun di atas genteng rumah,
mengetok kaca jendela irama gendang yang resah.
Sebuah puisi kubiarkan terbengkalai di layar kaca,
aku mencari tanda tanya untuk koruptor di luar penjara.
Ada yang ingin kukatakan dari yang lama kurasakan
tentang mereka yang menguasai palu keputusan.
Koruptor sudah membagibagi laut dan bumi negeri ini,
hukum dan pengadilan akankah jadi begini lagi?
Mendung pergi dan langit terang
tidak dengan sendirian pergi dan datang.
Amsterdam, 14 Maret 2008
Tentang Mawie Ananta Jonie
Mawie Ananta Jonie atau Mawi lahir di Teluk Bayur,
Padang, Sumatra Barata, 5 Mei 1940. Puisi pertamanya lahir tahun 1956. Sajak
berjudul “Sinai” dimuat di Harian Penerangan yang terbit di Padang, saat ia
duduk di kelas 2 SGB (Sekolah Guru B) di Lubuk Alung, Kab. Padang Pariaman,
Kotaprataja Padang Panjang. Tahun 1958, saat masuk SGPD (Sekolah Guru
Pendidikan Djasmani) di Padang, mulai menggunakan nama “Mawi Ananta Djoni”
dalam aktifitas menulis. Di sini dia juga menjadi wartawan Mimbar Minggu dan
Suara Persatuan. Tahun 1962 pindah ke Jakarta, menjadi akifis IPPI (Ikatan
Pemuda Pelajar Indonesia), juga wartawan Bintang Timur. Menulis sajak dan
cerpen di Lentera Bintang Timur dan HR Minggu dengan nama
“Mawie”. Akhir Desember 1964, tugas belajar ke Sekolah Tinggi Olahraga (STO)
Peking. Aktif ambil bagian dalam aksi demo di lapangan Tien An Men menentang
Amerika mengebom Vietnam. Tahun 1970-an menjalani hidup dan menjadi bagian dari
kaum tani miskin di Tiongkok. Akhir 1989 meninggalkan Tiongkok bersama istri
dan 2 anak yang masih kecil-kecil dan menetap di Negeri Belanda. Dalam menulis
sajak, juga pernah memakai nama “Al Maori”, “Maori” dan “Ambo Laut”. Kumpulan
sajaknya: Di Balik Tembok Berduri dan Seratus Puisi Bagimu Negeri
yang diterbitkan oleh Indonesia Media, Amsterdam. Juga menulis otobiografi
kumpulan kisah-kisah masa kecil Anak Minang Itu Bercerita.Bukunya yang
lain: Nyanyian Persahabatan dan Sebuah Surat Musim Bunga, Janji
Kepada yang Mati dan Berontak. (Nah kira-kira demikian ringkasan Biodata
penulis yang ada di halaman 113-117).
Padang, Sumatra Barata, 5 Mei 1940. Puisi pertamanya lahir tahun 1956. Sajak
berjudul “Sinai” dimuat di Harian Penerangan yang terbit di Padang, saat ia
duduk di kelas 2 SGB (Sekolah Guru B) di Lubuk Alung, Kab. Padang Pariaman,
Kotaprataja Padang Panjang. Tahun 1958, saat masuk SGPD (Sekolah Guru
Pendidikan Djasmani) di Padang, mulai menggunakan nama “Mawi Ananta Djoni”
dalam aktifitas menulis. Di sini dia juga menjadi wartawan Mimbar Minggu dan
Suara Persatuan. Tahun 1962 pindah ke Jakarta, menjadi akifis IPPI (Ikatan
Pemuda Pelajar Indonesia), juga wartawan Bintang Timur. Menulis sajak dan
cerpen di Lentera Bintang Timur dan HR Minggu dengan nama
“Mawie”. Akhir Desember 1964, tugas belajar ke Sekolah Tinggi Olahraga (STO)
Peking. Aktif ambil bagian dalam aksi demo di lapangan Tien An Men menentang
Amerika mengebom Vietnam. Tahun 1970-an menjalani hidup dan menjadi bagian dari
kaum tani miskin di Tiongkok. Akhir 1989 meninggalkan Tiongkok bersama istri
dan 2 anak yang masih kecil-kecil dan menetap di Negeri Belanda. Dalam menulis
sajak, juga pernah memakai nama “Al Maori”, “Maori” dan “Ambo Laut”. Kumpulan
sajaknya: Di Balik Tembok Berduri dan Seratus Puisi Bagimu Negeri
yang diterbitkan oleh Indonesia Media, Amsterdam. Juga menulis otobiografi
kumpulan kisah-kisah masa kecil Anak Minang Itu Bercerita.Bukunya yang
lain: Nyanyian Persahabatan dan Sebuah Surat Musim Bunga, Janji
Kepada yang Mati dan Berontak. (Nah kira-kira demikian ringkasan Biodata
penulis yang ada di halaman 113-117).
Catatan Lain
Heri Latief
menulis pengantar sepanjang 5 paragraf saja. Ia menulis bahwa awal
perjumpaannya dengan penyair ini tahun 2003 dalam sebuah acara mengenang Wiji
Thukul di Amsterdam. Katanya: “Puisi Mawie bergaya ‘pantun modern’ dalam irama
bunyi yang sangat kental aksen minangnya. Mawie memang sangat bangga dengan
keminangannya.” Halaman belakang buku ada testimoni dari dua nama, yaitu Heri
Latief dan Tomy DG. Ada 3 foto penyair sedang baca puisi dan satu foto selagi
bersama Amarzan dan Asahan di empat halaman terakhir buku. Kertasnya licin. Selintas
ingatan saya tentang penyair ini adalah apa yang pernah ditulis oleh Taufiq
Ismail dan DS Moeljanto dalam buku Prahara Budaya (1995). Adanya buku
puisi “Cerita untuk Nancy” tentu memperkaya pemahaman kita akan sosok penyair
eksil ini. Sekian.
menulis pengantar sepanjang 5 paragraf saja. Ia menulis bahwa awal
perjumpaannya dengan penyair ini tahun 2003 dalam sebuah acara mengenang Wiji
Thukul di Amsterdam. Katanya: “Puisi Mawie bergaya ‘pantun modern’ dalam irama
bunyi yang sangat kental aksen minangnya. Mawie memang sangat bangga dengan
keminangannya.” Halaman belakang buku ada testimoni dari dua nama, yaitu Heri
Latief dan Tomy DG. Ada 3 foto penyair sedang baca puisi dan satu foto selagi
bersama Amarzan dan Asahan di empat halaman terakhir buku. Kertasnya licin. Selintas
ingatan saya tentang penyair ini adalah apa yang pernah ditulis oleh Taufiq
Ismail dan DS Moeljanto dalam buku Prahara Budaya (1995). Adanya buku
puisi “Cerita untuk Nancy” tentu memperkaya pemahaman kita akan sosok penyair
eksil ini. Sekian.
Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.