|
Booth IAI regional Kalimantan di arch:id 2024 berkolaborasi dengan warung kopi Asiang Pontianak. |
Peran ruang publik semakin dibutuhkan di tengah derasnya arus informasi digital. Kesalahpahaman dan hujatan di media publik yang memecah belah antar komunitas sosial masyarakat dapat dicegah salah satunya melalui ruang publik keseharian. Ungakapan ‘kopi darat’ adalah upaya bertatap muka untuk saling mengenal, bertukar pikiran dan mengurai benang-benang kusut perbedaan di dalam masyarakat.
Mantan gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang bukan kebetulan adalah arsitek dan ahli rancang kota sering mengatakan bahwa kota yang baik adalah kota yang membuat warganya rela untuk berada di ruang luar ketimbang mager di dalam rumah. Artinya kota yang baik mampu memberikan pilihan tempat kepada warganya untuk bersosialisasi, mengespresikan diri, atau hanya sekadar mengusir penat. Ruang-ruang untuk bertatap muka ini tidak selalu mampu diakomodasi oleh ruang luar perkotaan yang kondisi fisiknya masih banyak yang perlu dibenahi. Disamping masih perlunya membangun kesadaran masyarakat dalam menggunakan ruang publik tersebut.
Di Kalbar, khususnya Pontianak ada lebih kurang 800 warung kopi yang tersebar di seluruh penjuru kota. Mengawali keberadaannya di sekitar pasar tradisional dan pelabuhan, seiring perkembangan kota warung kopi tersebar hingga ke lingkungan permukiman. Dampaknya, tidak sedikit rumah lama yang ditinggalkan penghuninya disulap menjadi kedai kopi dengan konsep yang mengikuti tren dan gaya hidup. Pada level tertentu warung kopi dapat menjadi sebuah usulan yang berperan sebagai katalisator kegiatan. Sebuah infill program yang mengaktifasi kembali kehidupan sosial masyarakat urban. Meremajakan ruang-ruang kota yang hampir mati atau sepi menjadi ruang kota yang secara spontan hidup kembali.
Otentik
Ungkapan ‘ngopi’ mengalami perkembangan makna, yang artinya bukan hanya aktifitas minum kopi. Ngopi adalah cara untuk melakukan pertemuan, bertatap muka, berjumpa fisik, menanyakan kabar, bertukar informasi, bertukar barang, melepas kangen, atau menyendiri tanpa kehilangan hubungan di tengah suara kerumunan. Budaya tutur masyarakat kita dan iklim tropis lembab kiranya adalah faktor eksternal di luar dorongan ekonomi yang memicu budaya minum kopi di warung kopi. Uniknya Kalbar bukan penghasil komoditas kopi terbanyak. Namun jumlah warung kopi dan budaya ngopinya mengisi sisi kehidupan masyarakatnya. Budaya ngopi orang pontianak lazimnya nongkrong atau berkumpul di warung kopi dan jarang yang bungkus bawa pulang (take away). Wajar jika ngopi separuh gelas saja (kopi pancung) bisa ngobrol separuh hari. Ngopi, ngobrol, nongkrong bisa menghabiskan waktu berjam-jam.
“ngopi setengah gelas, ngobrol setengah hari”
Warung kopi adalah tempat tradisional yang menyuguhkan ciri sebuah ruang pertemuan yang inklusif. Orang yang datang cukup beragam dari berbagai profesi, etnis, dan generasi yang berbeda. Saat ini sudah lumrah warung kopi menyiapkan ruang kerja bagi berbagai profesi seperti desainer, arsitek maupun pegiat seni. Masyarakat dengan keragamannya ini memiliki keinginan untuk berkumpul di satu tempat dan diikat oleh satu kebiasaan ngopi atau dalam bahasa lokal Pontianak, ngupi. Percaya atau tidak istilah co-working space atau collaborative space sudah mendarah daging dengan sendirinya tanpa menjadi embel-embel di depan namanya. Tidak sedikit tempat kongkow brand nasional yang interiornya lebih fancy dengan konsep co-, play dan segala macamnya pada akhirnya menghilang. Sementara itu ‘brand’ lokal dan tradisi warung ngopi yang dimulai sejak abad 19 tetap menjadi pilihan unik yang bisa diperkenalkan ke orang dari luar daerah.
|
Pak Apep (tas kuning) duduk ngopi bersama kolega. |
Ada pendapat yang mengatakan bahwa semakin dekat dengan inti pasar, jajanan yang dijual memiliki cita rasa yang makin khas. Jajanan pasar seperti kue-kue tradisional, dan makanan pagi seperti cane, sate, bubur yang dibeli di pasar memiliki rasa yang otentik ketimbang dibeli di mall atau pusat belanja modern. Begitu pula kopi yang dibeli di warung kopi sekitar pasar, rasa otentik itu yang akan membuat orang tetap kembali. Bahkan tidak untuk rasanya saja yang otentik tapi juga suasana yang disajikan. Berada di tengah suasana yang penuh dengan orang dan meja-meja, seseorang dapat merasakan dia bagian dari masyarakat yang lebih luas.
Seiring perkembangan jaman dan pengaruh gaya hidup dari luar banyak warung kopi dan coffeshop yang bermunculan dengan teknik pembuatan yang modern dan alat-alat yang mahal. Namun demikian warung-warung kopi tradisional dengan peralatan yang sederhana lantas tidak menjadi kuno, malah justru menjadikannya semakin antik. Semakin dirindukan oleh orang-orang lokal yang sudah lama pergi dan dicari oleh orang-orang yang datang dari luar. Selain itu, di tengah perkembangan internet yang melekat sebagai cara hidup masyarakat modern, masih ada beberapa warung kopi yang tetap mempertahankan ke-otentikannya dengan tidak menyediakan fasilitas WiFi kepada pelanggannya. Kebersahajaan Warkop seperti ini justru mempertahankan esensi dari aktifitas ngopi itu sendiri, yakni interaksi sosial yang kondusif di antara pengunjung.
|
Koridor booth yang mengarah ke pintu masuk booth tribute untuk Eko prawoto dan Josef Prijotomo |
Ke depan mungkinkah ruang publik dalam wujud representasi warung kopi akan terus bertahan? Beradaptasi dan mengisi setiap sudut kota dengan masyarakat yang terus berkembang. Bukankah hilangnya ruang publik sama artinya dengan hilangnya identitas sekaligus memori kolektif yang melintas jaman. Jika ruang publik yang berhasil adalah ruang yang membuat warganya memiliki keterikatan emosi, budaya dan sejarah yang mengakar, maka warung kopi akan selalu hadir menjadi tempat pertemuan inklusif yang mengikat warga kota dalam satu cita rasa aroma kopi.