Oleh: Nafi’ah al-Ma’rab
Jadi pengarang novel bukan impian saya. Sejak awal menulis saya justru menulis banyak sekali manuskrip buku nonfiksi. Hampir sepuluh manuskrip buku nonfiksi di laptop saya, tetapi satupun tak ada yang diterima penerbit mayor kala itu, sedrama itu kondisi mengarang saya?
Haha, hidup ini kalau mau dibuat drama ya semuanya jadi drama. Tapi kalau kita coba move on ya bakal nemu kehidupan yang sesungguhnya. Alkisah di tahun 2010 saya pun memberanikan diri menulis sebuah draft novel untuk sebuah lomba.
Sebuah novel tema receh (cinta ala-ala KCB) saya tulis selama satu bulan karena mengejar waktu deadline saat itu yang hanya meminta 100 halaman naskah novel.
Saat menulis juga sedikit drama. Saya orang yang melankolis terhadap sesuatu. Menceritakan tokoh saya sendiri sampai nangis-nangis, haha.
Tapi itu jadi pengalaman pertama saya, menangis di malam hari karena ikut hanyut dalam kisah tokoh si Laranjani di Novel Jodohku dalam Proposal. Kisah cintanya yang tak bertemu pada dengan sosok yang ia cintai, kan receh banget ya? Hehe.
Nah, itu awal. Lalu bagaimana nasih novel pertama saya? Saya akan cerita jatuh bangunnya saya jadi pengarang novel. Bukan yang indah-indah berapa yang terbit dan dapat royalti, nggak. Saya ingin katakan bagaimana kita berjuang menjadi pengarang yang sesungguhnya. Itu modal kita untuk berkualitas.
Perjalanan Naskah yang Bikin Baper
Penyakit penulis pemula itu pengen cepet-cepet memungut hasil. Jadi pas ikut lomba itu udah pasti impiannya jadi pemenang.
Memangnya semudah itu? No, hasilnya kalah dengan sangat menyakitkan. Baper yang pertama dimulai. Untung ada hiburan dengan kabar info penerbit yang dilayangkan.
Saat itu saya benar-benar kepedean amat.
Saat itu saya benar-benar kepedean amat.
Langsung tembak penerbit Pro U, benar-benar nggak nyadar diri dengan kualitas yang dimiliki. Oh ya, saya berazam sejak awal, saya menulis novel nggak akan pernah saya terbitkan di penerbit Indie.
Cukup naskah-naskah yang lain. Bikin novel ini berat, saya mau naskah saya ini dihargai dengan layak di sebuat penerbit terbaik.
Nah, lanjut ke Pro U, ternyata lagi-lagi dapat surat cinta menyakitkan.
Nah, lanjut ke Pro U, ternyata lagi-lagi dapat surat cinta menyakitkan.
Penolakan itu memang pahit, Gaes, sungguh kenyataan yang pahit dan bikin air mata berlinang. Tapi saya hargai bahwa Pro U itu sangat menjaga perasaan orang lain (kamu tolong tiru Pro U ya hehe), walaupun dia nggak suka sama naskah kita dia sangat menghargai.
Bahasanya gini, ‘maaf penerbit kami tidak menerima novel tema cinta (gubrak dah gue, siapa suruh nulis tema receh), dan kalaupun kami terima itu naskahnya dikit amat 100 hal, bisa direvisi lagi dan kirimkan ke kami siapa tahu kami bisa terima.’
Bahagia juga kan kalau jawaban begitu? Jadi saya bilang kalau kamu mau nolak sesuatu pakailah cara Pro U yang indah itu hehe.
Sebenarnya itu hanya hiburan, toh saat saya revisi dan tulis ulang nyatanya tetap ditolak haha. Lalu pencarian jodoh pun berlanjut.
Sebenarnya itu hanya hiburan, toh saat saya revisi dan tulis ulang nyatanya tetap ditolak haha. Lalu pencarian jodoh pun berlanjut.
Saya ingat deretan penerbit yang menolak naskah saya, ada Grafindo Bandung, Gema Insani Pers di Depok, Stiletto Mizan, Indiva Media Kreasi dan lainnya. Ah, pokoknya saya selalu catat yang menolak saya.
Jodoh yang Ternyata Cuma Fiksi
Di tengah penolakan-penolakan itu (kurang lebih 5 tahun) saya sudah putus asa. Dalam hati, udah deh kayaknya emang nggak bakalan bisa jadi pengarang novel. Nikmati aja jadi penulis cerpen, artikel deelel.
Pada saat itu tiba-tiba seseorang mengirim pesan di facebook saya, kira-kira begini bunyinya:
Pada saat itu tiba-tiba seseorang mengirim pesan di facebook saya, kira-kira begini bunyinya:
“Mbak punya naskah novel yang siap terbitkah? Saya dari penerbit X lininya penerbit besar Z yang sedang cari naskah novel.”
Kamu tahu betapa saya ingin loncat girang mendapat pesan itu. Langsung tanpa mikir saya pun jawab:
“Oh ya ada dong Mbak, terima kasih banget nih saya siap insya Allah.”
“Tapi Mbak, kita cuma nawarin royalti 5% lho.”
“Ah, nggak apa-apa yang penting terbit aja dulu.” Jawab saya santuy banget.
Dalam hati mikir pedihnya hati selama 5 tahun nyesek nggak terbit-terbit bukunya di mayor. Yang penting sekarang sakit hati itu bakal hilang.
Perbincangan saya di facebook itu pun benar-benar indah.
Perbincangan saya di facebook itu pun benar-benar indah.
Sampai si perempuan tadi mengirimi saya draft Surat Perjanjian Penerbitan (SPP) dan naskah saya pun dikirim untuk diedit katanya.
Revisi pertama dikirimkan, saya pun coba benahi dan kirim kembali. Setelah dikirim dia kirim lagi revisi yang kedua. Saya pun benahi lagi.
Revisi pertama dikirimkan, saya pun coba benahi dan kirim kembali. Setelah dikirim dia kirim lagi revisi yang kedua. Saya pun benahi lagi.
Eh, yang ketiga masih belagu ngirim revisi lagi. Rada eneg saya tetap revisi.
Saya menunggu revisian ketiga itu dengan perasaan yang mulai tak percaya. Sama kayak kamu nggak percaya lagi sama orang. Saya pun memberanikan diri nanya.
Saya menunggu revisian ketiga itu dengan perasaan yang mulai tak percaya. Sama kayak kamu nggak percaya lagi sama orang. Saya pun memberanikan diri nanya.
“Mbak, gimana naskah saya?”
“Lho, naskah yang mana, bukannya Mbak ini ngeyel nggak mau revisi?”
“Ngeyel gimana sih? Kan udah saya revisi semua.”
“Saya nggak suka judulnya itu, bisa ganti nggak? Termasuk 40% bagian endingnya, bisa dirubah nggak?”
Nah, sampai di sini sifat manusiawi saya muncul.
‘Lo sekate-kate amat lo ama gue. Beneran penerbit nggak sih lo? Gue emang penulis baru, tapi gue punya hak buat naskah gue. Mau revisi nggak kira-kira, dia pikir dia pengarang novel apa. Plis, lu cuma dosen sosial yang nggak paham kemana arah naskah gue. Sorry gue cabut naskah gue. Gue yakin masih ada penerbit baik di luar sana yang lebih menghargai gue! Cukup sikap lu yang menyia-nyiakan naskah keren gue. Lu akan menyesal kemudian hari.
Perasaan sedih, kecewa, sakit hati kuat banget saat itu. Naskah saya cabut dan saya diamkan beberapa waktu di laptop. Sungguh luka penolakan itu sangat tajam. Bikin saya nangis, asli dah.
Tapi pada saat itu saya berdoa, dalam kamus hidup saya tidak ada hal yang tidak akan saya perjuangkan secara tuntas. Orang-orang yang hari ini menolak saya akan menyesal di kemudian hari. Eaa..ini sedikit drama juga.
Lalu pada saat itu teman saya Mbak Naqiyyah Syam pun berbagai informasi penerbit Tiga Serangkai melalui Lini Ananda. Saya kirimkan naskah sesuai dengan syarat-syaratnya. Mungkin doa orang sedih dan teraniaya itu benar-benar makbul.
Hanya sekitar 2 atau 3 bulan saya dapat email balasan. Bapak Tri Sakatmo editor pertama saya yang sangat baik dengan gaya bahasa Solo yang khas menawarkan saya royalti terbit di Tiga Serangkai.
Alangkah bahagianya saya waktu itu. Naskah yang saya kirim tanpa diedit sedikit pun oleh saya, semua diolah penerbit tanpa merubah konten sedikit pun dari penulis.
Alangkah bahagianya saya waktu itu. Naskah yang saya kirim tanpa diedit sedikit pun oleh saya, semua diolah penerbit tanpa merubah konten sedikit pun dari penulis.
Ya Allah, Engkau memang Maha Baik. Inilah awal saya ketagihan nulis novel. Ya walaupun setelah ini bukan berarti semua naskah saya diterima, tetap ada yang ditolak. Tetapi setidaknya ada banyak hal yang saya pelajari dari kisah ini.
Mengarang novel itu penuh drama, nggak cukup drama di setiap kisah dan alurnya tetapi juga bagaimana proses kamu menerbitkan novel itu.
Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.