Sekitar tahun 2009-2010, saya lupa kapan pastinya namun yang saya ingat persis waktu itu dari bilik warnet, saya yang berniat mencari music video dari girl group Kpop justru tertarik dengan sebuah video berita yang muncul di beranda.
“Detik-Detik Ibu Menyiksa Bayinya yang Berumur 8 Bulan”
Saya klik dan nonton videonya. Terlihat jelas seorang wanita merekam dirinya sendiri, lalu meletakkan kameranya di salah satu sudut. Kemudian dia tarik anak bayinya, dia dudukkan di lantai, dan dia siram dengan air berkali-kali.
Anaknya menangis keras, jeritannya menyayat hati siapapun yang mendengar, kecuali ibunya sendiri. Meski tangisan anaknya terdengar sangat mengiba, ibunya tetap menyiram air sambil mengucap sumpah serapah dan menyebut nama seorang laki-laki.
Hati saya langsung berkecamuk melihat video itu. Lalu saya scroll ke kolom komentar, sudah ribuan komentar yang ada mengecam kelakukan ibu tersebut.
Saya pun melakukan hal yang sama. Kurang lebih saya mengetik komentar bahwa kalau nggak siap jadi ibu, jangan punya anak. Jangan mau enak-enaknya aja, nggak mau pakai pengaman, tapi giliran punya anak disiksa.
Saya berharap komentar itu sampai ke ibu tersebut entah gimana caranya. Semoga dia sadar akan kesalahannya.
Kemudian saya cari lagi informasi mengenai berita tersebut. Syukurlah ternyata si ibu sudah ditangkap Polisi, anaknya diambil alih pengasuhan oleh Dinas Sosial setempat.
Masih dari pemberitaan, ternyata wanita itu depresi ditinggal oleh pacarnya yang beberapa tahun lalu mereka bertemu di Bali, jatuh cinta, tidur bersama, sampai wanita itu hamil. Tapi begitu tahu dia hamil, pacarnya yang bule’ malah pulang ke negrinya dan nggak tanggung jawab sama sekali.
Meski begitu, saya masih tetap menyalahkan sang ibu. Karena menurut saya masalah dia dengan pacarnya tetap nggak menjadi pembenaran untuk menyiksa anaknya. Apalagi kepada anak bayi yang nggak mungkin bisa kabur atau melawan.
Tahun-tahun berlalu. Berita kasus serupa masih ada.
Waktu berlalu, kini saya sudah jadi seorang ibu.
Sekarang saya menyesali sikap saya yang menghakimi kejadian ibu tersebut. Apa yang dulu saya ketik di kolom komentar video itu sekarang terasa sangat egois.
Ternyata jadi ibu itu berat tanggung jawabnya, banyak hal yang harus dikorbankan, termasuk kehilangan waktu untuk diri sendiri.
Menjadi ibu yang bagian dari pernikahan resmi saja pasti ada masalahnya, apa lagi dari hubungan yang nggak resmi.
Rumah tangga yang dibangun dengan cinta dan restu kedua keluarga saja pasti ada konfliknya, apalagi yang dimulai tanpa restu menyeluruh.
Belum lagi konflik finansial. Meski uang bukan jaminan bahagia, tapi nggak ada uang bikin menderita.
Kesehatan mental? Apa itu? Mikirin kehidupan bulan depan aja sudah pusing. Mikirin omongan mertua, ipar, tetangga, saudara sendiri, sudah cukup menyayat hati.
Ditambah pula harus menghadapi sifat pasangan yang berubah dari sebelum menikah. Nggak sesuai ekspektasi, menghancurkan mimpi.
Kalau sebelum nikah, bilang “putus” sih gampang. Kalau sudah menikah, apa lagi sudah punya anak, lebih dari satu, nggak punya pegangan materi pula, mau bagaimana melanjutkan hidup?
Terasa simalakama. Bertahan menyakitkan, berpisah menakutkan.
Apa yang saya tulis di atas, mungkin nggak semua dari pengalaman saya. Tapi pada kenyataannya banyak yang seperti itu. Minimal dari apa yang saya lihat dan dengar sendiri.
Mungkin kehidupan rumah tangga saya dimulai dengan baik-baik, nggak ada drama nggak direstui atau nggak disukai keluarga suami dan sebaliknya.
Cuma bukan berarti tanpa masalah. Kalau orang lihatnya enak-enak saja, karena memang saya memilih untuk menyimpannya hanya untuk orang-orang terdekat saya saja.
Meski menulis melegakan, tapi kalau masalahnya terlalu berat, menuliskannya pun saya nggak sanggup.
Saya yang pernah rasanya ingin hidup selamanya, karena merasakan dunia ini terlalu menyenangkan, pernah pula sampai pada fase rasanya mau mati saja karena beban dunia ini ternyata terlalu berat.
Beruntung saya masih memiliki orang-orang terdekat yang terang-terangan merangkul saya, yang menjadi alasan saya bahwa meski hidup ini nggak mudah, saya harus tetap bertahan.
Kembali pada cerita kekerasan seorang ibu dan cara saya menyikapinya, kini pengalaman mengubah pandangan saya.
Ketika ada berita ibu yang menggorok anaknya sendiri, ada ibu yang bunuh diri bersama anak-anaknya, hati saya miris dan langsung memikirkan kesehatan mental sang ibu.
Seberapa berat masalah yang ia lalui? Sudah berapa lama? Berapa banyak air mata yang dia teteskan? Seberapa besar rintihan dan raungannya yang nggak didengar oleh orang-orang sekitarnya?
Ya. Hal-hal “gila” yang dilakukan para ibu-ibu yang menyiksa anaknya atau nekat bunuh diri bersama anaknya adalah buah dari perjalanan panjang siksaan mental yang tak berkesudahan.
Sumber siksaan mental itu darimana? Biasanya berasal dari sekitarnya. Bisa dari pasangan, keluarga sendiri atau keluarga pasangan, dari himpitan ekonomi, dari berbagai masalah yang terasa nggak ada ujungnya.
Saya pernah baca, dari banyaknya orang yang mencoba bunuh diri bukan karena mereka benar-benar mau mengakhiri hidupnya, tapi hanya ingin mengakhiri rasa sakit dari masalah yang dihadapi.
Sayangnya ketika mental sudah sakit, berpikir jernih terasa sulit. Rasanya nggak ada masa depan. Jadi percuma jika hidup dilanjutkan.
Makanya menjaga kesehatan mental dan kewarasan itu penting banget. Bagi siapapun, nggak hanya bagi seorang ibu, seorang ayah, seorang suami, seorang anak, kita harus punya cara untuk menjaga kesehatan mental kita.
Kalau mental terasa sakit, segera cari obatnya. Ibaratnya sakit fisik kalau dibiarkan terus tanpa diobati bisa makin parah. Ujungnya kalau sudah kena komplikasi sulit diobati.
Begitu juga dengan kesehatan mental. Jika sudah terasa ada yang salah seperti hati yang terus sedih, atau amarah yang terus meledak, nggak ada semangat hidup, atau sering terpikir cara-cara untuk mati, please please please segera cari pertolongan.
“Ah, aku nggak apa-apa kok. Biasalah hidup. Nanti juga baikan sendiri”
Kebanyakan dari kita akan menganggap kesehatan mental nggak perlu dikhawatirkan. Nanti juga baik sendiri.
Sampai akhirnya seseorang telah mati, atau orang-orang terdekat jadi sasaran untuk disakiti.
Saya pernah dapat pesan dari orang yang saya kenal baik. Pesannya berisi keinginan ingin mati.
Sedih banget rasanya, dia cerdas, punya kehidupan yang baik, tapi masalah hidupnya terlalu berat untuk dia tanggung.
Saya juga nggak bisa berbuat banyak. Tapi saya usahakan untuk mendengarkan ceritanya. Saya usahakan untuk membantu apa yang bisa dibantu. Saya do’akan dalam diam, berharap Allah membantu menyelesaikan masalahnya.
Sampai akhirnya dia punya keinginan bangkit untuk menyelesaikan masalahnya, ibaratnya sakit fisik yang perlu dioperasi, ini saatnya untuk menyelesaikan sakit mentalnya.
Saya bersyukur, sangat bersyukur. Dia mau kumpulkan keberanian untuk mengatasi rasa sakit yang selama ini dia rasakan. Saya bersyukur dia mau bertahan. Karena saya tahu dia ada diantara pilihan yang sangat sulit.
Sekarang ketika saya dicurhatin teman-teman masalah yang cukup berat, saya berusaha untuk mendengarkan. Meski cerita itu berulang-ulang. Karena meski nggak bisa bantu banyak, semoga dengan bercerita bebannya sedikit berkurang.
Semoga dia masih tahu ada kok orang yang mau mendengarkan cerita hidupnya yang sedihnya melebihi sinetron, yang skenarionya nggak pernah dia inginkan akan menjadi seperti itu.
Saya sampaikan juga untuk tetap berusaha cari kegiatan yang memberikannya sedikit rasa baikan. Membuat diri menjadi “sibuk”, atau apapun lah yang membuatnya masih punya semangat untuk hidup.
Bagi seorang istri dan ibu, penting untuk nggak melupakan diri sendiri. Bukan karena nggak mikirin keluarga, tapi kebahagiaan diri akan berpengaruh besar pada sikap kita terhadap keluarga.
Jangan lupa melakukan hal-hal yang ibu sukai diantara banyak kewajiban yang harus seorang istri dan ibu kerjakan.
Jangan merasa bersalah menyisihkan uang untuk beli barang yang kita mau, bukan hanya terus-terusan memenuhi kepentingan keluarga melulu.
Jangan pernah berhenti belajar banyak hal, karena mendapatkan ilmu dan mengenyam pendidikan bukan hanya hak anak-anak kita saja.
Dunia kita yang penuh cita-cita harusnya nggak berhenti ketika menikah dan punya anak.
Memang benar, support system akan sangat berpengaruh. Yuk perbaiki terus komunikasi dengan pasangan.
Tapi kalau pasangannya benar-benar nggak bisa support gimana? Cari pertolongan dari anggota keluarga lainnya, atau orang terdekat yang menurut kita bisa bijak memahami masalah kita.
Bahkan, bisa jadi perpisahan adalah solusi. Eits, saya nggak nyuruh bagi yang ada masalah langsung cerai aja. Bukan begitu. Tapi kalau hubungan yang dijalankan justru hanya terasa membunuh diri sendiri secara perlahan-lahan, cobalah pikirkan jalan keluar terbaik.
Jika hidup bersama membuat mental jadi tertekan, lalu diri sendiri dan anak yang jadi korban, bukankah perpisahan justru bisa menyelamatkan masa depan?
Tapi balik-balik lagi bergantung kondisi masalah rumah tangga masing-masing. Pastikan untuk punya tempat cerita yang tepat, agar bisa ngasih pertimbangan dan saran yang bijak pula.
Makanya saya berusaha untuk nggak lagi-lagi menghakimi dari setiap masalah yang saya lihat atau dengar. Karena kita nggak tahu seberapa batas limit kekuatan seseorang menanggung beban dan masalahnya masing-masing.
Ya, hidup memang nggak mudah. Semoga kita semua selalu menemukan cara untuk bertahan dan mendapatkan kebahagiaan.
Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.