koleksi pribadi

Mustofa W. Hasyim: POHON TAK LAGI BERTUTUR


Data buku kumpulan puisi
Judul : Pohon Tak Lagi Bertutur
Penulis : Mustofa W. Hasyim
Cetakan : I, 2013
Penerbit : Madah, Yogyakarta.
Tebal : xiv + 70 halaman (53 puisi)
ISBN : 978-979-19797-7-1
Gambar sampul : Toni Malakian
Desain sampul : Omah Djanur
Tata letak : Gapura Omah Desain
Penyelia aksara : Murnita D. Sukandar
Sepilihan puisi Mustofa W. Hasyim dalam Pohon Tak Lagi Bertutur
DI KERAMAIAN GEREBEG SEKATEN
Langit teduh, ujung-ujung tombak prajurit bergerak naik turun
seperti gelombang kepedihan
tambur bertutur tentang leluhur terkubur di bukit Imogiri
terompet menyobek waktu, kegaduhan segera dimulai
Para pemikul doa menyongsong pemikul gunungan
seharusnya upacara diutuhkan, tapi selalu saja
para penagih berkah yang semalam tidur di halaman masjid
gelisah dan cemas tidak kebagian jatah nasib
“Kalau tidak merebut akan hampa tanganku.”
Mereka bergerak menciptakan pusaran
keheningan mentah kembali, “Inilah alam raya
silakan ruhmu sembunyi.”
Banyak yang meloncat bagai monyet
menyerbu pohon sarang bebuahan
yang lain, minta dilempari sisa
Pasir di pelataran masjid, teraduk-aduk pertempuran
reruntuhan gunungan dipungut satu demi satu
senyum dan sedikit tawa membilas jiwa
letih karena menunggu
lalu, desa-desa tak bakalan sunyi
“Kami segera pulang kembali.”
2009
PEMBAKARAN BATU BATA, SEUSAI TARAWIH
Nyala jerami seperti jemari yang menyala
diam-diam, desa masih bertenaga
Bau asap tak terkalahkan oleh pertanyaan
orang-orang kota, hanya menawarkan kata-kata
Betapa teduh hidup, menyerahkan diri
pada irama gaib penuh rahasia langit
“Batu bata ini akan selesai bertapa. Lalu apa?
Dibariskan dan disembunyikan di balik warna.”
2006

POHON TAK LAGI BERTUTUR
Pohon-pohon tak lagi bertutur tentang keluhuran
Akarnya dijadikan tempat parkir
Gerobak letih dan lesu
Milik para pengembara
Warung riuh, pengamen mengajak bermimpi
Lewat lagu kenangan, apa saja
Ada pohon yang diberi lampu
Tempat menyembunyikan segelas teh hangat
Milik tukang parkir atau pencatat waktu
Bunga yang selalu tumbuh, tak terlihat
Buah-buah tua berjatuhan menjadi sampah
Tak ada lagi yang membaca
Burung sekali-sekali hinggap
Tak ada yang melihat dan memperbincangkan
Memang ada suasana segar dan teduh
Bukan itu yang penting
Nasib telah dibentuk oleh isi dompet masing-masing
Lapar, dahaga, tanpa nama
Kenyang, atau mulia karena pesta
hasil menjelajahi kemungkinan
dan menjajah kesempatan
“Orang lain tidak penting
hanya penting sekali-sekali,
betul, kan? Ha ha.”
Pohon-pohon?
Kadang dipuja dalam taman dan pameran
“Tapi kau sesungguhnya
kan hanya ingin
memuja dirimu kan?
Buktinya, ukurannya harga.”
Rumput-rumput, gilas saja oleh roda bis luar kota
ciptakan debu sebagai gantinya
“Mereka mendatangkan uang.”
Tentu saja
dan pohon adalah pengganggu
apalagi kalau cerewet, mau bertutur tentang keluhuran
“Keluhuran apa?
Keluhuran tidak enak dimakan.”
Begitulah, hikayat bumi ini
makin dipenuhi kisah
dari makan ke makan
lupa makam dan tanaman.
2006
SIAPA YANG TERUS MENYAPA
Siapa yang terus menyapa
tidurku
“Sebagai manusia
kita tetap perlu bertatapan mata.”
Itulah yang aku tak sanggup
menggenggam kembali api
“Aku bukan
Musa!” teriakku
“Tapi kau murid
Nabi Khidir!” teriakmu
Entah siapa yang tersesat
di ruang tanpa rencana ini?
Sebaiknya makan pagi
diteruskan diam-diam
Tanpa alamat di masa depan
“Betul, kita hanya membutuhkan
                                    belantara.”
Makasar, 2003
KETIKA ORANG KAUMAN
ketika orang Kauman
jadi manusia
malam hari, lagu dari panggung dunia
hanyutkan doa
barangkali yang dibutuhkan
hanya tawa sederhana
jangan lupa, lorong panjang ini
ada ujungnya: persimpangan jalan.
Kauman, 2004
DI ANTARA DERETAN RUMAH DAN SAWAH
Debu
masih pagi
garis cinta
baru dimulai
siapa
yang akan sampai?
pohon
memanggil angin
lagu
mengalir dari gedung sekolah
lapangan
dihajar cahaya matahari
rumput-rumput sepi
menyerah pada usia
2007
TEPUS GUNUNGKIDUL
Hutan menutup bukit batu, mata tak lagi luka
saat menatap siang, menyeberang ke cakrawala
air mengalir sesekali dalam sebulan
dari gua Bribing, dalam dan gelap
di kepasrahan, menimbun hari
panen tak mungkin ditunda.
Selalu ada yang tersembunyi
di balik percakapan panjang
setelah langkah tak letih memburu dedaunan
makanan ternak, mengunyah harapan anak cucu
“dari mana datangnya roda?”
“dari mana datangnya gelombang dan antena?”
jalan desa mengeras kemudian terkelupas.
Malam, percaya pada dongeng
telaga mengering sesaat setelah diperbaiki
“Kemungkinan kita salah membaca,” kata Pak Dukuh
angin bukan lagi huruf sempurna
juga tiap butir tanah teracuni pupuk pabrik
bayang-bayang bergerak di lembah
sama-sama tercerabutnya dengan kata dan bisikan.
“Sebenarnya, kita ini apa?
Siapa? Dan mau kemana?”
Perjalanan
terasa masih di tempat bermula
saat teh panas habis di gelas
dan serbuk gula yang tersisa
mentertawakan usia peminumnya.
2009
PEDALAMAN KOTAGEDE
Kemana rumput pergi
tak lagi menemani bambu
tersisa di kuburan purba:
capung memutari celah langit
batu, diolah dari waktu
makin panjang barisnya
membentuk lorong dan dinding jiwa
berlagu, teriak, menjeritlah kalau mampu
jejak kata di butir udara
mengalir atau terkunci di pojok senthong
retak oleh gempa
yang bersusulan sepanjang tahun
“ini zaman penuh kepedihan, anakku.”
“dulu juga demikian, ibu.”
“tetapi dulu masih ada doa.”
“sekarang semua meleleh jadi cerita.”
Jadilah apa yang seharusnya terjadi
patah garis petualangan anak
terjepit langkah di antara reruntuhan
sunyi.
2009
LAPAK DI PASAR NGASEM
Spanduk hangus menyambung
dua atap renta
kayu gelugu
bersilangan
hinggap beban
di atas tanah becek
“Ini seperti sebuah sisa dunia.”
“Ya, kekalahan dirayakan tiap hari.”
dengarkan gertak anjing
di luar sana, menelan keheningan ikan
burung-burung diterjang
harga
jengkerik, cacing,
telur ngangrang terpajang
butir-butir tanaman lembut
disuapkan pada hati
gelisah bumbu
meledakkan aroma
istana air di selatan
dibangun kembali tubuhnya
di bawah percakapan
langit tidak kelihatan lagi
“mengapa kalian ada di sini?”
“ya, mengapa harus tahu semua ini?”
mungkin sejarah telah buntu
ketika tukang parkir
meneguk jamu.
2007
PENDAPA
meja ditata, telapak dan serbet
terayun nada gamelan, perangkap mimpi
bau sayur purba merangsang tamu bule
menyerbu piring dan mangkuk
minuman, rempah akar, sayatan batang,
daun dan buah jambu
“segarnya surga.”
“lezatnya masa silam.”
“jangan menyantap
luka.”
“ya, jangan bicara
yang benar.”
“itu menakutkan
merusak suasana.”
“hiduplah seperti taman
diam-diam menata warna.”
“atau, hiduplah seperti angin
menjelajah segala warna, cuaca dan aroma.”
daun pisang
membuat sawah begitu dekat
tak ada tokek di dinding
mengirim teka-teki
tak ada cicak di antara lampu
menebak alpa
hanya burung prenjak
tak mau membisu.
2007
DENGAN CAHAYA PUISI
Dengan cahaya puisi
aku bertahan melewati malam
Gelap
dan mendebarkan
Suara-suara
menggoda di kejauhan
Impian
mengajak masuk ke pusaran
Cinta
yang tersisa bayangnya
Luka
dihancurkan kata
Kucoba mencari doa
di antara reruntuhan hati
Wajahmu jadi seputih puisi
cahaya
“Kembalilah
pada keharuman waktu.”
“Kembalilah
pada keabadian sunyi.”
2005
MAKAM PENEMBAHAN SENOPATI
Berlayar di antara batu putih batu merah batu hitam, pohon
beringin, kanthil gondhok, kenanga, sawo kecik, nagasari,
pasir rumput pakis dan endapan waktu. Gerbang luar,
dibuka, gerbang dalam sedikit menganga. Asap mengalir
harum, mawar tersaji. Tenteram. Bangsal bangsal sunyi.
Cungkup cungkup agung. Nama nama dimakamkan
membentuk jejak dalam, tak bisa dihapus. Burung gelatik
wingko, burung manyar, musang dan kelelawar, tokek purba.
Pohon puring dan bunga selasih. Dingin nisan membekukan kata.
Para peziarah menyerahkan mimpi pada udara, dijawab
arus angin dari dalam. Mereka menjajakan masalah remeh
rumah tangga dan kegamangan pribadi dalam meniti
jembatan peristiwa. Ada duka sudah diolah menjadi doa,
ada amarah dikemas dalam paket harapan dan ketakutan
yang disembunyikan dalam gerak mata. Langit tidak terbaca.
Daun-daun kering gugur. Dan pemandu, para abdi dalem
terus menikmati keheningan ruang.
Pagi hangat, siang menyengat, tak terasa perubahannya.
Pertanyaan memantul kembali. Tidak ada yang berani bersin
atau batuk. Semua seperti memasuki mesin penghalus jiwa.
Kegaduhan dan kegelisahan telah dibayar dengan senyuman.
Asal usul tidak lagi penting. Tempat kembali tidak menjadi
penjara. Di sini semua sudah tanpa baju, hanya kemaluan
yang terlindungi agar tidak mengganggu kepala. Semua
sudah menunduk. Menunggu suara-suara gaib yang belum
tentu mereka dengar.
Di tempat parkir di bawah kerimbunan daun pohon raksasa,
para sopir bercanda. Minum es teh dan mengunyah
gorengan sambil melirik isteri penjual warung yang lupa
merapikan daster. Mereka tidak memaksakan kehendak.
Di antara kerdipan mata, ada yang ingin menerjang celah
terbuka. Dan gemurun pun menuntun kamar rapuh di dalam
angan. Para sopir menggeleng. Ingat angsuran rumah belum
lunas. Mereka tersenyum, dengan suara lirih, gemetar,
ramai-ramai memesan mie instant rebus pakai cabai iris tujuh
buah. Mereka menunggu. Perut butuh kenangan.
2012
GEGULU, KULONPROGO
Belokan waktu
sungai memperpanjang dongeng
pohon-pohon mengibarkan cahaya
sejarah keluarga
ada juga gelisah
kenapa harus menyeberang ke kota tua
kalau tanah masih bisa diajak berbicara
dan musim bukan kabut malam
sisa perkawinan yang rapuh
dirajut kembali
demi langit
yang selalu dapat dibaca
orang-orang yang sakit
di bawah hujan gerimis
satu persatu menunggu
kelembutan
pidato di balai desa
suguhan sederhana
senyum keletihan
“untung kita masih saudara.”
pohon kelapa tidak lagi berbaris
menyapu wajah hari
utara dan selatan sama saja
bertemu jembatan sunyi
2009
DEGUNG PEPOHONAN
Pohon-pohon bergerak pelahan
melintasi batas angan
harapan: melahirkan zaman
meski angin merobek daun pisang
ia tetap menyiapkan buah matang,
tunasnya, yakin, tumbuh tak terhadang
cakrawala terbelah tiang lampu
ditemukan pengembara waktu subuh
ia mencatat, segala bisu terus melaju
tapi masih terdengar bisik bunga rumput
pesan-pesan berantai datang dari jauh
menerobos saung demi saung
“Siapa pun masih berhak di sini
masih berhak memiliki sunyi
walau tembok makam diretakkan janji.”
2007
KOTA KELAHIRAN
tak mengharap tak diharap
kota kelahiran
alangkah pedihnya
waktu
beberapa rumah kuberi salam
tak menjawab
ibarat telur terlempar
aku menetas sendiri
menyemai musim
di luar batas kota
2002
Tentang Mustofa W. Hasyim
Mustofa W. Hasyim lahir di Yogyakarta, 17 Nopember 1954. Menulis puisi sejak 1970-an. Puisinya tersebar di berbagai media dan antologi puisi bersama. Kumpulan puisinya: Reportase yang Menakutkan, Ki Ageng Miskin, Musim Hujan Datang di Hari Jum’at, dan Ketika Tuhan Melukis Hati Manusia.
Catatan Lain
Halaman belakang buku mengambil 3 bait puisi “Pohon Tak Lagi Bertutur”. Demikian juga halaman persembahan (halaman xiii): “Pohon-pohon tak lagi bertutur tentang keluhuran/Akarnya dijadikan tempat parkir/gerobak letih dan lesu/Milik para pengembara”. Penulis memberi pengantar sepanjang 3 paragraf, menghabiskan 1 halaman buku. Demikian.


Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top