buku puisi penyair perempuan

Oka Rusmini: PANDORA


Data Buku Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Pandora
Penulis: Oka Rusmini
Penerbit: PT Grasindo, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2008
Tebal: ix + 85 halaman (40 puisi)
Editor: A. Ariobimo Nusantara
Penata Isi: Suwarto
Ilustrasi sampul: Wolfgang
Widmoser (Gravitation)
Epilog: Jose Rizal Suriaji
ISBN: 978-979-025-280-6

Sepilihan puisi Oka Rusmini dalam Pandora
 
SPORA
 
Apa arti sebuah garis, Anakku?
Ketika kau menggenggam pensil,
aku melihat sebuah dunia perlahan
tersibak di kakimu. Matamu
yang bulat mengerjap. Menatapku
dengan ratusan belati
tanya.
 
Di luar, cuaca sering begitu
buruk. Hujan dan angin bertikaman
Asap beracun merobek nafas,
menguliti tubuh. Kecemasan
merendam seluruh wujudku.
 
Kau mulai menjelma jadi manusia.
Detak jantungmu mengeja
hidup. Tapi aku kian menjelma
jadi perempuan penakut. Makin
pandai menelan bongkahan biji
mata yang menatapku dengan
asing.
 
Dari jalanan, orang-orang
menebarkan bau anyir. Aku mual.
Sanak-kerabat mencangkuli masa
lalu. Mengerat otakku.
Bersekutu memasukkanku ke peti
mati. Mereka tanyakan kulit
Tuhanku!
 
Negeri apa ini, Anakku?
Orang-orang begitu pintar membangun
menara. Mengurai sejarah,
menguliti ilmu pengetahuan,
merapal mantra. Mereka berceloteh
tentang kebesaran, kejayaan
dan kemasyuran, sembari terus membakar
pulau tempat leluhur
mereka tenggelam hilang. Buih
kata-kata mereka melukai
sepotong kakiku.
 
Kini kau mulai jatuh-cinta pada
angka dan aksara. Kauputar
pensilmu, kadang kautusukkan di
kulit bukuku. Negeri apakah
yang kelak menyentuhmu? Siapakah yang
akan menemanimu
ketika aku telah tiada? Siapa
akan mengajakmu bicara? Berbincang
tentang warna kulit Tuhan, cara
menyentuh dan mengenalNya?
Tentang jalan bercecabang para
pencari cinta ilahi?
 
Anakku, kelak bila telah
kaukuasai angka dan aksara, belajarlah
mengenal cinta. Pahamilah dengan
seluruh pikiran dan detak aliran
darahmu. Pahami arti duka, luka
dan derita di luar tempurung
akumu. Rasakan keindahan cinta
pohon-pohon rindang yang
tiada pernah lelah melindungimu
dari cakar matahari. Cintai
dirimu, hidupmu, sesamamu. Juga
mulutmu, tingkahmu dan
pikiranmu.
 
Bangunlah, Anakku, matahari mulai
mengupas kuntum bunga
kecombrangku. Tidakkah kaulihat
daunnya mulai membelai kaca
jendela kamar tidur? Jerang
tubuhmu. Jelang harimu.
 
Dunia baru menunggumu.
 
2005
 
 
JEJAK
 
Di luar kulihat cuaca makin
berkabut. Jalan-jalan sepi. Tak
kutemukan keping wajahmu di
antara basah daun cemara. Aku
menunggumu di sebuah stasiun
kecil. Gemuruh suara kereta
api selalu membuat jantungku
berdebar. Membakar aliran
darahku.
 
Di sebuah stasiun kecil, kuyup
suaramu memanggilku. Apa
kau salah arah? Tak lagi
mengenali suaraku? Bau keringatmu masih
menempel di nafasku. Di mana kau
sekarang?
 
Di stasiun, langit kulihat
berubah warna. Orang-orang ber-
kerumun. Menutupi kereta yang
akan membawaku pergi. Tak
kutemukan kau di antara
lalu-lalang orang. Tapi aku masih
mendengar suaramu serak
memanggil-manggil namaku. Apa
warna kulitmu sekarang? Sudahkah
keriput? Juga rambutmu
yang dulu ikal, sudahkah memutih
dan bau anyir? Berapa
usiamu kini, Kekasih?
 
Di sebuah stasiun tua, aku resah
menunggumu. Mengenang
surat-surat cinta yang kaukirim.
Juga beragam bunga yang pernah
kautabur di tanganku. Apakah kita
memerlukan upacara untuk
cinta yang kita hirup? Siapa yang
telah memanggilmu? Di mana
kau tinggal? Siapakah yang berani
mencurimu dari hatiku? Aku
ingin menemukanmu. Di mana kau?
Masihkah kauingat
kemudaan kita? Senyum
malu-maluku. Juga berjuta mimpi
yang kautanam di mata dan otakku.
 
Di stasiun tua di kota kecil ini
aku termangu. Mengingatmu
sambil memandang dedaun gugur dan
coba meraba perjalanan
usia kita. Masih kuingat tatap
matamu. Bola matamu yang
tajam. Senyummu yang dingin.
Parau suaramu.
 
“Mungkinkah kita menjadi sepasang
kekasih abadi?” tanyamu
suatu hari. Aku takut
menjawabnya. Karena bersamamu,
kutemukan arti menjadi perempuan.
 
“Mungkinkah kau dipilih untuk
jadi ibu anak-anakku?” tanyamu
lagi. Aku tetap diam membisu,
takut menangkap kilatan hidup
di depanku. Kelihatannya kau pun
tidak memerlukan jawaban.
Kau hanya menatapku, berusaha mencangkul
keyakinan dalam
bola mataku. Mungkin juga kau
sedang merajah pikiranku.
 
Di stasiun ini aku menantimu.
Berharap kau turun dari kereta,
dengan sebatang rokok kretek
terselip rapi di bibirmu. Aku
hafal aromanya, rasa asam yang
meruap dari bibirmu kelabu.
Rambutmu yang ikal, masihkah
lebat seperti dulu? Di mana
kau berada, Kekasih? Mungkinkah
kutemukan kau di antara
riuh penumpang kereta? Atau kau
telah pergi jauh? Meninggal-
kan sebening cinta yang terus
berbiak di tubuhku. Cinta yang
tak memahami usia, juga
ketuaanku.
 
Aku merasa berada di sebuah
stasiun, Kekasih, ketika kucari
dirimu di antara bau anyir rumah
sakit. Obat-obatan. Dokter
dan perawat. Aku mencium aroma
kembang. Tanah basah.
Udara lelah. Bisakah aku menutup
mata, selagi kau belum juga
kutemukan?
 
Berapakah usia kita, Kekasih?
Kenapa kau masih merajang
perasaanku? Di kelopak daun
Manakah kau sembunyi?
 
Kudengar orang-orang memanggil
namamu. Meneriakkan
ayat-ayat suci di telingaku.
Menutup mataku. Menyelimuti
tubuhku dengan kain putih. Mereka
mengikatku. Menanamku
di tanah. Kulihat orang-orang
meraung. Di mana aku saat ini,
Kekasih?
 
Masihkah kauingat stasiun tua
kita?
 
2008
 
 
ULAT
14/5/1995
 
Sebuah pintu kubuka dengan darah.
Impian-impian pun pecah
dalam genggaman tangan, berharap sepotong
daging akan
menambal lubang yang rajin
dicangkul perempuan yang dulu
pernah memintaku jadi anaknya.
Sebuah pintu kubuka dengan
luka. “Jangan mendekat. Bara
tanganku akan membakarmu.”
Tapi aku tak punya sungai tak
punya laut. Sajak-sajak kumuntah-
kan pada seorang perempuan.
Sebuah pintu kututup. Mata laki-
laki itu datang padaku. Berpuluh
tahun ia menyembunyikan
rahasia kami.
 
Kaumiliki permainan itu. Jangan
mendekat. Perahu layar. Laut
yang kuuntai. Huruf-huruf yang
kusebar di pejam matamu.”
 
Sebuah jendela kubuka. Penuh
belatung, bangkai manusia,
sepotong kepala anjing. Lendir
perempuan.
 
1999
 
 
TAROT
Bersama FN
 
“Teh ginseng milikku. Teguklah
dengan darah. Potong nadi
sebelum menelan pil puisi.”
 
Kaubuka kartu-kartu hitam di atas
kayu-kayu tua. Seorang lelaki
menemuimu, dengan seratus panah
terbenam di rakitnya yang
mengering.
 
“Jangan sentuh catku. Biarkan
mengering di wajahmu.” Kau
mulai menambal lubang-lubang
kayu. “Kupas kartuku.”
 
Senja itu seorang lelaki
mendekapku sambil memalingkan
wajah. Dia tinggalkan sekarung
ular, sebungkus ulat. Darah
orang-orang yang membuatnya ada
dioleskan ke tubuhku.
“Jangan pulang. Nanti kau
tenggelam.” Orang-orang berwajah
api dengan beratus-ratus karung
di tubuhnya. Dia mau kulitku,
percintaanku. Mungkin juga akan
ditelannya impian yang
kupiara di ruas iga.
 
Sampan itu terus kukayuh. Seorang
ratu datang. Wajahnya
rembulan. Tubuhnya kelopak bunga.
Kudekap kucium aroma-
nya. Bau dewakah ini? Tuhankah
yang datang setiap kubuka
peti pandoraku? “Perempuan dengan
seratus prajurit di perut.
Seribu naga di kepala. Ikan-ikan
adalah milikmu.” Tangan kiriku
memintal kepala laki-laki. Tangan
kananku menguliti tubuh-
nya. “Orang-orang akan datang
kepadamu. Menyembah kuku,
mengumpulkan remah rambut,
menaburkan keringatmu. Padi,
sedikit gandum dan perasan susu,
akan diantar para perempuan
kampung. Buka seluruh pintumu.”
 
Air bah datang. Kulihat seluruh
manusia telanjang. Mereka
melukisi tubuhnya. Para perempuan
melukis puting, menjahit
rahim. Mana wujudku? “Laki-laki
itu datang dengan sekarung
ulat dan ular, cat tubuhmu dan
aromanya. Tinggalkan sampan
dan kebun bunga. Apa kau masih
punya Tuhan?”
 
Berapa kartu lagi harus kubuka?
 
1999
 
 
PANDORA
: AP
 
Li, haruskah kita telan asam
tembaga? Atau kita tenggelamkan
pulau. Meletuskannya di telapak
kaki. Kau terus menggenggam
keris. Ketika mata kita
bertatapan, kautusukkan ke jantungmu.
Kauharap aku mabuk dan menenggak
cairan sumsummu. “Aku
ibu. Perempuan dengan mahkota
maharatu.” Mungkin kaulupa
sebuah dongeng. Ketika Jupiter
menitipkan peti, kitalah Pandora
yang membuatkan pagar untuk para
laki-laki. Juga dunia.
 
Li, apakah segenggam perca
kecengengan mampu mengupas wujud
kita? Orang-orang hanya pandai
menghitung jarinya di setiap
lubang tubuh kita. Kupikir kita
perlu laut luas dengan hiu yang
siap mencabik-cabik tubuh.
Mungkin kita akan menelan
samudra. Atau menghidangkan
pulau.
 
Li, ketika aku kehilangan seorang
perempuan, orang-orang
mengiris nadiku. Bahkan ayahku
meminta jantungku. Anak-
anaknya memeras butir keringatku,
menelannya. Yang kupunya
hanya cairan otak yang menjelma
jadi aku-aku baru. “Ke mana
perempuan yang mengandungmu?”
tanyamu, selalu dengan lidah
penuh bara. Kulihat naga-naga
kecil kaumuntahkan dari kepingan
wajahmu. Diam-diam kau pun senang
membakar tubuh, selagi
kita saling melekatkan kulit.
 
Kubuka e-mailmu tadi pagi.
Seperti biasa, warna muram dan
rintik hujan di matamu. Kebakaran
di kepalaku. Badai
mengamuk di mulutmu. Aku pun
mereguknya. Menuangkan
cairan tubuhmu. Seperti biasa.
Sebelum mulai bersetubuh, kau
menggigil, “Lelaki itu menguras
tubuhku.”
 
Saat perempuan mencangkul puisi,
lelaki mengeram ssambil
mendekap seluruh akar-akar
tubuhnya. Kita menghidangkan
dunia. Meremas seluruh lubang
tubuh agar hidup tetap bergulir.
Aku tidak punya tongkat, sering
kuingin meminjam tongkat-
mu. Seorang gadis kecil datang.
Tubuhnya berlumur lemak ke-
gelapan. Dia mahir menelan
seluruh sunyi dunia. “Kutanggal-
kan perempuan kecilku. Kucari
serat benang untuk menutupi
tubuh telanjangku.”
 
Ombak, mata air, letusankah yang
telah melahirkan rohmu?
Atau rasa lapar itu?
 
Li, kau terus telanjang. Memagut
seluruh tubuh.
 
1999
 
 
KUPU-KUPU
14/5/1995
 
Percakapan-percakapan jadi api.
Tubuhku menjelma kayu.
Kutanam dalam bara. Aku mulai
rajin menjilati tubuh, me-
nyimpan hati yang mulai hitam.
Mana kuburku?
 
Sebuah pesta dimulai. Perempuan
dan laki-laki menanam
manusia di rahim bumi.”Kau ikut?
Menjadi petani? Beternak
manusia?”
 
Lelaki itu datang bercucuran air
mata. Setumpuk kita terbuka
menyiram tubuhku. Mana tubuhnya?
Matanya tinggal serpihan
kecil. Ibunya telah menanam
impian keliaran dengan dongeng
yang terus berputar tentang lapar
tanah-tanah yang dipagari
ulat-ulat. “Dia telah membunuh
seorang perempuan dan dua
anaknya.”
 
Kubuka meja. Sebuah permainan
mulai digelar. Aku terjebak.
Dan makin rajin membakar usia.
 
1999
 
 
ZIARAH
:MG
 
Engkau
menjelma kuda dengan dua kaki patah. Anak lelaki yang
kautanam
dalam lautan darahmu memasuki seluruh lubang
pori-porimu.
Kaubiarkan tubuhmu terbuka. Bahkan ketika dia
meminta
igamu, kau berkata:
 
“Petikkan
api di pohon. Siapkan ranting, air suci dan kelopak
teratai.
Bingkai wajahku dengan daun sirih, juga ilalang panjang
yang
menutupi daging linggaku. Makanlah tanah-tanah yang
kucangkul
dari tubuhku. Anakku perempuan. Tak mahir me-
manggul
tubuh. Serakkan tulangku di pasir-pasir.”
 
Engkau
menjelma elang bersayap satu, mendarat di rambutku.
Kaumakan
otakku. Seorang perempuan kautitipkan. Tubuhnya
penuh
ulat. Mulutnya nanah. Dia menyiram hatiku dengan
belatung.
Ke mana anak lelakimu? Katamu:
 
“Anak
lelakiku telah menghabiskan seluruh tanahku. Tanpa
wajah,
dia larutkan tubuhku dalam api. Setiap detik uratku
diperas.
Kepalanya tombong. Tubuhnya beringin tua.”
 
Engkau
meletus. Meninggalkan sepotong perempuan dengan
dua
tunas kecil di rahimnya.
 
Tak
ada sesaji api membakar tubuhmu. Lelakimu telah me-
ngunyah
tanahmu. Menanamnya di tubuh anak-anaknya sendiri.
Aku
terus mencairkan wujudmu.
 
Bersama
perempuanmu, kujilati butir tanah yang kami pijak.
 
1999
 
 
HIKAYAT PEREMPUAN
:CS
 
“Panggil
aku Dirah. Perempuan berambut api dan bermulut bisa
ular.
Tubuhku duri pandan dengan ular besar siap memagutmu!
Di
setiap lubang pintu, para perempuan menancapkan lidi dan
bawang.
Kadang garam disiramkan. Ketika aku datang, kuisap
jabang
bayinya. Di setiap pintu rumah kuletuskan tubuh
perempuan.
Kuretakkan nafsu laki-laki, mengalirkannya ke
tanah.
Diam-diam kuisap cairan lingganya.”
 
Mungkin
kau benar-benar paham warna bumi. Juga laut. Tapi
maut?
Apa warnanya? Kupesan seratus tangkai mawar merah,
lengkap
dengan duri dan kelopak daunnya. “Aku yang akan
menjemputnya.
Kau tunggu saja di pintu. Aku mengupas
seluruh
tubuhku. Siapkan peti, tapi bukan milikmu. Aku yang
akan
tidur di dalamnya.”
 
Orang-orang
telah menjemurku di bawah hujan pisau. Ibuku
menguliti
hati. Ayahku mencabuti akar pohon manusiaku.
Kekasihku?
Hanya seonggok batu yang menghidupkan lumut-
lumut.
 
Kau
pandai melubangi tubuh. Kau pun pandai mengurai
dagingnya.
Sakitkah? Sering kaulihat kausantap tulang dengan
rakusnya.
Untuk apa kauhidangkan semangkuk puisi, lengkap
pula
dengan darah dan wujudmu?
 
Percakapan
itu melumuri seluruh percintaanku. Seorang
kekasih
telah menjemur tubuhku di sungai, memotong kaki
dan
tanganku. Telah kututup seluruh luka dengan tarian yang
kutarikan
setiap tilem dan purnama. Kukawinkan seluruh bunga
di
tubuh. Kurakit seluruh sesaji di telapak kaki. Perjalanan
panjang
itu hanya rangkaian jurang yang memeras tubuhku.
 
Aku
paham warna tubuhku. Tapi apa warna maut?
 
1999
 
 
EMBRIO
18/9,
17/10, 18/11, 20/11
 
Aku
mendengar suara jam dalam tubuhku. Meremas setiap
gulungan
lemak di perutku. Ada yang tumbuh. Kurasakan akar-
akarnya
melukai dinding dagingku. Menguliti pori-pori ususku.
 
Lelakiku
berkata:
“Kuberi
nama Pasha, Sarasvati, Bunga… Lelaki atau perempuan-
kah
dia?”
 
Apa
ini? Pohon besar? Benalu? Dia menyakitiku! Menghabiskan
seluruh
dagingku. Dia bertambah besar. Akar-akarnya makin
tajam.
Dia memahat seluruh daging dalam tubuhku.
 
Jam
tubuhku terus berdetak. Setiap nafasnya menjadi akar. Pandai
sekali
pohon itu mencungkili daging tubuhku. Memakannya
rakus-rakus.
 
2001
 
 
LINGKARAN
 
Dulu,
pada masa kanak-kanak, seorang perempuan melempar-
ku
ke laut. Membiarkan ikan pari mengasuhku. Sekarang
kumuntahkan
dagingku sendiri. Akankah kubuang kau ke laut
juga?
 
2005
 
 
GESTURAL
:
bersama AH, 21/8/2000
 
Hujan
hijau. Deretan bangku-bangku panjang terbenam di
kelopak
mataku. Perempuan-perempuan duduk tenang dengan
tubuh
berlumur lemak. Hawa panas, muntahan, teriakan
tubuh-tubuh
berkeringat. Tarikan nafas dan antrian panjang.
Nomor-nomor
dibagikan.
 
Aku
mencium daging tumbuh. Inikah judi? Ketika yang lain
berebut
membuka pintu, melepas pakaian, membuang tubuh
di
kain hitam atau putih, membentangkan paha, menyodorkan
lubang,
lalu ditusuk besi, perempuan berwajah pucat itu hanya
melambaikan
tangan. Tanpa senyum. Tanpa perasaan. Me-
nyumpahi
kami semua dengan kata-kata kasar. Meludahi kami
dengan
kutukan.
 
Aku
kehilangan potongan wajahku. Rasa sakit. Takut.
Kumasuki
sorga itu, di mana akan kutemukan sebongkah cinta,
mungkin
kekasih yang lebih paham tentang tubuhku. Di ruang
tunggu,
nafas para perempuan membubungkan asap. Lelaki
itu
duduk. Matanya tipis. Kulitnya putih. Dahinya penuh
lipatan
kulit. Hutan-hutan di kepalanya telah lama gugur.
 
“Masuk.
Timbang dagingmu!”
 
Dinding
putih. Sebuah kasur busa yang terkelupas. Tangkai-
tangkai
besi. Kelopak bunga jeruji.
 
Lelaki
itu pelan-pelan mengunyah tubuhku. Mencongkel
cairan.
Mengupas daging. Harum bau kematian. Tirai putih terus
teriak
minta bagian. Segumpal darah muncrat, menyentuh
kelingkingnya.
Seorang perempuan bermata hijau menimbang
dagingku,
menaruh tubuhku. Bau nafasnya melukai jantungku.
Tubuhku
dibongkar. Sepotong besi, jari telunjuk, membakar satu
demi
satu kulit tubuhku. Tak ada rasa malu. Tak ada basa-basi.
 
Lelaki
itu terus menguliti daging di atas kakiku. Memasukkan
potogan
besi dan membakar serpih-serpih daging tubuhku.
 
Katanya:
“Kepingan
awan di dagingmu telah membunuh calon anak-
anakmu.”
 
2001



Tentang Oka Rusmini

Oka Rusmini lahir di Jakarta, 11 Juli
1967. Tinggal di Denpasar, Bali. Bukunya al: Monolog Pohon (1997), Tarian
Bumi
(2000), Kenanga (2003), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007). Novel tarian bumi diterjemahkan dalam bahasa Jerman
menjadi Endentanz (2007).
  

Catatan Lain
       Kata Yos Rizal Suriaji: “Inilah
ketangkasan seorang Oka. Ia menulis, memendam Bali, mencangkul masa lalu,
membenturkan tradisi, meringkus pengalaman hidup, dan dengan tanpa sungkan
menggasak tubuhnya sendiri demi memperoleh sebuah ars poetica. Inilah “sayap kuat” sajak-sajak Oka, …”
      Lanjut
ditulis Suriaji di dalam epilog: “Pandora
–entah apakah ia mencoba mengaitkannya dengan kisah dewi Pandora ciptaan Zeus
dalam mitologi Yunani, yang bergulung kepedihan setelah membuka sebuah kotak
rahasia – adalah kotak kreatifnya itu, tempat ia menyimpan segala kegelisahan,
masa lalu, khayalan, pertanyaan-pertanyaan, juga harapan-harapan tentang hidup.
Pandora juga merupakan sebuah
perjamuan, dengan tubuh memenuhi daftar seluruh menu.”   

            Menurut penuturan
penyair di halaman viii, puisi-puisi di buku ini ditulis pada kurun 1999-2008
dan ia mengubah bentuk puisinya menjadi “prosaik”. Setidaknya semua puisi di
buku ini ditulis rata kanan-kiri. Sesuatu yang gak bisa dilakukan di blog ini. Jadi
pemenggalan kata disesuaikan dengan di bukunya. Begitu.


Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top