koleksi iPusnas

Pringadi Abdi Surya: SEJUMLAH PERTANYAAN TENTANG CINTA


 
 

Data Kumpulan Puisi

 

Judul buku: Sejumlah Pertanyaan
Tentang Cinta

Penulis: Pringadi Abdi Surya

Penerbit: PT. Elec Media
Komputindo, Jakarta.

Cetakan: I, 2019

Tebal: ii + 99 halaman (70 puisi)

Penata Letak: Kum@art

ISBN: 978-623-00-0382-0 (PDF)

 
Sepilihan puisi Pringadi Abdi Surya dalam Sejumlah Pertanyaan Tentang Cinta
 
Perpisahan
 
Segala hal tidak bisa bertahan
sama
dalam waktu yang lama.
Biskuit dan roti, susu kaleng dan
mi instan juga punya masa
kedaluwarsa. Cinta juga
 
Tapi burung-burung yang biasa
menghilang dari pagi di Jakarta
hari itu masuk ke kamar,
lewat lubang angin di atas
jendela
 
Sepasang burung gereja menusukku
dengan pandangannya
Sepasang burung gereja
menyakitiku
dengan kesetiaannya
 
 
Cinta Pertama
 
Takdir kita ditulis, sejak kau
angkat teleponku,
“Halo, kau adalah cinta
pertamaku,
apa kau mau jadi cinta
terakhirku?”
 
Tapi diam tak pernah menjadi
bahasa terbaik
bagi kita untuk membincangkan
angan-angan yang cenderung rapuh
Sebuah pijakan lemah anak lelaki
kurus saja akan mudah
mematahkannya dan waktu yang tak
pernah bosan
menjadi peneman perjalanan
akhirnya juga ikut menyerah
 
Tuhan kemudian membeli penghapus
di toko seberang
Aku tahu toko itu tak punya uang
kecil buat kembalian
dan memberi dua bungkus permen,
rasa paling kecut.
 
Dua permen itu juga kutemukan
di depan pintu kamar, bersama
kata maaf dari Tuhan,
karena memberi kita kado
perpisahan.
 
 
Memasang Bubu
 
Memasang bubu di Seberang Ulu,
aku
tak kunjung mendapatkan ibu.
Aku tebar jaring
di sepanjang Sungai Komering,
ibu selalu lolos lewat celah
sempit
seolah pikiran yang tak pernah
paham
ibu telah berada dalam makam.
 
Inikah yang kausebutkan di
makan siang dengan pindang patin
terlezat itu, Bu?
 
Rasa asam yang selalu
mewakili kebenaran. Dan asin laut
yang selalu
menggugurkan kekalutan,
menjernihkan kekeliruan.
 
Aku di atas perahu, mendayung
kehidupanku
sendiri. Kesepian yang sama di
tepi-tepi sungai, ibu-ibu yang
mencuci
baju dengan getir yang tergurat
jelas di wajah. Remaja
yang menggosok gigi dan laki-laki
yang tengah menunaikan hajar
seperti menunggu
kapan kematian yang jelas
ditakdirkan
akan merenggut semua kesepian
itu?
 
Tetapi aku yang terlalu riang
seolah anak-anak yang
berjempalitan, melompat ke keruh
sungai
tanpa pernah peduli
bahwa sekitaran limbah
terdapat banyak bakteri e-coli.
Bahwa segala umur
bisa terisap oleh lamur
mata yang tak pernah memberi
kepuasan
 
Memasang bubu di Seberang Ulu,
aku
sebenarnya menanti ibu kembali
mengajarkan hal yang kusia-siakan
selama hidup tanpa kepulangan.
 
 
Tiga Kwatrin
 
I.
Datanglah ke tubuhku, pekarangan
dengan semak bunga
Asoka yang tak pernah berhenti
mekar
dan rerumputan daun
Suji yang mengucapkan salam
kepada lelaki bijaksana.
Datanglah tanpa ragu, tanpa
menunggu Tuan dan tahun.
 
II.
Jejak bibirku di sana, jangan
sekali-kali kauhapus.
Cinta adalah kecupan pertama,
Sayang, didaratkan dengan
Lembut dan hati-hati. Bukankah
cukup begini—Sisyphus
Terlalu bodoh menanggung dosa
dengan nama pengorbanan?
 
III.
Cintaku sebatang rumput, tumbuh
di antara trotoar itu.
Berhati-hatilah, wahai, pejalan
kaki.
Aku tidak mau mati,
Terinjak oleh sandal jepit,
bahkan sepatu kulit.
Cintaku sebatang rumput, siapa
bilang tak akan mekar?
 
 
Merayakan Tahun Baru
 
Aku tidak ingin menangis. Kau berjanji
meniup terompet besar-besar biar
pekak semua telinga dan sebagian
yang
selamat menutup kupingnya dengan
bantalan kapas. Aku merasa
kehilangan.
Napas yang kuembus di setahun
lalu pergi
entah ke mana. Tapi aku tak mau
menangis;
menonton drama korea, berita
bakar diri,
kematian di ujung senjata, pasti
mulanya
lelucon. Kau berjanji
memberikanku
terompet itu—
sangkakala itu.
 
 
Ceritanya Tentang Masa Kecil
 
I.
Pohon jambu bangkok di pekarangan
rumahnya
sedang musim-musimnya.
Ada yang masih pentil, berwarna hijau
tua.
Ada juga yang sudah dibungkus
kantong keresek,
kira-kira seukuran bola tenis.
Ia tahu, tiap saat ia harus
berjaga
dari ulat dan segerombolan anak
yang lewat
saat pulang sekolah.
Ia bersembunyi di balik jendela,
di balik semak, kadang memanjat
pula
di pohon sawo dekat kolam yang
bocor itu.
 
Sesekali, ia pun bisa menyamar
jadi kupu-kupu.
 
II.
Tiap sore, ia harus berebut
dengan senja
yang suka menyembunyikan
ayam-ayamnya
di dahan pohon jambu atau pagar
tetangga.
 
Pur, dedak, maupun berondolan
jagung
tetap tak mempan merayu para ayam
agar mau kembali ke kandang. Ia
mengira
mungkin karena kandang ayamnya
yang
sudah lapuk, tua, dan tak bisa
menangkal hujan saban malam.
 
Ia lupa, ayam terlahir rabun
senja.
 
Dan mati pun demikian.
 
III.
Ia mencoba menghitung jumlah daun
gugur
di pelataran parkir itu. Setiap
hitungan
keempat puluh lima, ia menangis
tersedu.
Dan mengelap air mata dengan
lengan baju.
Ia tidak yakin pada hitungannya
lalu
memulai kembali dari awal.
Angin bertiup. Daun-daun renta
beterbangan di atasnya.
Air matanya makin tumpah,
sehelai daun muda tergolek tak
bernyawa
di samping kedua kakinya.
 
 
Rumah Rakit
 
rasa sakit di pundakmu adalah
arus
diam-diam merayap ke kantung
mata. Tetapi, malam itu
di bibirmu kata
mengapung-apungkan dirinya
di hujan yang basah,
mengesampingkan gelisah
dari seraut wajah yang terpantul
di sungai ampera
ke mana kita ke mana kata, tanya
seorang lelaki
yang tengah bernyanyi di atas
sebuah rakit
berharap muara adalah jalan
kembali tetapi
ke mana pun kita berenang ke mana
pun
kita membayang hulu selalu
menunggu
menjadi rumah baru dengan rakit
di pundakmu.
 
 
Kita yang Dipisahkan Bartholomew Kuma di Episode
455
 
tiba-tiba kita dipisahkan,
setalah bertemu bartholomew kuma
padahal kita sempat mengira dia
seorang pendeta
yang menawarkan ayat-ayat
kebahagiaan
perawakannya besar, terlalu
banyak makan di surga
tapi kau menghilang, aku tersesat
di pulau lain
ular-ular dan hewan liar seperti
baru lepas dari sangkar
kupikirkan kau yang sama
kesepian, berjalan
tanpa kompas atau peta dan
mengigil kedinginan
mengutuki hujan yang seperti
perempuan cerewet
sesaat aku merinding,
membayangkan kita tak akan
bertemu lagi
aku tak bisa berenang, kau tak
bisa mengapung
ombak di lautan terlalu ganas
bagi perasaan kanak-kanak
memikirkan cara lain,
aku berdoa tuhan memberikan
sepasang sayap
tetapi telah terlarang ia, sejak
era daedalus
yang kehilangan anak lelaki
satu-satunya.
 
siapa menduga, dalam satu episode
455,
setelah bertemu bartholomew kuma,
kita terpisah beribu abad yang
membentang tak cukup
bagi rentangan tanganku
atau tanganmu yang tak lebih luas
 
kepada siapa saja, mengertilah
bartholomew kuma akan dengan tega
mengirim kita ke suatu tempat
yang membuat kita sendiri
bintang kejora di langit tak
memiliki teman
gumiho yang hidup seribu tahun
sebagai penjaga hutan
tanpa cinta dan kekasih.
 
 
Sejumlah Pertanyaan Tentang Cinta
 
apakah kamu masih mencintaiku,
meski suatu hari
aku tak lagi menulis puisi
untukmu
lirik-lirikku berubah menjadi,
mengenai orang mati
yang tak bersalah, dan mungkin sedang
ditunggu
kekasihnya
memikirkan puasa besok akan
bersahur
dan berbuka dengan apa
tetapi lalu ia tak lagi ada di
dunia, dan hanya
menghiasi setiap pemberitaan
yang tak pernah benar-benar
memikirkan kemanusiaan?
aku menjadi lupa padamu, dan
teringat banyak hal
yang lebih penting kutuliskan
daripada terus-menerus memuja
segala
hal yang ada padamu
toh, kecantikanmu akan tetap
kecantikanmu
tak akan hilang atau berkurang
meski
kutuliskan atau tidak kutuliskan
sementara orang mati, mesti tak
akan hidup lagi
membuatku merasa suatu hari aku
akan mati
dan saat itu, aku tak akan lagi
bertemu denganmu
mati tua atau mati muda—yang tak
pernah kita tahu
adalah kepastian apakah kamu
masih mencintaiku,
meski suatu hari ada perpisahan
yang tak mungkin kita hadapi dengan
bahagia?
aku akan tetap cinta padamu,
meski aku tak tahu
akan berubah menjadi macam apa
nantinya
atau aku kehilangan kemanusiaanku
sendiri
 
 
Pergi ke Surga
 
Dia bilang ingin ke surga
Tapi malaikat bertanya, surga
yang mana
Istri dan keempat anaknya ikut
serta
dan tak tahu apa-apa
selain ayah adalah seorang kepala
keluarga
 
Anak laki-laki tertuanya belum
ikut ujian universitas
Sambil membayang-bayangkan
masa depannya ditentukan selembar
kertas
Adiknya, mungkin baru masuk masa
pubertas
memikirkan gadis dengan kerudung
emas
Curi-curi pandang sambil berharap
cemas
 
Tapi malam itu, dia berkata
Besok kita pergi ke surga
Kedua anak laki-lakinya tidak
bertanya, surga yang mana
 
Istrinya mencuri dengar, lalu
pergi ke dapur
Ia buka lemari, dan menemukan
beras penuh jamur
Kedua anak perempuannya sudah
tertidur
Setelah bersabar menunggu janji
dimasakkan semur
Besok, ia berencana memasak
semua bahan yang tersisa di rumah
Dengan perasaan bahagia, ia ingin
ikut ke surga
Tapi tak tahu surga yang mana
 
Surga, Ayah, ceritakan tentang
surga
Tapi sang ayah juga tidak tahu,
surga yang mana
Surga, pokoknya surga!
 
Malaikat yang baik hatinya
berkata
 
Surga adalah tempat orang-orang
yang beriman
Khusyuk dalam salat,
menjauhkan diri dari hal yang
sia-sia
Surga adalah tempat orang-orang
yang bertakwa
Yaitu orang-orang yang
diwafatkan dalam keadaan baik
Surga adalah tempat orang-orang
berpahala
Menahan diri dari segala hawa
nafsunya
 
Surga bukan…
Surga bukan tempat pembunuh
Bukan tempat orang
yang suka menggelar peperangan
 
Tapi dia berkata sudah dijanjikan
surga
Meski tak pernah tahu surga yang
mana
 
 
Memeluk Seluruhmu
 
Aku ingin memeluk seluruhmu
dirimu yang lebih luas dari
seluruh nama
 
kedua lenganku yang tak terbiasa
mengukur dunia—kelilingnya telah
diaku
oleh columbus, menemukan dunia
baru
tempat orang-orang lari atau
mencari kesunyian
 
dunia baruku adalah kamu, tetapi
seluruhmu
di luar nalarku
 
aku tak bisa berpikir jernih
sungai musi, sungai kapuas,
sungai bengawan
diberi tawas setempayan masih
sekeruh ingatan
 
sampai aku merasa khianat
sampai aku mengusir sepenuh
kalimat
yang diciptakan daun-daun merah
kemarin
disematkan cicit-cicit burung
sriti muda
yang terbang setinggi-tingginya
 
aku ingin memeluk seluruhmu
seperti lengan sayap burung itu
ketika hendak memeluk langit
 
 
Donquixote
 
trully, aku bukan bagian
donquixotefamily
yang kehilangan ibu di umur
delapan
lalu membunuh ayahnya di umur
sembilan
benang-benang yang tak dapat
ditebas pedang mengurung
kebahagiaan
seperti sebuah sangkar burung
yang memerangkap nyanyian merdu
nuri
segala hal, dari kacamata
doflamingo adalah
ketidakadilan dari keadilan.
anak-anak yatim piatu
karena perang, anak-anak
kelaparan karena
pemerintahan, dan anak-anak yang
lebih memilih
belajar menembakkan senjata
ketimbang pena
ini semua hanyalah permainan
mencari raja
 
menjadi cinta damai tapi lemah
atau bahagia
karena kekuatan buah setan
semakna khuldi
yang memunculkan pengetahuan
terlarang
agar bagaimana bisa menjadi tuhan
lalu semuanya bagaikan isshou
yang meragukan
segala yang dilihat, menutup mata
dan menempuh
keadilan butas sebagai perintah,
benar dan salah
gravitasi yang memanggil
meteor-meteor dari langit
tapi benang-benang tak dapat
ditebas pedang
batu-batu menjadi pasir dan debu
lalu aku, trully, bukan bagian
donquixotefamily
meski tak menertawakan suara
tinggi peeka
tapi menertawakan hidupku sendiri
sebagai seekor burung yang tak
mengerti
indahnya bertengger di sebuah
pohon eva
 
 
Tak Ada Puisi di Bola Matamu
 
Ia duduk di halte
menunggu bus terakhir yang akan
mengantarnya ke bola matamu.
Langit mendung, sebentar lagi
hujan.
Diliriknya jam di tangan
kanannya,
belum berubah juga.
Waktu masih dua puluh empat jam
adanya.
 
Ia paham,
kesunyian seperti tiang listrik
yang tegak,
ditempeli poster-poster konser,
kampanye,
pengumuman anak hilang, iklan,
slogan,
dan tak pernah ada puisi.
 
 
Menyeberang Jalan
 
Jalan di depan rumahnya sulit
diseberangi.
Ia harus menoleh ke kanan dan ke
kiri,
sampai benar-benar yakin tak ada
kendaraan
yang sedang ditunggangi malaikat
maut.
Ia takut, pesan ibu di kantong bajunya
tercecer
di aspal yang berlubang itu.
Karena itulah,
ia menyeberang pelan-pelan
sambil memegangi dadanya yang
menyimpan kesepian.
 
Ia tak pernah percaya pada zebra
cross.
 
Ia juga tak pernah percaya lampu
merah.
 
 
Mengejar Kebahagiaan
 
Aku membuka pintu dan merindukan
ibu
sepatu-sepatu yang disusun rapi
di rak
menu makan siang yang kusuka
telah siap di meja
aku beranjak dan menemui masa
kanak-kanak
dan tak pernah berpikir
meninggalkannya
 
Semakin lama, semakin panjang
waktu
telah berada memberi jarak
aku hanya dekat dengan bayanganku
sendiri
segelas kopi, sebuah asbak,
selalu ada
yang pertama bagi laki-laki. juga
kesedihan
yang tak pernah menjadi milik
siapa-siapa.
 
Asap yang mengepul setelah puas
dan bebas
menguasai paru-paruku
tidak membuatku merasa terlepas
dari perasaan bersalah
 
Pertanyaan-pertanyaan, mengapa
manusia
menyakiti satu sama lain, mengapa
kita
tak boleh saling menyakiti…
mengepungku.
 
Aku tidak tahu telah berada di
mana aku
antara pecundang dan pemenang
selalu tipis bedanya
 
Ketika kututup mata, kurindukan
sepatu-sepatu
yang tersusun rapi di rak
 
Tapi tak ada lagi yang muat
ukurannya di kaki
untukku lari
 
 
Tentang Pringadi
Abdi Surya

Pringadi Abdi Surya lahir di Palembang, 18 Agustus. Pernah
terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatera Selatan 2009. Mengikuti Makassar International Writer Festival
2014 dan Asean Literary Festival
2016. Bertugas di Ditjen Perbendaharaan Negara. Novelnya berjudul PHI.
Mengelola
http://catatanpringadi.com.

 
 
Catatan Lain

            Buku ini tak punya
daftar isi, jadi mesti menghitung manual jumlah puisi yang ada di dalamnya.
Begitu. Di sampul belakang buku, ada petikan puisi dari “Sejumlah Pertanyaan Tentang
Cinta” dan puisi “Cinta Pertama”.


Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top