Topik

Prospek IPO Net TV, dan Hubungannya Dengan IPO GoTo


Ketika PT Net Visi Media (NETV), perusahaan pengelola stasiun televisi
Net TV mengumumkan bahwa mereka akan IPO, maka penulis heran kenapa kok
beritanya cukup santer di pasar, yang artinya sahamnya banyak
dipromosikan/dipompom. Padahal NETV ini bukan perusahaan teknologi ataupun bank
digital yang lagi ramai itu, melainkan seperti disebut di atas, merupakan
perusahaan pengelola stasiun televisi, itupun dia kalah populer dibanding
nama-nama seperti RCTI, SCTV, dan Trans TV. Kemudian nilai IPO-nya juga hanya
Rp150 milyar, jauh lebih kecil dibanding
IPO
Bukalapak
atau Mitratel, yang nilainya
masing-masing mencapai lebih dari Rp20 trilyun. Nah, jadi sekali lagi, kenapa
IPO NETV ini ramai dibicarakan?

***

Ebook Market Planning (EMP) edisi Februari 2022 berisi
update analisa pasar/IHSG, rekomendasi saham bulanan, dan info jual beli saham,
sudah terbit! Anda bisa memperolehnya
disini
, gratis konsultasi/tanya jawab saham untuk member.

***

Sejarah PT Net Visi Media, Tbk, yang dimiliki oleh Grup Indika (yang
juga pemilik Indika
Energy (INDY)
), dimulai ketika perusahaan pada tahun 2013 mengakuisisi anak usaha
dengan nama PT Televisi Anak Spacetoon, yang merupakan pengelola stasiun
televisi ‘Spacetoon’, dimana nama anak usaha ini diubah menjadi PT Net
Mediatama Televisi (NMTV), dan siaran Spacetoon juga diubah menjadi ‘Net’. Setelah
itu perusahaan juga mengakuisisi dan/atau mendirikan banyak anak usaha lainnya,
yang kemudian dikelompokkan ke dalam empat segmen usaha: 1. Stasiun televisi free
to air
(FTA) dengan nama Net TV, termasuk manajemen artis, dan production
house/
rumah produksi melalui NMTV, 2. Net Media Digital, salah satunya
aplikasi Net.Prime dan Net Connect, yang memungkinkan masyarakat menonton
program-program Net TV melalui ponsel, 3. Net Media Berita, yang memproduksi
tayangan berita, dan 4. Creative Inc., yang memproduksi program siaran dan
konten baik untuk ditayangkan sendiri di Net TV, atau dijual ke stasiun
televisi lain.

Namun demikian sampai dengan awal tahun 2022 ini, maka hanya NMTV saja
yang sudah beroperasi, sedangkan tiga segmen usaha lainnya baru sebatas rencana,
dimana memang dari hasil dana IPO-nya, sekitar 28% akan digunakan untuk
mengembangkan Net Media Digital. Jadi dalam hal ini kita hanya bisa melihat
track record kinerja dari stasiun televisi Net TV.

Nah sejak awal, manajemen
Net TV berkomitmen untuk menghadirkan siaran yang menghibur, unik dan kreatif,
dan mengandung fakta bukan rumor ataupun gosip. Sayangnya justru bagian yang
disebut terakhir itulah yang membuat Net TV kalah bersaing dengan banyak
stasiun televisi lainnya, yang selalu mengikuti selera pasar dengan
menghadirkan tayangan-tayangan gosip selebritis, reality show, sinetron azab, dan
acara-acara sejenis. Komitmen ini pula yang menyebabkan pemirsa Net TV terbatas
pada kelompok ekonomi menengah keatas, yang jumlahnya jauh lebih sedikit
dibanding pemirsa dari kelompok ekonomi menengah kebawah. Alhasil sejak tahun
2013 s/d 2021, pangsa pasar pemirsa Net TV tidak pernah beranjak dari level 2 –
3% setiap tahunnya, jauh dibawah market leader RCTI yang menguasai 23%
pemirsa televisi di tahun 2021.

Karena itulah, tidak heran jika NETV selama beroperasinya selalu merugi,
karena pendapatan iklannya tidak pernah cukup untuk menutup biaya produksi
siaran, dimana pada tahun 2018, 2019, dan 2020, perusahaan merugi masing-masing
Rp171, 423, dan 616 milyar. Demikian pula hingga 31 Juli 2021, NETV kembali
merugi Rp120 milyar. Kemudian pendapatannya juga cenderung
turun dari tahun ke tahun, yang kemudian menyebabkan ruginya naik dari tahun ke
tahun, dan penulis kira itu karena para pemirsa dari kelompok ekonomi menengah
keatas ini belakangan semakin jarang lagi menonton televisi, karena sekarang
mereka sudah berpindah ke stasiun TV kabel dan tayangan streaming
Netflix dkk. Yep, jadi dalam hal ini Net TV bahkan lebih buruk dibanding Bukalapak, yang meski
sama-sama merugi dan ‘bakar duit’, tapi minimal ruginya terus berkurang dari
tahun ke tahun, sehingga masih ada harapan bahwa perusahaan eventually akan
membukukan laba bersih suatu hari nanti.

Sedangkan Net TV? Well, kecuali perusahaan banting setir dan mulai
menayangkan sinetron azab, maka suka atau tidak, prospeknya terbilang suram.
Sayangnya sejauh dari rencana kerja perusahaan termasuk rencana penggunaan dana
hasil IPO-nya, maka sama sekali tidak ada arah perubahan ke sana, melainkan
manajemen tetap akan berusaha menghadirkan tayangan ‘berkualitas dan berkelas’
bagi masyarakat di tanah air, meski itu berarti bahwa Om Agus Lasmono harus terus
tekor saban tahun.

Tokopedia Pinjam IPO?

Sehingga kalau ada pertanyaan, apakah penulis akan membeli saham NETV? Maka
anda sudah tahu jawabannya. Dan ini bahkan belum termasuk memperhitungkan
valuasi IPO-nya yang teramat sangat mahal, dimana pada harga saham 196, market
cap NETV mencapai Rp4.5 trilyun berbanding ekuitasnya yang cuma Rp200 milyar,
sudah termasuk dana hasil IPO-nya Rp150 milyar, itupun kemungkinan tahun depan
bakal habis karena perusahaan selalu rugi lebih dari Rp200 milyar setiap
tahunnya.

Nah, tapi ada lagi yang menarik dari IPO NETV ini, yakni skema IPO-nya
yang rumit karena melibatkan konversi utang perusahaan menjadi saham. Jadi melalui
IPO-nya, NETV menerbitkan 765 juta saham baru yang ditawarkan pada harga Rp196
per saham ke investor publik, sehingga perusahaan akan meraup dana Rp150
milyar. Bersamaan dengan itu, perusahaan juga menerbitkan 5.9 milyar saham dengan
alokasi sebagai berikut: 2.1 milyar saham untuk PT First Global Utama (FGU), 2.1
milyar saham untuk PT Semangat Bambu Runcing (SBR), dan 1.8 milyar saham untuk
PT Indika Inti Holdiko (IIH). Tidak ada info detail soal perusahaan apa itu FGU
atau siapa pemiliknya, namun SBR merupakan anak usaha dari PT Tokopedia.

Sedangkan IIH adalah pemegang saham NETV itu sendiri, yang juga
merupakan bagian dari Grup Indika. Nah, baik itu FGU, SBR, dan IIH sebelumnya
memiliki piutang terhadap NETV dalam bentuk obligasi wajib konversi atau mandatory
convertible bonds
(MCB), yang kemudian dikonversi menjadi total 5.9 milyar
lembar saham itu tadi, pada harga konversi yang sama dengan harga IPO-nya yakni Rp196 per saham. Jadi ceritanya, beberapa tahun lalu FGU dan SBR memberi
pinjaman ke NETV dalam bentuk MCB senilai total Rp810 milyar, dan demikian pula
IIH memberi pinjaman ke NETV senilai Rp353 milyar, yang di laporan keuangan terakhir
NETV per Juli 2021 tidak lagi dicatat sebagai liabilitas melainkan ekuitas,
karena perusahaan sekarang sudah resmi akan IPO. Disinilah menariknya:
Berdasarkan perjanjian MCB-nya dengan FGU dan SBR, disebutkan bahwa jika NETV
gagal menggelar IPO, maka NETV harus membayar lunas Rp810 milyar itu tadi
secara tunai. Tapi jika perusahaan berhasil IPO, maka MCB-nya dikonversi
menjadi saham, sehingga dalam hal ini FGU dan SBR/Tokopedia masing-masing menjadi pemegang 2.1 milyar saham NETV, setara dengan 8.8% saham beredar
perusahaan.

Sementara pemegang saham pengendali (PSP) NETV, yakni PT Sinergi Lintas
Media, sebelum IPO memegang 16.8 milyar lembar saham NETV. Sehingga pasca
IPO-nya, NETV akan memiliki total 23.4 milyar lembar saham. Tapi karena dalam
IPO-nya perusahaan hanya melepas 765 juta lembar saham ke publik, maka hanya
3.3% dari total saham beredar NETV yang dimiliki oleh investor publik. Dan ini
sebenarnya melanggar peraturan free float bursa yang menyebutkan bahwa minimal
7.5% saham perusahaan Tbk harus dimiliki oleh investor publik, dimana definisi ‘investor
publik’ disini adalah investor yang memegang saham NETV itu sebanyak kurang
dari 5% saham beredar. Karena IIH, FGU, dan Tokopedia masing-masing memegang
lebih dari 5% saham NETV, maka mereka tidak bisa disebut sebagai investor publik.
Meski demikian peraturan free float tadi memiliki satu ketentuan tambahan yang menarik:
Sebuah perusahaan Tbk tidak harus langsung memenuhi peraturan tersebut sejak
awal, melainkan jika free float-nya kurang dari 7.5%, maka PSP atau pemegang
saham lainnya bisa menjual sahamnya di pasar sehingga di kemudian hari kepemilikan
publik di NETV akan meningkat menjadi 7.5% atau lebih.

Nah! Jadi sampai sini anda mengerti jalan pikiran penulis? Atau masih belum
mengerti? Oke biar saya jelaskan. Jadi pertama-tama, Tokopedia sejak awal berencana
untuk IPO sebagai exit strategy bagi para founder-nya. Namun karena
perusahaan, seperti juga start-up pada umumnya, terus saja merugi karena strategi ‘bakar
duit’, maka para founder-nya sadar bahwa ada juga kemungkinan IPO-nya bakal
gagal karena gak laku, apalagi jika nilai IPO-nya sangat besar (targetnya lebih
besar lagi dibanding hasil IPO BUKA yang mencapai Rp21.9 trilyun).
Jadi Tokopedia harus bisa membukukan laba, meski mungkin bukan laba operasional
melainkan dalam bentuk ‘keuntungan investasi’ atau semacamnya. Ini diluar
strategi-strategi lainnya agar sahamnya lebih menarik di mata investor ritel, seperti
merger dengan Go-Jek menjadi GoTo.

Sehingga, sebelum Tokopedia itu sendiri menggelar IPO, mereka mencari
perusahaan yang yang akan IPO lebih dulu (dan dengan nilai IPO yang lebih kecil, sehingga lebih mudah prosesnya). Dan ketemulah NETV ini, dimana Tokopedia menyetor Rp405 milyar. Tapi untuk
meminimalisir risiko, maka Tokopedia tidak langsung setor dana ke NETV dalam
bentuk saham, melainkan dalam bentuk MCB. Sehingga jika NETV gagal IPO, maka
Tokopedia tetap akan menerima uangnya kembali.

Kemudian perhatikan, 1. Jumlah saham NETV pasca IPO dibuat sangat banyak
mencapai 23.4 milyar lembar, termasuk 6.7 milyar lembar saham milik IIH, FGU, Tokopedia,
dan publik, sehingga saham NETV bisa likuid dan ramai diperdagangkan, 2. Harga
IPO-nya sangat rendah secara nominal, hanya Rp196 per saham, sehingga gampang
naiknya (Contoh ADMR), 3. Sahamnya banyak di pompom, dan ini mengingatkan
penulis dengan right
issue Bank Banten (BEKS) di tahun 2016 yang sukses menarik 24 ribu investor
untuk membeli sahamnya
, dan nilai investasi para investor ini habis sama
sekali karena sahamnya sekarang mati di gocap, dan 4. Saham yang benar-benar
dilepas ke publik hanya 765 juta lembar atau 3.3% dari total saham beredar, sehingga
besar kemungkinan saham itu tidak benar-benar dilepas ke publik melainkan diambil
oleh perusahaannya/NETV sendiri, sehingga lebih gampang lagi untuk digoreng
naik karena mereka sendiri yang melakukan transaksi jual beli. Contohnya ADMR,
yang terus saja naik dari 100 sampai 500-an hampir tanpa volume transaksi karena
yang jual juga nggak ada, dan biasanya itu karena sejak awal saham ADMR tidak
pernah benar-benar dimiliki oleh investor publik.

Gorengan oh Gorengan..

Nah, jadi kesimpulannya? Yup, NETV ini kemungkinan akan digoreng dan
dikerek tinggi sehingga Tokopedia bisa mengakui ‘keuntungan investasi’ dimana
mereka setor modal ke NETV pada harga Rp196 per saham, tapi harga saham NETV di
pasar naik jauh lebih tinggi dari itu, sama seperti Bukalapak
yang membeli saham Allo Bank (BBHI) pada harga Rp426 per saham, dan sekarang harga
saham BBHI di pasar jauh lebih tinggi dari itu
. Dan tentunya Tokopedia atau
pemegang saham lainnya di NETV juga bisa menjual saham mereka ke investor publik
ketika harga saham NETV ini sudah tinggi, sehingga mereka bisa merealisasikan
sebagian dari keuntungan investasi itu tadi, sekaligus agar NETV memenuhi
peraturan free float karena sekarang sahamnya yang dipegang publik mencapai
lebih dari 7.5%. Ini juga yang menjelaskan kenapa IIH turut memegang MCB di
NETV: Jika saham NETV ini sukses naik dan sukses dijual di pasar ke investor
publik pada harga yang jauh diatas harga IPO-nya, maka dalam hal ini Grup
Indika ikut cuan juga. I mean, ngapain juga Grup Indika mau diajak main gorengan
seperti ini dan susah payah mengurus IPO NETV, kalau mereka gak dapat bagian?

Anyway, praktek bandar saham yang terang-terangan inilah, yang penulis
kira bikin
saham-saham yang bener jadi susah naik meski IHSG-nya tampak naik sendiri
,
karena sekarang pasar saham kita isinya saham-saham model begini semua, yang
sama sekali tidak layak investasi tapi murni mengajak investor untuk
berspekulasi. I mean, kalau anda misalnya masuk ke NETV ini pada harga tinggi
yakni 400, 500, dst (kecil kemungkinan anda bisa masuk pada harga dibawah itu
karena sekali lagi, gak akan ada yang jual di harga segitu), tapi setelah itu
NETV ini lanjut naik lebih tinggi lagi seperti ADMR atau BBHI, maka hasilnya gak
cuma Tokopedia dkk yang cuan, tapi anda sebagai investor ritel juga ikut cuan
bukan? Tapi disisi lain ketika nanti akhirnya saham-saham gak jelas ini ARB
berjilid-jilid (dan itu bisa saja langsung terjadi sebelum sahamnya sempat
terbang! Terserah bandarnya), maka pasti ada saja investor yang rugi sampai habis karena nyangkut
di harga atas.

Dan actually dulu di tahun 2019 ketika ada kasus Jiwasraya
dan Asabri, yang pangkalnya juga karena manipulasi saham IPO gorengan, saya kira setelah
itu pasar saham kita akan berbenah dan menjadi lebih ‘bersih’, tapi kenyataannya
justru sebaliknya tambah parah. Untungnya disisi lain saham yang bagus dan layak
investasi bukannya nggak ada, melainkan masih ada cukup banyak, jadi kita para
investor fundamentalis tidak perlu khawatir, melainkan sebatas harus lebih hati-hati
saja. Nanti deh minggu depan kita akan bahas salah satu saham yang layak investasi
tersebut.

***

Ebook Market Planning (EMP) edisi Februari 2022 berisi update analisa pasar/IHSG, rekomendasi saham bulanan, dan info jual beli saham, sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi/tanya jawab saham untuk member.

Dapatkan postingan via email

Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top