Sepuluh Lompatan
Yogyakarta.
puisi)
Tokoh-tokoh dalam
Sepuluh Lompatan terdiri atas Tembang
Macapat (7 puisi), Timur (12 puisi), Tengah (3 puisi) dan Barat
(18 puisi)
Sepilihan puisi Puji Pistols dalam Tokoh-tokoh dalam Sepuluh Lompatan
Simbolia
– variasi atas
cerita Julia Alvarez
tak ada lagu pujian terjun lurus
menuju kita
taman, langit, apartemen, mesin
keripik jagung
kereta bawah tanah, rangkaian
salju
dalam semalam segalanya tampak
putih
menelurkan cahaya-cahaya
seorang perempuan gipsi gaun
hitam
berjalan menguak kegelapan
seperti datang dari pelabuhan
lama
ia menutup kepalanya dengan syal
berwarna
hening bagai dinding gereja
bening seolah bintik-bintik bola
salju di udara
“sebelum bulan bertambah dingin
aku dan para saudariku
kerap melepas doa
untuk kedamaian para perempuan
imigran”
rok hitam panjangnya terbang
menghujani langit amerika dengan
peluru-peluru mainan
serombongan anak berlarian
merentangkan telapak tangannya ke
udara,
“ini bola salju abadi, mami
ini bola salju yang abadi!”
“bum-bum!”
gipsi itu tersentak, memandang ke
atas
“ini seperti mimpi,
aku tak mampu menjelaskannya
lewat kosakata”
tahun baru pertama di new york
kami perebutkan bola salju di
halaman apartemen murahan
mobil-mobil terparkir di bawah
jendela
kristal-kristal kacanya berubah
putih
meleleh bak barisan doa perempuan
imigran
yang menggenapi terang nyanyi
kosmopolitan
“mi america querrido”
Di Pesarean Kiai Mutamakin
1/
latar pesarean
hampir lengang menuju dini hari
kami bersedekuh mengucap
salam dengan data lapang
menunggang suluk menuju jantung
mata kami padam
di seputaran jam dua malam
di kuburan, kami sandarkan kalah
2/
apa yang membuatmu kerap ragu?
berkah bahagia hanya singgah
dari hidup perih dan membekas
jejak kabel-kabel cahayanya pada
sisi batu nisan yang bersih
3/
seusai zikir panjang terhenti di
9900
subuh datang terang benderang
seorang peziarah, entah siapa
pulang menggendong perempuan
kecil
berkerudung jenaka
ia bergumam dalam bahsa orang
biasa
“jika lelah, maka sandarkanlah
bahumu
di kuburan lalu berbahagialah”
Shintaishi
: Minamoto
Yorimasa
di taman Aokigahara
matamu setawa bunga plum putih
letih, ingat kerabat
cahaya bulan terbang ke pucuk
ilalang
ilalang tempat kau-aku berjanji
berumah
di buku haiku fana
menunggu adalah bahagia tertunda
di taman ini hujan jelma batu
keras dan kelabu
kau lajang
aku tak pulang
serupa pohonan
menguning
sewarna petang
Realma Pengunjung Taman
: variasi atas
cerita Gao Xingjian
Ia menyentuh taman ke dalam
genggaman tangan
memasukkannya ke tas warna
menyala
dan meletakkannya bersebelahan
dengan suasana
malam rerumputan.
berbulan-bulan ia menunggu
sahabat
dalam kesedihan yang ia simpan
bersama bola karet dan sepatu
hitam:
menunggu haru di antara kesunyian
pohon sipres
mengenang persembunyian para
pengunjung
lalu bertukar cerita di atas
terpal kusam
di bawah tiang-tiang listrik tua.
seperti yang terjadi pada lain
hari
seorang pengunjung datang
mengirim kartu ucapan
“taman tanpa tuan kelihatan
hampa,
seakan terhapus aforismanya.”
dan jalan menuju sore
tak ada gugur kembang persik
tak ada bunyi omong kedai-kedai
yang selalu berisik.
ia merapatkan genggaman tangannya
lagi
menyimpan kehangatan matahari
terbenam
ketidaksengajaan melahirkan
keindahan buatan
meskipun ia tidak suka keindahan
buatan
ia terus duduk dari kemarin
hingga sekarang
di atas perdu pohon sipres
membiarkan segala kenangan membusuk
pelan
hidup adalah permainan yang
sembunyi
dalam dekut jarum jam.
batas akhir garis taman
sudah digarisbawahi dalam sebuah
cerita
tatkala matahari terbenam
dan tampak kematian itu tiba.
di bawah genggaman tangan
taman membikin percakapan untuk
tak takut
menyusun pertanyaan-pertanyaan
ihwal keindahan.
namun di ujung jalan
ia lepaskan genggaman
dan membiarkan ingatannya
balik pada pepatah lama:
“kalau perempuan datang ke taman
jatuh cinta lebih awal,
pasti esoknya ketiban sial.”
ia mengangguk di bawah cahaya
tiang-tiang listrik itu
di hadapan daun-daun poplar putih
barangkali ada pengunjung
terakhir memutar radio
dan lagu-lagu cinta terperangkap
di sana –
seperti somnambulis tengah malam.
Elegi Su Tung Po
cukup, Po
berhentilah memilah
di pelataran klenteng ada
pengelana
menyalakan hong swa
“rayakan kekosongan –
bayangkan kekaguman”
pada sembahyang keluarga
jalan ke surga berubah pucat
seperti warna penginapan di sore
ingin aku menjumpai hantu-hantu
dengan kecantikan nan memesona
dan kesiur angin di sekujur plum
bergoyang bagai hiasan lampion
anggun meski tak ada cahaya
aku mesti berhenti merapikan topi
yang melebar terbuka
dan kenapa,
perjalanan selalu kehilangan
nama-nama?
cukup, Po
sejenak duduk bisu
di penginapan ada sisa asap dupa
kita bisa memesan malam di sana
bernyanyi, mainkan kin
hingga pagi menidurkan segala
sasmita
kadang terlalu jelas dan tak
jelas
seperti siul angin
pada ritus yang kau lihat itu
Pada Kaligrafi Qi Baishi
/a/
lelaki Qi bertualang menyusur
jauh
tapi pulang jua pada batu kuburan
dingin, sesepi ornamen-ornamen
abadi
pada puncak-puncak istana
/b/
ajari kami menyesap tegak lurus
bertikal
dari kenangan beragam hiasan
“dari sini bayang-bayang hantu
berkerumun membangun surga-surga
palsu”
/c/
ajari kami menidurkan baris
horison
pada mata patung kim tong dan
giok li
tenang, cinta sejati pulang lebih
awal
/d/
masa muda sembunyi dalam
semangkuk sup kepiting
kesedihan kerap datang tanpa
dipesan
satu meter garis terpotong ke
dalam ingatan
/e/
di awal musim semi
sekelompok udang berdendang
Qi, ia tahu kapan memulangkan
garis sepi
sepasang burung hong yang terbang
dalam rawi keheningan
/f/
rambut Qi putih salju
menaungi pualam terang
yang memandang
semi peoni
sebagai perkabungan
/Pangkur/
aku akan menyimpan kenangan baik
dari bola matamu yang basah
ke dalam selarik kain batik
ketumbar pecah
kekerabatan seperti nasib sajak:
benda yang pasti retak
kelak, kau pun akan menyimpan
kenangan baik dariku
ke dalam dua matamu yang lelah
Catatan Mario
hanya ada bias
serta hamburan
perjalanan yang lekas
apa aku akan
berputar-putar di sini
sebagai beruang gunung
atau
kuda jantan yang murung
memanjat lengkung
pegunungan San Cristobal
di situ
karat sepatu besi
tembok-tembok
rumah penggembala sapi
adalah
kebisuan abadi
dan
cahaya terjun
dari tumpukan
langit gunung
terpa topi Sambero,
dua pengendara sepeda
bersalipan
“adios, nos vermos”
sehabis rute jembatan San Antonio
setelah kuyup diserang bau laut
Bellavista
aku kenang kacu seorang perempuan
tertinggal di meja doa katedral
tua
pada hari baik
aku pingin sendiri
duduk di bawah taburan
kembang api
memandang barisan
rute perjalanan dan kacu linen,
di sebuah paskah yang lekas
aku adalah karakter “A”
di dalam buku lama
Geografia Memorias
2018
Imaji Kota-kota Tak Bernama
: Andy Warhol
berdansa di bawah baliho rock and
hedonisme
seperti itulah
dari lubang maya kita selingkuh
meminjam es krim sisa jilatan Lou
Reed
Fukuoka Art Museum yang sedih
menyimpan arsip
ada kurator dan fotografer
berbagi tanda tangan
dengan inisial A.W.
“I like anything that is American.”
ilusi, refleksi,
meditasi,halusinasi
menemani mesin cetak
dan kita kembali rutin mengatur drawing
pada sebuah kertas
“Viva Banana Wallpaper”
teriakan keras keluar dari mulut
yang rapi
gerakan Pop Art di Amerika tahun
1960 seperti
mengemas sekumpulan puisi
(sial, aku tak pandai membaca
diskusi sejarah para akademi)
bau industri pada labirin otakmu
mengutuk lagu pagi
“Silence Sunday Morning”
ia bisa lebih manis dari adegan
ciuman dua perempuan
seperti tembang melankolis di
sebuah bar
Love Me Tender
“Thank’s Warhol!”
beruntung kita selingkuh di dunia
maya selama 8 jam
kau menikmatinya?
kau bilang
ini Last Supper
ziarah terhenti pada lapisan
bantal-bantal warna pasta
di mana cinta dan lupa tidur
bersebelahan
hiruk pikuk perempuan berdada
balon saling sapa di Pittsburgh
seorang seniman berdasi hitam
plus merah muda
berada di dunia penuh pesta
“salam pemeluk teguh agama
konsumerisme!”
yang candu, membawa kita berjalan
mulai awal
menikmati mesin-mesin hasrat
uang-kekuasaan-miniatur
perusahaan
berapa hari kita pose di ruang
ini?
Piringan hitam kembali berputar
“Sunday Morning”
dan
kacamata Warhol
menampilkan mural sureal
sepanjang jalan Manhattan
Kenangan pada Sajak Despedida
Tersebab sajak
cinta Federico Garcia Lorca
demikianlah, kita pun memilih
naik keledai tambun
pada sebuah fatamorgana tebing
masa silam
“mungkin seseorang akan terbaring
mati di sini.”
kita pun melepas ilusi denyar
saputangan
terbang menjauh dari gelap kamar
tidur
begitu jauh, tak terukur
dalam warna pagi kau lihat itu
keledai
mulai mengasingkan pandangan dua
matanya
konon ia rindu bau rumput rimbun
– kau di sana?
begitu lama balada Romancero Gitano mendekut
berdegup hingga tercecer
dalam perjalanan diselingi
penghujan
rima rimis yang teramat santun
dan kita dalam duduk yang sepi
surga melahirkan rumah ketiga
rundung mengantar murung
biarkan dia pergi
biarkan…
sebab embusan tangan
lupa melepas sonata Despedida
Menggambar Rumah Ayah
: untuk Emily
Dickinson
dalam kuasan pensil hitam
rumah itu tampak pendiam
cuaca kerap mengungsi
ke kebun
dan menyirami bunga bakung
apa gerangan yang didamba?
kuasan pensil hitam tak kunjung
berhenti
menyelesaikan kisah rumah hingga
rampung diminati
seseorang lupa menarik garis
panjang
bersebelahan taman bermain masa
kecilku
aku tahu di sana, ada segaris
keharuan;
menggambar kebahagiaan untuk
bertemu
dari arsip keluarga
rumah ayah kelihatan bersahaja
menyimpan draf-draf surat dari
sahabat hingga tetangga
tak lupa menemani aku jadi
perempuan
sampai kesepian di usia 56
hari ini
orang-orang masih membawa cerita
rumah ayah
pada sebuah perayaan paskah
Imaji Rastafarian
“kami akan kenakan kaus cetak
sablon manual,
asal cetakannya berasal dari
celupan tangan Tuan Bob Marley”
kisah rastafarian kerap dibaca
melalui perpustakaan keluarga
ketika matahari mengantar cuaca
cerah
ke arah luas kota, kuning, hijau,
dan merah
Viva Rasta!
reggae cuma pertunjukan fantasi
pada jam sibuk
mempermainkan lagu-lagu kenangan
mengulang kemurungan keluarga
perkotaan
dengan satu tajuk: “No Woman No
Cry”
pada acara Festival Ska di hari
libur itu
ia perlu bahagia sejenak
ya, kami hanya dua lelaki
pengisap cerutu pabrikan
memainkan tambur
o Carolina, berdansa, dari
partitur
menggema sampai pembatas kaca
jendela
ada sebuah dipan dengan poster
dinding
Bob Marley kurus dan tertawa
abadi
“dia sekadar Griot dari Jamaika;
pemabuk yang perlahan mati
kesepian,” katamu
di luar kamar, kerlip cahaya
lampu-lampu kota, kenangan terang
merangkum cerita kepahlawanan
musikus jalanan
yang berantakan
di sana kami bermukim,
mendengarkan
dan memakai kaos oblong
“casualties peace”
dan barangkali di luar sana, tuan
masih
mengibar rambut gimbalnya?
Tentang Puji
Pistols
Puji Pistols lahir dan tinggal di Pati. Menempuh pendidikan
hingga jenjang SMA, walau tak selesai. Mantan gitaris band grunge tak terkenal.
Bekerja sebagai peracik kopi. Puisi dalam buku ditulis dari tahun 2012-2018.
Catatan Lain
Halaman 5 dan 6 buku ini, memuat
apresiasi dari Hanna Fransisca dan Tia Setiadi. Kata Hanna: “ … ia membaca
banyak sumber, menziarahi para penyair dan prosais dari seluruh dunia lalu
memerasnya menjadi mata air yang mengilhami kreativitasnya. Ia kemudian
menciptakan sebuah dunia baru.” Kata Tia: “Dalam sebuah dunia yang bergebalau
dan ingar-bingar, sajak-sajak Puji Pistols menyeret saya ke dalam suatu dunia
privat yang hening, bening, dalam, jauh. … dengan konsentrasi dan intensitas
yang penuh, sehingga untuk beberapa jenak membuat kita terculik dari diri kita
sendiri, masuk merasuk ke dalam jagat alit sajak itu, yang ternyata
membentangkan keluasan tak tepermanai. …”
Adapun Anis Sholeh
Ba’asyin menulis begini: “Saya merasa bahwa Pujianto tidak pernah menulis
puisi, karena hidupnya sendiri adalah puisi. Ia bukan penyair, karena dia
adalah syair itu sendiri. Yang ia tulis hanyalah sekadar sepersekian huruf yang
ia comot dari buku kehidupannya.” Tulis Bagus Dwi Hananto: “Bagi anak-anak muda
yang mengenalnya, mungkin Puji Pistols laiknya Melquiades, gipsi tua dalam
novel Seratus Tahun Kesunyian, …
Orang-orang menyenanginya karena ia rendah hati, egaliter dan gampang diajak
ngobrol. Yang lain mengenangnya karena puisi-puisi sedih tentang cinta.”
Begitu.
Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.