buku puisi penyair perempuan

Rini Febriani Hauri: NIPAH PANJANG


 

                                                Data Kumpulan Puisi

 

Judul buku: Nipah Panjang

Penulis: Rini Febriani Hauri

Penerbit: Basabasi, Bantul,
Yogyakarta.

Cetakan: I, Oktober 2019

Tebal: 88 halaman (48 puisi)

Penyunting: Tia Setiadi

Pemeriksa Aksara: Aris Rahman

Tata Sampul: sukutangan

Tata Isi: Aira

Pracetak: Kiki

ISBN: 978-623-6631-43-0 (PDF)

 
Sepilihan puisi Rini Febriani
Hauri
dalam Nipah Panjang
 
Bayang-Bayang
 
aku ingin merekam kematian di
dalam puisi
di saat bayangnya terus memburuku
gagak-gagak beterbangan menuju
kepala
mengisap segala ingatan
tentang bahasa
 
aku ingin merekam kematian di
dalam puisi
sebab segala kehampaan adalah
pertanda yang sepi
seperti buku tua yang
ditinggalkan
dan rak-rak yang digerogoti rayap
saksi kekayaan terakhir
para penyair
 
aku ingin merekam kematian di
dalam puisi
ketika jemari semakin rapuh dan
kering
bahasa tidak menyelamatkan apa
pun
termasuk pikiranku
ia adalah mesin yang bekerja
di luar tubuh
 
aku ingin merekam kematian di
dalam puisi
di waktu-waktu yang disediakan
oleh semesta
di saat ajal sebentar lagi datang
aku ingin mati dan dilupakan
jagat raya
 
aku ingin merekam kematian di
dalam puisi
: kelak semua yang dibahasakan
akan dibisukan
 
Jerambah Bolong, 2017
 
 
Nipah Panjang
 
Nipah Panjang, kutelusuri engkau
angin di antara pucuk-pucuk
nibung
mengapung di Sungai Lokan
seribu jembatan tersenyum
menyambut ramah
 
kerikil tanah merah menembus kaki
nyiur dan pohom jambe tertiup
angin
berlarian di atas kepala
aroma pelabuhan
melepas kelahiran
kesunyian melengking,
seiring bunyi tongkang
dan gemeretak roda di lubang
jalan
betapa perjalanan ini begitu
manis
 
kapal-kapal itu membisu
dalam bayang-bayang yang tak
terkatakan
kopra dan jambe berlayar ke
negeri nun jauh
meninggalkan batang-batang yang
rapuh
akankah kita selamanya di sini?
memandang laut yang pura-pura
di antara muara dan bau amis
tersisa
 
dengarlah kelakar para cukong
menceritakan sejarah ikan-ikan
dari jala para nelayan
kapal-kapal kosong teronggok di
dermaga
tak ada lagi yang perlu
diseberangkan
laut telah menghapus maut
daratan memberikan kehidupan
 
tiang-tiang pancang pabrik
menghidupi para pelancong
dari sisik kulit kerang, pinang,
dan tempurung yang matang
cerobong-cerobong menyemburkan
harapan
bersitegang dengan rumah-rumah
papan
 
oh, terasi dan ikan asin
betapa sesak perjalananmu
sebagaimana diriwayatkan
daun-daun nipah
sepanjang lidah
 
oh, kehidupan yang kelam
bilamana kematian datang
seperti isyarat gelombang pasang
siapa yang akan tinggal di laut
menghuni kesepian?
ataukah semua ini berakhir
tatkala kita diasingkan daratan?
 
bersukacitalah, tanah yang
dirindukan
genggam jemariku, bersama jalan
berliku
demi berabad-abad pengasingan
akan kutanggalkan luapan duka
demi nyanyian burung malam yang
pecah
akan kuredam gejolak amarah
 
Jerambah Bolong, 2017
 
 
Sepasang Mata Ikan
 
Di mata ibu, ada sepasang mata
ikan
yang disukai ayahku
 
bahasa kesunyian mengeringkan air
mata
dari sebuah ironi dan penantian
: sebuah ranjang dingin, tanpa
selimut
 
gemerincing anak kunci seperti
amsal
sebab kepulangan yang dirindukan
adalah kemurungan yang tak
selesai
 
cat-cat tembok mengelupas
menyerupai parutan
serupa wajah ayah yang ditelan
laut
 
di dapur ibu, ada sepasang mata
ikan
yang tergantung pasrah pada
keheningan
 
malam di luar jendela,
mengisyaratkan kecemasan
antara kenangan dan kuburan
tak ada pilihan selain dilupakan
 
Jerambah Bolong, 2017
 
 
Biji Para
 
Biji para menjatuhkan tubuhnya
ke atap rumahmu
di masa kanak,
kau memungut dan memainkannya
 
tapi masa lalu sudah usai
dan teman bermainmu
menjelma mesin di perkotaan
 
pohon-pohon karet mengeluarkan
kental putih darah
mengalirkan kesunyian ke
jantungmu
 
di antara biji-bijian dan
dedaunan
yang berguguran
mata ibumu yang asing
menangkap matamu di jendela
 
lalu, kau bergegas ingin pulang
: menuju kesendirian dan kuburan
 
Jerambah Bolong, 2017
 
 
Air Hitam
 
kuserahkan diriku; sebuah tanah
yang diam
mencengkeram kesunyian
di dermaga, daun-daun berguguran
suara kematian jauh
dari kapal-kapal yang berlabuh
 
aroma kopra dan dendang melayu
menyapa kehampaan yang berdenging
di telinga
hujan turun begitu cepat
sampah tergenang di tinggi kaki
rumah
pasang air sungai tertinggal di
matamu
kesedihan merayap ke tubuhmu
 
ini bulan safar
langit membuka ruang bagi
burung-burung camar
segala yang berjarak melebur
kerinduan
airmu menjadi payau
disesap rumpun-rumpun bakau
mantra dan doa serupa perjamuan
yang tak habis bagi pasasir
sedandang lepat ditanak;
segala yang dipanjatkan lekas
berpijak
sepucuk nipah serumpun nibung
selamatlah dunia!
selamatlah jiwa-jiwa!
 
oh, bulan safar
bintang di ufuk bersinar terang
betapa pasang dan surut
tak lebih dari pulang
kepada maut
 
Jerambah Bolong, 2017
 
 
Dongeng Bukit Duabelas
 
Kami hanyalah sisa-sisa belantara
di antara gempita eskavator dan chainsaw
yang memberadabkan negeri dari
tradisi
 
di antara setapak yang jauh masuk
ke tengah rimba
para dewa bersemayam menanam biji
dan kesuburan
hingga tumbuhlah moyang dan inang
kami
seperti bersatunya lumut pada
tumpukan batu
dan kayu
 
sejak peradaban datang,
siang semakin lama menjelang
dan hati terasa pengap diterpa
kabut asap
 
babi hutan sulit ditemukan
pohon-pohon sawit mengisap
kehidupan
sepanjang sungai pergi dan
terlupakan
 
pokok-pokok kayu menganga
seperti mengisahkan dongeng
cenayang
yang tak lagi singgah memberi
isyarat
pada tumenggung yang letih
menerka masa depan
 
kau lihat? beras telah melahirkan
kaum eksodus
yang rela keluar rimba tanpa
kepastian
dan juga restu nenek moyang
kecuali mereka menjadi kuli dari
lahan sawit
sekadar mengobati rasa takut dari
perut yang buncit
 
di sudung yang murung, beras tinggal dua gelas
betapa nahas hidup terkatung di
tengah rimba
pelahan-lahan dihancurkan
pendatang
 
lihatlah, jalan-jalan terbuka
lebar dan matang
semakin ke dalam, semakin lapang;
hanya deru angin menyapu hamparan
belukar
 
Muaro Jambi, 2018
 
 
Di Sialang
 
Di Sialang,
hutan tinggal bayang
tak ada jalan menuju pulang
pada bayangan sendiri
tersisa gelap yang menyakitkan
 
di Sialang,
kampung-kampung terasa hampa
sebab udara bernubuat dengan
kesepian
kami serupa manekin
yang menunggu talkin dibisikkan
 
di Sialang
maut seperti lahan gambut
yang menelan pohon-pohon
mambang pergi jauh
meninggalkan mastodon
 
di Sialang,
rumah-rumah seperti batu
tidak mampu menahan rindu
dan pelan-pelan,
kami terbakar zaman
 
Muaro Jambi, 2018
 
 
Amsal
 
Bilamana aku bukanlah gadis rimba
aku ingin menjadi pemimpin yang
setia
dari segala perjalanan
hingga para dewa datang
dan wajah semesta menghujatku
 
wahai mimpi-mimpi dalam tubuhku
wahai pohon-pohon gersang dalam
jiwaku
di mana akan kujumpai
segala yang bersembunyi?
 
Muaro Jambi, 2018
 
 
Induk Bejajo
 
ci la’ be’ be’
ci la’ be’ be’
 
di jalan setapak belantara
induk bejajo tak henti merapal
mantra
ambung penuh singkong menjangkau
kesunyian
langit telah terang dan air
matanya tak hendak turun
sebab petunjuk dewa bukanlah
dusta
dan muasal perjalanan menyisakan
kehampaan
 
ci la’ be’ be’
ci la’ be’ be’
 
di tepi gubuk tanpa dinding
tuhan mengiriminya cinta
dan orang berperut besar
menjadikannya nestapa
 
nasib adalah sepasang buah dada
yang keriput dimakan usia
 
“cara kami melawan
adalah dengan menanam.”
 
Muaro Jambi, 2018
 
 
Seloko
 
bahwa akulah pinang yang
diriwayatkan
dari remang seberang yang tak
dibayangkan
 
dan engkaulah sirih yang letih
mencecap segala getir yang perih
 
di tepak cerano, adat adalah pesako
kato dituang menjadi lembago
 
 
/i/ Beghusik Sighih Begughau Pinang
 
sudah kuduga kau akan bertandang
dari pulau nun jauh di seberang
 
kau bujang dan aku gadis
kito besuo di hadapan majelis
 
oh sirihku, akulah pinang yang
beruntung
menahan getir di ujung lidah
 
kepada bujang pemilik rindu
yang bersampan dari seberang hulu
 
dan aku yang bertahan di hilir
menunggu dalam cemas tiada akhir
 
kupasrahkan hidup pada adat
sebab setiap napas akan pampat
 
/ii/ Tegak Batuik Duduk Batanyo
 
wahai Mak Inang,
akulah bujang dari seberang
dengan peluh keberanian
aku datang bertandang
 
cerano ini adalah isyarat
bahwa cinta takkan berkhianat
kau yang menyediakan tempat
aku yang akan bermufakat
 
/iii/ Serah Terimo Adat Lembago
 
telah kami panggil kau dari jauh
menjadi saksi cerano yang utuh
 
wahai ninik mamak,
bujang dan gadis ini tak lagi
kanak
 
kami datang dari jauh
menempuh jajuh meniti larik,
bukit yang tinggi lah kami daki
lurah nan dalam lah kami turuni
 
“anak pungguk mengindukan bulan
akan tetapi, ndak kami apokan, ninik mamak,
hatinyo lah samo bakutuk
mato lah samo besetan”1
 
wahai ninik mamak,
terimalah bujang kami
yang sederhana ini
 
/iv/ Adat Diisi Lembago Dituang
 
sekapur sirih dipersembahkan
cincin belah rotan disematkan
 
kapada adat, martabat diangkat
kepala lumbago, dapur dijago
 
selemak semanis, seasam segaram
pendiangan telah dinyalakan
dan ikrar tidak boleh padam
 
/v/ Cuci Kaki Santan Bermanis
 
santan ini akan menuba segala
dosamu
sebab air saja tidak cukup
menanggungkannya
 
di altar suci, inilah kita
sepasang muda yang hina
di antara kegilaan dan kesenangan
segalanya bermula dari sini
 
maka kubasuh kakimu
sebelum memasuki
dosa-dosa selanjutnya
 
/vi/ Nasi Sapat
 
oh, nikmatnya dunia
dari lidah hingga ke dada
cecap dan kunyahlah
lemak nan gurih ini
 
“sudah tidak ada lagi
gulai di dapur.
tidak lagi datang kerabat
barangkali inilah nasi sapat
yang terakhir.”
 
manusio berpingkat turun
meninggalkan laku dengan perangai
perangai bujang tinggallah di bujang
perangai gadis tinggallah di gadis
jangan leko di ujung tanjung
melihat ayek sedang hilir2
 
Muaro Jambi, 2018
1) 2) dikutip dari buku Prosesi Pernikahan Adat Melayu Kota Jambi (2012)
 
 
Tentang Rini Febriani Hauri
Rini Febriani Hauri lahir di Jambi,
28 Juli. Bukunya antara lain Suatu Sore Bersama
Jassin
(puisi, 2016), Perempuan dalam
Dua Kisah
(cerpen, 2017), Bececakop
(esai, 2018), Lubuk Bumbun (buku
anak, 2017), Hikayat Depati Parbo
(2017), Kuliner Khas Jambi, Sedap Nian Oi
(2018), Sultan Thaha Saifuddin
(2018). Menetap di Jambi.
 
 
Catatan Lain
            Pengantar Penyair ada
di halaman 5 dan 6. Tulisnya: “Puisi-puisi yang saya tulis di buku ini bukan
merupakan catatan perjalan hidup saya, namun lebih kepada rekam jejak kehidupan
lingkungan sekitar yang saya amati, baik hal yang menyangkut tentang alam,
mitos, tradisi, rahasia, teka teki, maupun masalah kehidupan di tanah
kelahiran.” 


Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top