Sejarah Pemberontakan Kahar Muzakkar – Indonesia memang telah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, akan tetapi situasi yang tidak kondusif masih saja menghiasi Indonesia. Baik itu yang dilakukan oleh pihak asing dalam hal penjajah yang masih terus mencoba menanamkan kembali pengaruhnya di tanah air, maupun yang dilakukan oleh pihak-pihak maupun golongan-golongan internal bangsa Indonesia sendiri.
Diantara peristiwa tidak kondusif tersebut ialah yang dilakukan oleh beberapa kelompok pemberontakan. Peristiwa Apris, Permesta, Andi Azis, serta DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), adalah sebagian dari beberapa peristiwa pemberontakan yang terjadi diawal-awal kemerdekaan Indonesia. Peristiwa ini merupakan suatu peristiwa pemberontakan atas ketidak-puasan seorang Kahar Muzakkar terhadap keputusan pemimpin tertinggi Tentara Nasional Indonesia, dalam hal ini Jenderal H.A. Nasution. Pemberontakan ini terjadi di Slawesi Selatan. Pemberontakan Kahar Muzakkar selanjutnya mengatasnamakan pergerakannya dibawah nama NII pimpinan Kartosuwiryo Pada Tahun 1953.
A. Mengenal sosok Kahar Muzakar
Kahar Muzakkar[1], lahir dari keluarga Bugis berdarah panas, yang tak mengenal kata gentar dalam kamus hidupnya. Lahir 24 Maret 1921, di Kampung Lanipa, Pinrang, Sulawesi Selatan. Pada waktu kecil di gemar sekali bermain Domino hingga akhirnya ia juga sering di panggil dengan nama La Domeng, selain pandai bermain Domino ia juga gemar sekali bermain perang-perangan dengan menggunakan pelepah pisang sebagai pengganti tembakannya, kahhar sendiri termasuk anak yang pandai dan cerdas. Pada usia remaja, ia telah diminta oleh sang ayah untuk merantau menimba pengetahuan, dan Jawa menjadi tujuannya. Di perguruan Muhammadiyah Solo selama 3 tahun (1938-1941), ia menimba ilmu agama, tetapi ia tidak menyelesaikan studinya karena dia terburu menikah dengan gadis Solodan kembali ke Palopo[2].
Di sini pula (Palopo) ia untuk pertama kali bergerak dalam gerakan Hizbul Wathon bersama para pemuda Muhammadiyah di kampung halamannya, hingga tentara Jepang mendatrat di Indonesia.
La Domeng yang kagum dengan seorang cendikiawan muslim di Yogyakarta, Abdul Kahar Muzakar, lalu memakai nama Kahar Muzakar. Semasa awal Kahar Muzakar tampil sebagai pemuda yang pemberani. Wajahnya muncul dalam sebuah foto penting dalam sejarah Indonesia. Dimana terekam, dengan sebilah goloknya, Kahar sedang mengawal Soekarno yang akan berpidato dalam sebuah rapat raksasa di lapangan Ikada.
Gejolak revolusi kemerdekaan Indonesia yang kacau membuat Kahar juga mendirikan Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi (GEPIS) yang beranggotakan pemuda Sulawesi yang ada di Jawa. Organisasi ini lalu melebur dalam Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Setelah bertahun-tahun di Jawa sebagai perwira militer Republik yang memimpin banyak gerilyawan asal Sulawesi, Kahar akhirnya pulang ke Sulawesi pada tanggal 22 Juni 1950, setelah sebelumnya dia dikenai hukuman adat dan di usir dari tanah kelahirannya dan tidak boleh menginjakkan kakinya lagi karena perbuatannya yang menuntut penghapusan sistem feodal yang telah mengakar di Sulawesi, dan itu di anggap sangat melanggar adat. Dia kembali dengan ketanah kelahiran yang telah membuangnya dulu. Tanda pangkat dipundak dan pengarunya dalam militer tentu membuat Kahar diperhitungkan di tanah yang pernah membuangnya itu. Dia menjadi terpandang[3].
Pada periode inilah ia terjun total dalam kancah perjuangan kemerdekaan. Ia mendirikan sebuah toko bernama Toko Luwu yang ia jadikan sebagai markas gerakannya. Kiprah ini pula yang mengantar beberapa muda menemui Kahar Muzakkar suatu malam dan meminta ia membantu pembebasan pemuda-pemuda berjumlah 800 di Nusakambangan. Pembebasan itu terjadi pada Desember 1945, dan 800 orang yang dibebaskan menjadi cikal bakal lasykar yang dibentuknya. Lasykar yang diberinama Komandan Groep Seberang ini pula yang menjadi motor perlawanan secara militer di Sulawesi Selatan. Tapi, dalam perjalanannya, lasykar yang dipimpinnya dipaksa bubar oleh pemerintahan Soekarno yang baru berdiri. Dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel, ia menjadi perwira tanpa pasukan yang diterlantarkan. Setelah itu, ia masih mencoba untuk berkiprah dengan mendirikan Partai Pantjasila Indonesia.
Pada tanggal 7 Agustus 1953, ia memproklamirkan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia. Dan proklamasi ini adalah awal dari babak baru perjuangan Abdul Kahar Muzakkar. Gerakan yang diusungnya ini mendapat simpati dari rakyat, bahkan kemudian, banyak anggota TNI yang disertir, melarikan diri masuk hutan dan bergabung bersama NII Sulawesi Selatan. Perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno masih terus dilakukan, dan tercatat sebagai perlawanan terpanjang dalam sejarah TNI di Sulawesi. Sebenarnya ia menaruh harapan yang sangat besar pada Soekarno. Ia berharap Soekarno mengawal Indonesia menjadi sebuah negara berdasarkan Islam, yang akan mengantarkannya pada kebesaran.
3. Sejarah Pemberontakan Kahar Muzakar
Dengan tercapainya persetujuan LinggarJati, maka terjadilah perubahan-perubahan yang amat mempengaruhi kedudukan dan organisasi-organisasi perjuangan termasuk TRI Persiapan Sulawesi. TRI Persiapan Sulawesi dan Biro Perjuangan Departemen Pertahanan. Pasukan Sulawesi ini berkedudukan pusat di Malang (Jawa Timur) sampai terjadi perang kolonial/agresi pertama. Pasukan-pasukan TRI Persiapan Sulawesi diberikan status Resimen, dengan nama Resimen Hasanuddin. Setelah Biro Perjuangan di lebur, maka Resimen Hasanuddin pun mengalami peleburan kedalam Brigade II.X. Setelah itu terjadi re-organisasi pasukan-pasukan melalui rasionalisasi. Brigade II.X bersama Brigade I.X dijadikan Brigade XVI dan berlanjut hingga terjadinya perang kolonial/agresi kedua[6].
Gerakan menuju tentara pemerintah yang profesional pun dimulai. Anggaran pemerintah yang tidak mencukupi untuk menggaji para tentara harus membuat jumlah tentara dikurangi. Dimana, dari mantan gerilyawan hanya sedikit saja yang akan diambil untuk masuk kedalam ketentaraan. Mantan gerilyawan yang berpendidikan rendah umumnya tidak memiliki disiplin layaknya tentara profesional. Atas dasar jasa-jasa mereka semasa revolusi mereka pun menuntut agar mereka dimasukkan dalam ketentaraan. Hal menyakitkan yang mereka dengar adalah dimasukkannya mantan KNIL, dalam ketentaraan. KNIL dianggap memiliki latar belakang militer profesional yang baik dibandingkan gerilyawan. Tentu saja banyak mantan gerilyawan sakit hati, karena KNIL adalah bekas musuh mereka semasa revolusi kemerdekaan dulu[7].
Atas dasar ini, Kahar Muzakar yang merasa posisinya sebagai perwira militer terancampun mengajukan tuntutan agar sebagian bekas gerilyawan dimasukkan dalam ketentaraan. Kahar meminta adanya sebuah Brigade yang beranggotakan mantan gerilyawan, dimana Kahar menjadi komandannya dan nama kesatuannya adalah Brigade Hasanuddin.
Tuntutan Kahar ditolak oleh petinggi tentara pemerintah, dalam hal ini Kolonel Alex Kawilarang yang kemudian membubarkan KGSS. Reaksi Kawilarang ini membuat Kahar mengundurkan diri dari militer dan memilih melarikan diri ke hutan. Dari hutan itu, Kahar melancarkan pemberontakannya. Hingga akhirnya Kartosuwiryo yang memimpin Negara Islam Indonesia mengajak Kahar Muzakar untuk bergabung sebagai Panglima Tentara Islam Indonesia Sulawesi Selatan. Kahar menerima ajakan tersebut pada 20 Januari 1952. Pasukan Kahar kali ini bernama Divisi Hasanuddin.
4. Hubungan Kahar dengan Permesta
Masalah kontak Permesta dengan Kahar adalah suatu masalah yang sukar dan rumit, sebagian disebabkan karena sukar sekali menetapkan apakah dan kapan perundingan itu benar-benar berlangsung. Dalam suatu rapat yang telah berlangsung lama tanggal 16 April 1957 Dewan Penasihat Permesta telah mendiskusikanasal-usul pemberontakan dan prospek untuk mengadakan perundingan dengan Kahar. Di antara saran-saran yang dibuat berbunyi tidaklah cukup hanya sekedar mengeluarkan seruan kepada kaum pemberontak agar kembali kejalan yang benar, tetapi harus ada persiapan untuk menampung mereka. Resolusi kongres BTI menyerukan agar kebijaksanaan untuk berundinglah yang di tempuh bukan kekerasan untuk mengakhiri pemberontakan. Kelompok kerja DPP pada tanggal 21 Mei 1957 diberi tahu bahwa “Pemerintah Militer, sesuai dengan kebijaksanaan untuk memulihkan keamanan, akan mengadakan pertemuan dengan Abdul Kahar Muzakar”, dan kelompok kerja itu menegaskan dukungannya untuk langkah ini.
Menurut diskusi pendahuluan dalam dewan-dewan Permesta mengenai perundingan dengan Kahar, tujuan perundingan semacam itu adalah untuk mengakhiri pemberontakan. Tetapi, setelah Permesta sendiri terlibat dalam pemberontakan terhadap pemerintah pusat, perundingan dengan Kahar menambil aspek yang sama sekali berbeda, yaitu mengenai pembentukkan front persatuan untuk meneruskan pemberontakkan terhadap pemerintahan pusat[8].
5. Akhir Pemberontakan Kahar Muzakar
Perlawanan Kahar Muzakar terhadap pemerintah pusat di Sulawesi Selatan tergolong lama dibandingkan yang melibatkan DI lainnya. namun lama-kelamaan gerakan militer pemberontak ini pun terjepit. Konflik intern antara Kahar dan Bahar Mattalioe membuat gerakan pemberontakkannya semakin melemah dari waktu kewaktu. Bahar lalu menyerah dan menghentikan pemberontakanya dan menyerah dan menghentikan pemberontakkanya bersama Kahar setelah bertahun-tahun bersamanya. Kahar Muzakar yang mulai berontak sejak tahun 1950 baru berhenti melawan pada februari 1965. Pada bulan itu Kahar Muzakar berhasil ditembak mati oleh anggota sepasukan tentara pemerintah dari Divisi Siliwangi yang didatangkan dari Jawa Barat ke Sulawesi Selatan. Pemberontakan DI/TII Kahar Mauzakkar akhirnya dapat ditumpas pada tanggal 3 Februari 1965, melalui Operasi Tumpas, ia dinyatakan tertembak mati dalam pertempuran antara pasukan TNI dari satuan Siliwangi 330 dan anggota pengawal Kahar Muzakkar di Lasolo[9].
Kesimpulan
Pemberontakkan yang sedemikian lama melanda Sulawesi Selatan merupakan suatu pergolakkan intern di lingkungan daerah itu untuk memperebutkan kedudukan penguasaan atas sumber-sumber ekonomi, dan merupakan protes terhadap berbagai kebijaksanaan nasional yang dianggap bertentangan dengan kepentingan daerah dan pribadi-pribadi yang terlibat. Salah satu persoalan utama di bidang politik awal 1950 adalah masalah hubungan Sulawesi Selatan dengan NIT maupun Republik Indonesia. Dibidang militer persaingan berlangsung dengan rumit, karena kebijaksanaan yang dibuat di tingkat nasional, yang berdasarkan pertimbangakn-pertimbangan nasional, seringkali mempunyai akibat-akibat yang tidak diharapkan di daerah. Kebijaksanaan nasional Angkatan Darat berupa Rasionalisasi dan Reorganisasi menguntungkan kelompok berpendidikan Barat yang kecil jumlahnya di Indonesia, dan karena kelompok ini sangat kecil jumlahnya di Sulawesi Selatan.
Para peserta utama dalam persaingan untuk kepemimpinan militer di Sulawesi Selatan pada tahun 1950 tidak berasal dari kaum ningrat, tetapi wakil-wakil dari dua kelompok baru yang muncul selama kurun waktu pemerintahan Belanda: Saleh Lahade dari kelompok yang berpendidikan Barat, dan Kahar Muzakar dari kelompok yang berpendidikan Islam. Keduanya telah berjuang bersama TNI di Jawa selama masa revolusi. Saleh Lahde merupakan perwujudan kualitas yang dikehendaki oleh pimpinan Angkatan Darat untuk tentara profesional, dan diberi kedudukan yang bertanggung jawab di markas besar komando Indonesia Timur di Makassar, maka Kahar Muzakar, yang tidak memenuhi kualifikasi ini, digeser di samping ke dudukan staf yang tidak penting di Jakarta.
Sekalipun kahar-lah yang mendapat julukan “pemberontak”, harus diingat bahwa ia bukanlah satu-satunya “penguasa perang” di Sulawesi Selatan.
Sumber Referensi
Harvey, Barbara Sillars. 1984. Permesta Pemberontakkan Setengah Hati. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
Harvey, Barbara Sillars. 1989. Pemberontakkan Kahhar Muzakkar “Dari Tradisi ke DI/TII. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
Jackson, D. Karl. 1990. Kewibawaan Tradisional, Islam, dan Pemberontakkan : Kasus DI Jabar. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi III, Jakarta, Balai Bahasa Pustaka, 2005
Mattalioe, Bahar. 2006. Petualang Qahhar Mudzakar : Operasi Tumpas / Kilat Mengakhiri Hidupnya. Yogyakarta : Ombak.
Petrik Matanasi. 2009. Pemberontak Tak (Selalu) Salah: Seratus Pembangkang di Nusantara. Yogyakarta: Indonesia Buku.
Sjamjuddin, Nazarudin. 1990. Pemberontakkan Kaum Republik “Kasus Darul Islam Aceh”. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
Taufik Abdullah, Aswab Mahasin&Daniel Dhakidae. 1981. Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES.
http://pemberontakan-ditii-kahar-mudzakkar.com diakses 19/04/2012-19:38
Nama aslinya adalah La Domeng, tetapi karena dia kagum dengan sosok cendikiawan muslim di Yogyakarta yang bernama Abdul Kahar Mudzakar, lalu La Domeng memakai nama Kahar Muzakar.
Taufik Abdullah, Aswab Mahasin&Daniel Dhakidae. Manusia Dalam Kemelut Sejarah. (Jakarta: LP3ES, 1981), halm. 176.
Petrik Matanasi. Pemberontak Tak (Selalu) Salah: Seratus Pembangkang di Nusantara. (Yogyakarta: Indonesia Buku, 2009). Halm. 389-399
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi III, Jakarta, Balai Bahasa Pustaka, 2005, halm. 101, 141-142 & 962.
Petrik Matanasi. Op Cit . Halm.7-47.
Taufik Abdullah, Aswab Mahasin&Daniel Dhakidae. Op Cit. Halm. 180
Petrik Matanasi. Op Cit . Halm. 399
Harvey, Barbara Sillars. Pemberontakkan Kahhar Muzakkar “Dari Tradisi ke DI/TII. (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1989). Halm.307-308
http://pemberontakan-ditii-kahar-mudzakkar.com diakses 19/04/2012-19:38
Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.