Kalender Jawa atau Penanggalan Jawa adalah sistem penanggalan yang digunakan oleh Kesultanan Mataram dan berbagai kerajaan pecahannya dan yang mendapat pengaruhnya. Penanggalan ini memiliki keistimewaan karena memadukan sistem penanggalan Islam, sistem Penanggalan Hindu, dan sedikit penanggalan Julian yang merupakan bagian budaya Barat.
Sistem kalender Jawa memakai dua siklus hari: siklus mingguan yang terdiri dari tujuh hari (Ahad sampai Sabtu) dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari lima hari pasaran. Pada tahun 1625 Masehi (1547 Saka), Sultan Agung dari Mataram berusaha keras menanamkan agama Islam di Jawa. Salah satu upayanya adalah mengeluarkan dekret yang mengganti penanggalan Saka yang berbasis perputaran matahari dengan sistem kalender kamariah atau lunar (berbasis perputaran bulan). Uniknya, angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan, tidak menggunakan perhitungan dari tahun Hijriyah (saat itu 1035 H). Hal ini dilakukan demi asas kesinambungan, sehingga tahun saat itu yang adalah tahun 1547 Saka diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa.
Sejarah Penanggalan Lengkap (Sejarah Kalender Lengkap)
Dekret Sultan Agung berlaku di seluruh wilayah Kesultanan Mataram: seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi (=Balambangan). Ketiga daerah terakhir ini tidak termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung. Pulau Bali dan Palembang yang mendapatkan pengaruh budaya Jawa, juga tidak ikut mengambil alih kalender karangan Sultan Agung ini.
Di bawah ini disajikan nama-nama bulan Jawa Islam. Sebagian nama bulan diambil dari Kalender Hijriyah, dengan nama-nama Arab, namun beberapa di antaranya menggunakan nama dalam bahasa Sanskerta seperti Pasa, Sela dan kemungkinan juga Sura. Sedangkan nama Apit dan Besar berasal dari bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Nama-nama ini adalah nama bulan kamariah atau candra (lunar). Penamaan bulan sebagian berkaitan dengan hari-hari besar yang ada dalam bulan hijriah, misalnya Pasa berkaitan dengan puasa Ramadhan, Mulud berkaitan dengan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awal, dan Ruwah berkaitan dengan Nisfu Sya’ban di mana dianggap amalan dari ruh selama setahun dicatat.
Daftar bulan Jawa Islam
Nama-nama bulan tersebut adalah sebagai berikut :
# Warana • Sura, artinya rijal
# Wadana • Sapar, artinya wiwit
# Wijangga • Mulud, artinya kanda
# Wiyana • Bakda Mulud, artinya ambuka
# Widada •Jumadi Awal, artinya wiwara
# Widarpa • Jumadi Akhir, artinya rahsa
# Wilapa • Rejep, artiya purwa
# Wahana • Ruwah, artinya dumadi
# Wanana • Pasa, artinya madya
# Wurana • Sawal, artinya wujud
# Wujana • Sela, artinya wusana
# Wujala • Besar, artinya kosong
Keterangan :
Nama alternatif bulan Dulkangidah adalah Sela atau Apit. Nama-nama ini merupakan peninggalan nama-nama Jawa Kuno untuk nama musim ke-11 yang disebut sebagai Hapit Lemah. Sela berarti batu yang berhubungan dengan lemah yang artinya adalah “tanah”. Lihat juga di bawah ini.
Sejarah Kalender Jawa, Sejarah Penanggalan Jawa, Sejarah Kalender Lengkap, Sejarah Penanggalan Jawa Lengkap, Sejarah Kalender Bali, Sejarah Kalender Bali Lengkap, Sejarah Kalender Tengger, Sejarah Kalender Tengger Lengkap, Sejarah Kalender Hijriyah, Sejarah Kalender Hijriyah Lengkap, Sejarah Kalender Saka, Sejarah Kalender Saka Lengkap, Sejarah Pranata Mangsa, Sejarah Pranata Mangsa Lengkap, Perhitungan Kalender Jawa, Perhitungan Kalender Jawa Lengkap, Perhitungan Penanggalan Jawa Lengkap, Perhitungan Penanggalan Jawa Bali Lengkap,
Pada tahun 1856 Masehi, karena penanggalan kamariah dianggap tidak memadai sebagai patokan para petani yang bercocok tanam, maka bulan-bulan musim atau bulan-bulan surya yang disebut sebagai pranata mangsa, dikodifikasikan oleh Sunan Pakubuwana VII atau penggunaannya ditetapkan secara resmi. Sebenarnya pranata mangsa ini adalah pembagian bulan yang sudah digunakan pada zaman pra-Islam, hanya saja disesuaikan dengan penanggalan tarikh kalender Gregorian yang juga merupakan kalender surya, dan meninggalkan tarikh Hindu; akibatnya umur setiap mangsa berbeda-beda.
Daftar bulan Jawa matahari
Keterangan :
Dalam bahasa Jawa Kuno mangsa kesebelas disebut hapit lemah sedangkan mangsa keduabelas disebut sebagai hapit kayu. Lalu nama dhesta diambil dari nama bulan ke-11 penanggalan Hindu dari bahasa Sanskerta jyes.t.ha dan nama sadha diambil dari kata âs.âd.ha yang merupakan bulan keduabelas.
Oleh orang Jawa tahun-tahun digabung menjadi satu, yang terdiri dari delapan tahun Jawa. Setiap satuan ini terdiri atas 8 tahun Jawa dan disebut windu. Windu sendiri bergulir empat putaran (32 tahun Jawa) : Adi, Kuntara, Sangara, dan Sancaya. Di bawah disajikan nama-nama tahun dalam satu windu
Siklus windu
Jumlah 2835 hari genap dibagi 35 /selapan (hari pasaran)
Nama-nama tahun tersebut adalah sebagai berikut :
↷ Purwana • Alip, artinya ada-ada (mulai berniat)
↷ Karyana • Ehe, artinya tumandang (melakukan)
↷ Anama • Jemawal, artinya gawe (pekerjaan)
↷ Lalana • Je, artinya lelakon (proses, nasib)
↷ Ngawana • Dal, artinya urip (hidup)
↷ Pawaka • Be, artinya bola-bali (selalu kembali)
↷ Wasana • Wawu, artinya marang (kearah)
↷ Swasana • Jimakir, artinya suwung (kosong)
Simbol siklus pasaran dalam kalender jawa
Orang Jawa pada masa pra Islam mengenal pekan yang lamanya tidak hanya tujuh hari saja, namun dari 2 sampai 10 hari. Pekan-pekan ini disebut dengan nama-nama dwiwara, triwara, caturwara, pañcawara (pancawara), sadwara, saptawara, astawara dan sangawara. Zaman sekarang hanya pekan yang terdiri atas lima hari dan tujuh hari saja yang dipakai, namun di pulau Bali dan di Tengger, pekan-pekan yang lain ini masih dipakai.
Pekan yang terdiri atas tujuh hari dihubungkan dengan sistem bulan-bumi. Gerakan (solah) dari bulan terhadap bumi berikut adalah nama dari ke tujuh nama hari tersebut :
↷ Radite • Minggu, melambangkan meneng (diam)
↷ Soma • Senen, melambangkan maju
↷ Hanggara • Selasa, melambangkan mundur
↷ Budha • Rabu, melambangkan mangiwa (bergerak ke kiri)
↷ Respati • Kamis, melambangkan manengen (bergerak ke kanan)
↷ Sukra • Jumat, melambangkan munggah (naik ke atas)
↷ Tumpak • Sabtu, melambangkan temurun (bergerak turun)
Pekan yang terdiri atas lima hari ini disebut sebagai pasar oleh orang Jawa dan terdiri dari hari-hari:
↷ Legi
↷ Pahing
↷ Pon
↷ Wage
↷ Kliwon
Hari-hari pasaran merupakan posisi sikap (patrap) dari bulan sebagai berikut :
↷ Kliwon • Asih, melambangkan jumeneng (berdiri)
↷ Legi • Manis, melambangkan mungkur (berbalik arah kebelakang)
↷ Pahing • Pahit, melambangkan madep (menghadap)
↷ Pon • Petak, melambangkan sare (tidur)
↷ Wage • Cemeng, melambangkan lenggah (duduk)
Kemudian sebuah pekan yang terdiri atas tujuh hari ini, yaitu yang juga dikenal di budaya-budaya lainnya, memiliki sebuah siklus yang terdiri atas 30 pekan. Setiap pekan disebut satu wuku dan setelah 30 wuku maka muncul siklus baru lagi. Siklus ini yang secara total berjumlah 210 hari adalah semua kemungkinannya hari dari pekan yang terdiri atas 7, 6 dan 5 hari berpapasan.
Penampakan bulan dalam penanggalan jawa :
Tanggal 1 bulan Jawa, bulan kelihatan sangat kecil-hanya seperti garis, ini dimaknakan dengan seorang bayi yang baru lahir, yang lama-kelamaan menjadi lebih besar dan lebih terang.
Tanggal 14 bulan Jawa dinamakan purnama sidhi, bulan penuh melambangkan dewasa yang telah bersuami istri.
Tanggal 15 bulan Jawa dinamakan purnama, bulan masih penuh tetapi sudah ada tanda ukuran dan cahayanya sedikit berkurang.
Tanggal 20 bulan Jawa dinamakan panglong, orang sudah mulai kehilangan daya ingatannya.
Tanggal 25 bulan Jawa dinamakan sumurup, orang sudah mulai diurus hidupnya oleh orang lain kembali seperti bayi layaknya.
Tanggal 26 bulan Jawa dinamakan manjing, di mana hidup manusia kembali ketempat asalnya menjadi rijal lagi.
Sisa hari sebanyak empat atau lima hari melambangkan saat di mana rijal akan mulai dilahirkan kembali kekehidupan dunia yang baru.
Referensi :
- Pigeaud, Th., 1938, Javaans-Nederlands Woordenboek. Groningen-Batavia: J.B. Wolters
- Ricklefs, M.C., 1978, Modern Javanese historical tradition: a study of an original Kartasura chronicle and related materials. London: School of Oriental and African Studies, University of London
Sumber : wikipedia
Kalender Tengger merupakan turunan Kalender Hindu yang digunakan oleh Suku Tengger di daerah Jawa Timur. Karena itu Kalender Tengger termasuk dalam kalender bulan-matahari dimana satu bulan sama dengan satu bulan sinodis (29 hari matahari 12 jam 44 menit 2,87 detik pada 1 Januari 2000 M) dan satu tahun sama dengan satu tahun tropis (365 hari matahari 5 jam 48 menit 45.19 detik pada 1 Januari 2000 M). Tetapi walaupun Kalender Hindu merupakan kalender astronomis yang berdasarkan pengamatan langit, Kalender Tengger merupakan kalender matematis yang berdasarkan perhitungan angka.
Hari
Sebagaimana kalender tradisional Indonesia (e.g. Kalender Jawa Kuno, Kalender Jawa, & Kalender Bali), ada beberapa jenis pekan yang digunakan dalam Kalender Tengger. Pancawara / pasaran (lima hari dalam satu pekan) terdiri dari : Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Manis. Sadwara / paringkelan (enam hari dalam satu pekan) terdiri dari : Aryang, Wurukung, Paniron, Uwas, Mawulu, dan Tungle. Saptawara / padinan (tujuh hari dalam satu pekan) terdiri dari : Dite, Soma, Anggara, Buda, Respati, Sukra, dan Tumpek. Hastawara / paguron (delapan hari dalam satu pekan) terdiri dari : Sri, Indra, Guru, Soma, Rudra, Brama, Kala, dan Uma. Nawawara / padangon (sembilan hari dalam satu pekan) terdiri dari : Dangu, Janggur, Gigis, Kerangan, Nohan, Kawokan, Wurungan, Tulus, dan Dadi.
Wuku
Sebagaimana kalender tradisional di Pulau Jawa dan Pulau Bali, Kalender Tengger juga menggunakan faktor wuku dalam pencatatan waktu yang merupakan kombinasi dari pasaran, paringkelan, dan padinan. Nama, urutan, dan sistemnya sama dengan wuku pada kalender lain tersebut.
Tanggal
Di antara pengguna Kalender Tengger ada dua cara untuk menghitung tanggal dalam satu bulan. Cara pertama adalah dengan mengikuti metode Kalender Hindu yang menentukan ada 30 tithi dalam satu bulan. Satu tithi sama dengan satu hari bulan (23 jam 37 menit 28 detik), yaitu satu bulan sinodis (29 hari matahari 12 jam 44 menit 2,87 detik) dibagi 30 hari bulan. Selisih 22 menit 32 detik antara satu hari bulan (23 jam 37 menit 28 detik) dengan satu hari matahari (24 jam 00 menit 00 detik) akan terkumpul menjadi satu hari matahari setiap 64 hari bulan atau 63 hari matahari. Untuk mengatasi hal ini maka setiap 63 hari matahari (atau sembilan pekan atau sembilan wuku) ada satu tanggal yang dilewati. Hari dengan dua tanggal ini disebut dengan istilah mecak. Cara kedua adalah dengan mengikuti metode Kalender Islam yang menentukan ada 29 hari dalam bulan Kasa, ada 30 hari dalam bulan Karo, dan demikian seterusnya bergantian hingga ada 30 hari dalam bulan Sadha. Dengan kedua cara tersebut maka Kalender Tengger dapat menjaga supaya setiap tanggal 1 adalah fase bulan baru dan setiap tanggal 15 adalah fase bulan purnama. Tanggal 1 – tanggal 15 disebut sebagai penanggal 1 – penanggal 15, yaitu paruh bulan terang (suklapaksa). Sedangkan tanggal 16 – tanggal 30 disebut sebagai panglong 1 – panglong 15, yaitu paruh bulan gelap (krsnapaksa).
Bulan
Ada 12 bulan dalam satu tahun, yaitu berurutan : Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, Kasanga, Kasadasa, Dhesta, dan Sadha.
Tahun
Tiap tahun memiliki nama sebagaimana hari pasaran : Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Manis. Selain itu, Kalender Tengger memiliki siklus windu. Windu yang dimaksud bukan sama dengan delapan tahun melainkan delapan siklus wuku (8 x 210 hari) atau lima tahun. Setiap satu windu sekali yaitu setiap Tahun Manis, ada satu bulan yang digandakan sehingga satu tahun terdiri dari 13 bulan (tahun landhung / tahun kabisat). Bulan ganda ini dimaksudkan untuk menjaga supaya Kalender Tengger tetap sesuai dengan kalender matahari. Adapun bulan yang digandakan adalah bulan Karo, Kalima, Dhesta dan selanjutnya setiap windu berulang lagi dengan urutan sama. Masyarakat Tengger memiliki istilah tersendiri untuk menyebut bulan ganda : Kalau bulan Karo yang digandakan, maka bulan Karo yang pertama disebut sebagai bulan Kasa. Kalau bulan Kalima yang digandakan, maka bulan Kalima yang pertama disebut sebagai bulan Kapat. Kalau bulan Dhesta yang digandakan, maka bulan Dhesta yang pertama disebut sebagai bulan Kasadasa. Pada Tahun Manis / tahun kabisat inilah diselenggarakan upacara unan-unan yang bermaksud untuk kembali menyelaraskan alam karena adanya bulan yang dihapus (Kasa, Kapat, atau Kasadasa).
Tarikh
Sebagaimana umumnya Kalender Hindu dan kalender-kalender turunannya di Indonesia, maka Kalender Tengger juga menggunakan Tarikh Saka yang dimulai pada titik balik musim semi tahun 78 M. Walaupun demikian dalam praktiknya terdapat dua jenis tarikh berbeda dengan selisih tiga tahun, yaitu : Tarikh Malang dan Tarikh Pasuruan. Misalnya untuk tanggal 2 Oktober 1867 M menurut orang Tengger di Malang adalah tanggal 1 Kasa 1793 S sedangkan menurut orang Tengger di Pasuruan adalah tanggal 1 Kasa 1796 S.
Referensi :
- Ian Proudfoot; Reconstructing the Tengger Calendar. in : Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) 163 – 1 (2007) : 123-133.
- Molen, Willem van der; 1983, Javaanse Tekstkritiek : Een overzicht en een nieuwe benadering geillustreerd aan de Kunjarakarna. KITLV. Leiden.
- Molen, Willem van der & Wiryamartana, Ignatius Kuntara; The Merapi – Merbabu Manuscripts : A Neglected Collection. in : Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Old Javanese texts and culture 157 (2001), no. : 1, Leiden, 51-64.
Sumber : wikipedia
Kalender Bali adalah sistem penanggalan yang digunakan oleh orang Hindu Bali di pulau Bali dan Lombok. Kalender Bali bisa dianggap istimewa sebab kalender Saka Bali adalah penanggalan “konvensi”. Tidak mutlak astronomis seperti kalender Hijriyah, namun tidak pula seperti kalender Jawa, tetapi ‘kira-kira’ ada di antara keduanya.
Kalender Saka Bali tidak sama dengan Kalender Saka dari India, namun kalender Saka yang sudah dimodifikasi dan diberi tambahan elemen-elemen lokal.
Kalender Saka Bali bisa dikatakan merupakan penanggalan syamsiah-kamariah (surya-candra) atau luni-solar. Jadi penanggalan ini berdasarkan posisi matahari dan sekaligus bulan. Dikatakan konvensi atau kompromistis, karena sepanjang perjalanan tarikhnya masih dibicarakan bagaimana cara perhitungannya.
Dalam kompromi sudah disepakati bahwa: 1 hari candra = 1 hari surya. Kenyataannya 1 hari candra tidak sama dengan panjang dari 1 hari surya. Untuk itu setiap 63 hari (9 wuku) ditetapkan satu hari-surya yang nilainya sama dengan dua hari-candra. Hari ini dinamakan pangunalatri. Hal ini tidak sulit diterapkan dalam teori aritmetika. Derajat ketelitiannya cukup bagus, hanya memerlukan 1 hari kabisat dalam seratusan tahun.
Nama-nama Bulan Kalender Bali
Panjang bulan
Dalam 1 bulan candra atau sasih, disepakati ada 30 hari terdiri dari 15 hari menjelang purnama disebut penanggal atau suklapaksa, diikuti dengan 15 hari menjelang bulan baru (tilem) disebut panglong atau kresnakapsa. Penanggal ditulis dari 1 pada bulan baru, sampai 15 yaitu purnama, menggunakan warna merah pada kalender cetakan. Setelah purnama, kembali siklus diulang dari angka 1 pada sehari setelah purnama sampai 15 pada bulan mati (tilem) menggunakan warna hitam. Dalam perhitungan matematis, untuk membedakan warna, sering dipakai titi. Titi adalah angka urut dari 1 yaitu bulan baru, sampai 30 pada bulan mati. Angka 1 sampai 15 mewakili angka merah atau penanggal, 16 sampai 30 mewakili angka 1 sampai 15 angka berwarna hitam atau panglong.
Panjang bulan surya juga tidak sama dengan panjang sasih (bulan candra). Sasih panjangnya berfluktuasi tergantung kepada jarak bulan dengan bumi dalam orbit elipsnya. Sehingga kurun tahun surya kira-kira 11 hari lebih panjang dari tahun candra. Untuk menyelaraskan itu, setiap kira-kira 3 tahun candra disisipkan satu bulan candra tambahan yang merupakan bulan kabisat. Penambahan bulan ini masih agak rancu peletakannya. Inilah tantangan bagi dunia aritmetika. Idealnya awal tahun surya jatuh pada paruh-akhir sasih keenam (Kanem) atau paruh-awal sasih ketujuh (Kapitu), sehingga tahun baru Saka Bali (hari raya Nyepi) selalu jatuh di sekitar paruh-akhir bulan Maret sampai paruh-awal bulan April.
Daftar Bulan Bali Matahari
Tahun Baru
Tahun baru bagi Kalender Saka Bali, diperingati sebagai hari raya Nyepi, bukan jatuh pada sasih pertama (Kasa), tetapi pada sasih kesepuluh (Kadasa). Idealnya pada penanggal 1, yaitu 1 hari setelah bulan mati (tilem). Pada tahun 1993, Hari raya Nyepi jatuh pada penanggal 2, diundur 1 hari, karena penanggal 1 bertepatan dengan pangunalatri dengan panglong 15 sasih Kasanga. Sekali lagi kompromi diperlukan dalam perhitungan ini.
Sejak hari raya Nyepi, angka tahun Saka bertambah 1 tahun. Menjadi angka tahun surya Masehi dikurangi 78. Dengan demikian sasih- sasih sebelum itu berangka tahun Masehi minus 79. Hal ini akan terasa janggal bagi pengguna penanggalan Masehi, karena angka tahun sasih Kasanga satu tahun di belakang angka tahun sasih Kedasa, dan angka tahun dari sasih terakhir, Desta (Jiyestha) sama dengan angka tahun berikutnya untuk sasih pertama (Kasa).
sumber : wikipedia
Kalender Saka adalah sebuah kalender yang berasal dari India. Kalender ini merupakan sebuah penanggalan syamsiah-kamariah (candra-surya) atau kalender luni-solar. Era Saka dimulai pada tahun 78 Masehi.
Sebuah tahun Saka dibagi menjadi dua belas bulan. Berikut nama bulan-bulan tersebut:
Di India satu tahun dibagi menjadi enam musim, atau dengan kata lain setiap musim berlangsung dua bulan. Berikut nama-nama musim
– Warsa, musim hujan bertepatan dengan Srawana dan Bhadrawada.
– Sarat, musim rontok, dan seterusnya.
– Hemanta, musim dingin
– Sisira, musim sejuk kabut
– Basanta, musim semi
– Grisma, musim panas
Berhubung bulan-bulan dalam kalender Saka hanya terdiri dari 30 hari, maka tahun baru harus disesuaikan setiap tahunnya untuk mengiringi daur perputaran matahari.
Sejarah Kalender Saka
Kalender Saka berawal pada tahun 78 Masehi dan juga disebut sebagai penanggalan Saliwahana (Sâlivâhana). Kala itu Saliwahana yang adalah seorang raja ternama dari India bagian selatan, mengalahkan kaum Saka. Tetapi sumber lain menyebutkan bahwa mereka dikalahkan oleh Wikramaditya (Vikramâditya). Wikramaditya adalah seorang musuh atau saingan Saliwahana, dia berasal dari India bagian utara.
Mengenai kaum Saka ada yang menyebut bahwa mereka termasuk sukabangsa turuki atau Tatar. Namun ada pula yang menyebut bahwa mereka termasuk kaum Arya dari suku Scythia. Sumber lain lagi menyebut bahwa mereka sebenarnya orang Yunani (dalam bahasa Sanskerta disebut Yavana yang berkuasa di Baktria (sekarang Afganistan).
Kalender Saka di Indonesia
Sebelum masuknya agama Islam, para sukubangsa di Nusantara bagian barat yang terkena pengaruh agama Hindu, menggunakan kalender Saka. Namun kalender Saka yang dipergunakan dimodifikasi oleh beberapa sukubangsa, terutama suku Jawa dan Bali. Di Jawa dan Bali kalender Saka ditambahi dengan cara penanggalan lokal. Setelah agama Islam masuk, di Mataram, oleh Sultan Agung diperkenalkan kalender Jawa Islam yang merupakan perpaduan antara kalender Islam dan kalender Saka. Di Bali kalender Saka yang telah ditambahi dengan unsur-unsur lokal dipakai sampai sekarang, begitu pula di beberapa daerah di Jawa, seperti di Tengger yang banyak penganut agama Hindu.
Daftar Pustaka :
- Dowson, John, 1992, A Classical Dictionary of Hindu Mythology and Religion. New Delhi: Heritage Publishers.
- Ricklefs, M.C., 1978, Modern Javanese historical tradition: a study of an original Kartasura chronicle and related materials. London: School of Oriental and African Studies, University of London.
- Zoetmulder, P.J., 1983, Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
- Zoetmulder, P.J., 1995, Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Bekerja sama dengan S.O. Robson. Penerjemah Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sumber : wikipedia
Pranata mangsa (bahasa Jawa: ???????????, pranåtåmångså, berarti “ketentuan musim”) adalah semacam penanggalan yang dikaitkan dengan kegiatan usaha pertanian, khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau penangkapan ikan. Pranata mangsa berbasis peredaran matahari dan siklusnya (setahun) berumur 365 hari (atau 366 hari) serta memuat berbagai aspek fenologi dan gejala alam lainnya yang dimanfaatkan sebagai pedoman dalam kegiatan usaha tani maupun persiapan diri menghadapi bencana (kekeringan, wabah penyakit, serangan pengganggu tanaman, atau banjir) yang mungkin timbul pada waktu-waktu tertentu.
Penanggalan seperti ini juga dikenal oleh suku-suku bangsa lainnya di Indonesia, seperti etnik Sunda dan etnik Bali (di Bali dikenal sebagai Kerta Masa). Beberapa tradisi Eropa mengenal pula penanggalan pertanian yang serupa, seperti misalnya pada etnik Jerman yang mengenal Bauernkalendar atau “penanggalan untuk petani”. sebagai keperluan penelitian dan menandai pada tahun sebuah mangsa menggunakan angka tahun yang dimulai sejak 560 SM diambil dari Kelahiran Sang Budha sebagai penghormatan bagi agama yang pernah berkembang luas di nusantara, sehingga pada tanggal 30 Januari 2015 M adalah 39 Kapitu 2575 Mangsa.
Pranata mangsa dalam versi pengetahuan yang dipegang petani atau nelayan diwariskan secara oral (dari mulut ke mulut). Selain itu, ia bersifat lokal dan temporal (dibatasi oleh tempat dan waktu) sehingga suatu perincian yang dibuat untuk suatu tempat tidak sepenuhnya berlaku untuk tempat lain. Petani, umpamanya, menggunakan pedoman pranata mangsa untuk menentukan awal masa tanam. Nelayan menggunakannya sebagai pedoman untuk melaut atau memprediksi jenis tangkapan. Selain itu, pada beberapa bagian, sejumlah keadaan yang dideskripsikan dalam pranata mangsa pada masa kini kurang dapat dipercaya seiring dengan perkembangan teknologi.
Pranata mangsa dalam versi Kasunanan (sebagaimana dipertelakan pada bagian ini) berlaku untuk wilayah di antara Gunung Merapi dan Gunung Lawu. Setahun menurut penanggalan ini dibagi menjadi empat musim (mangsa) utama, yaitu musim kemarau atau ketigå (88 hari), musim pancaroba menjelang hujan atau labuh (95 hari), musim hujan atau dalam bahasa Jawa disebut rendheng (baca [r?ndh?? ], 95 hari) , dan pancaroba akhir musim hujan atau marèng (IPA:[mar??], 86 hari) .
Musim dapat dikaitkan pula dengan perilaku hewan, perkembangan tumbuhan, situasi alam sekitar, dan dalam praktik amat berkaitan dengan kultur agraris. Berdasarkan ciri-ciri ini setahun juga dapat dibagi menjadi empat musim utama dan dua musim “kecil”: terang (“langit cerah”, 82 hari), semplah (“penderitaan”, 99 hari) dengan mangsa kecil paceklik pada 23 hari pertama, udan (“musim hujan”, 86 hari), dan pangarep-arep (“penuh harap”, 98/99 hari) dengan mangsa kecil panèn pada 23 hari terakhir.
Dalam pembagian yang lebih rinci, setahun dibagi menjadi 12 musim (mangsa) yang rentang waktunya lebih singkat namun dengan jangka waktu bervariasi. Tabel berikut ini menunjukkan pembagian formal menurut versi Kasunanan. Perlu diingat bahwa tuntunan ini berlaku di saat penanaman padi sawah hanya dimungkinkan sekali dalam setahun, diikuti oleh palawija atau padi gogo, dan kemudian lahan bera (tidak ditanam).
Pranata Mangsa Lengkap
Bentuk formal pranata mangsa diperkenalkan pada masa Sunan Pakubuwana VII (raja Surakarta) dan mulai dipakai sejak 22 Juni 1856, dimaksudkan sebagai pedoman bagi para petani pada masa itu. Perlu disadari bahwa penanaman padi pada waktu itu hanya berlangsung sekali setahun, diikuti oleh palawija atau padi gogo. Selain itu, pranata mangsa pada masa itu dimaksudkan sebagai petunjuk bagi pihak-pihak terkait untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana alam, mengingat teknologi prakiraan cuaca belum dikenal. Pranata mangsa dalam bentuk “kumpulan pengetahuan” lisan tersebut hingga kini masih diterapkan oleh sekelompok orang dan sedikit banyak merupakan pengamatan terhadap gejala-gejala alam.
Terdapat petunjuk bahwa masyarakat Jawa, khususnya yang bermukim di wilayah sekitar Gunung Merapi, Gunung Merbabu, sampai Gunung Lawu, telah mengenal prinsip-prinsip pranata mangsa jauh sebelum kedatangan pengaruh dari India. Prinsip-prinsip ini berbasis peredaran matahari di langit dan peredaran rasi bintang Waluku (Orion). Di wilayah dengan tipe iklim Am menurut Koeppen ini, penduduknya menerapkan penanggalan berbasis peredaran matahari dan rasi bintang sebagai bagian dari keselarasan hidup mengikuti perubahan irama alam dalam setahun. Pengetahuan ini dapat diperkirakan telah diwariskan secara turun-temurun sejak periode Kerajaan Medang (Mataram Hindu) dari abad ke-9 sampai dengan periode Kesultanan Mataram pada abad ke-17 sebagai panduan dalam bidang pertanian, ekonomi, administrasi, dan pertahanan (kemiliteran).
Perubahan teknologi yang diterapkan di Jawa semenjak 1970-an, berupa paket intensifikasi pertanian seperti penggunaan pupuk kimia, kultivar berumur genjah (dapat dipanen pada umur 120 hari atau kurang, sebelumnya memakan waktu hingga 180 hari), meluasnya jaringan irigasi melalui berbagai bendungan atau bendung, dan terutama berkembang pesatnya teknik prakiraan cuaca telah menyebabkan pranata mangsa (dalam bentuk formal versi Kasunanan) kehilangan banyak relevansi. Isu perubahan iklim global yang semakin menguat semenjak 1990-an juga membuat pranata mangsa harus ditinjau kembali karena dianggap “tidak lagi dapat dibaca”.
Pranata mangsa memiliki latar belakang kosmografi (“pengukuran posisi benda langit”), pengetahuan yang telah dikuasai oleh orang Austronesia sebagai pedoman untuk navigasi di laut serta berbagai kegiatan ritual kebudayaan. Karena peredaran matahari dalam setahun menyebabkan perubahan musim, pranata mangsa juga memiliki sejumlah penciri klimatologis.
Awal mangsa kasa (pertama) adalah 22 Juni, yaitu saat posisi matahari di langit berada pada Garis Balik Utara, sehingga bagi petani di wilayah di antara Merapi dan Lawu saat itu adalah saat bayangan terpanjang (empat pecak/kaki ke arah selatan). Pada saat yang sama, rasi bintang Waluku terbit pada waktu subuh (menjelang fajar). Dari sinilah keluar nama “waluku”, karena kemunculan rasi Orion pada waktu subuh menjadi pertanda bagi petani untuk mengolah sawah/lahan menggunakan bajak (bahasa Jawa: waluku).
Panjang rentang waktu yang berbeda-beda di antara keempat mangsa pertama (dan empat mangsa terakhir, karena simetris) ditentukan dari perubahan panjang bayangan. Mangsa pertama berakhir di saat bayangan menjadi tiga pecak, dan mangsa karo (kedua) dimulai. Demikian selanjutnya, hingga mangsa keempat berakhir di saat bayangan tepat berada di kaki, di saat posisi matahari berada pada zenit untuk kawasan yang disebutkan sebelumnya (antara Merapi dan Lawu). Pergerakan garis edar matahari ke selatan mengakibatkan pemanjangan bayangan ke utara dan mencapai maksimum sepanjang dua pecak di saat posisi matahari berada pada Garis Balik Selatan (21/22 Desember), dan menandai berakhirnya mangsa kanem (ke-6). Selanjutnya proses berulang secara simetris untuk mangsa ke-7 hingga ke-12. Sebuah jam matahari di Gresik yang dibuat pada tahun 1776 secara eksplisit menunjukkan hal ini.Mangsa ke-7 ditandai dengan terbenamnya rasi Waluku pada waktu subuh. Beberapa rasi bintang, bintang, atau galaksi yang dijadikan rujukan bagi pranata mangsa adalah Waluku, Lumbung (Gubukpèncèng, Crux), Banyakangrem (Scorpius), Wuluh (Pleiades), Wulanjarngirim (alpha- dan beta-Centauri), serta Bimasakti.
Batas-batas eksak tanggal pada pranata mangsa versi Kasunanan merupakan modifikasi kecil terhadap pranata mangsa yang sudah dikenal sebelumnya yang didasarkan pada posisi benda-benda langit.
Secara klimatologi, pranata mangsa mengumpulkan informasi mengenai perubahan musim serta saat-saatnya yang berlaku untuk wilayah Nusantara yang dipengaruhi oleh angin muson, yang pada gilirannya juga dikendalikan arahnya oleh peredaran matahari. Awal musim penghujan dan kemarau serta berbagai pertanda fisiknya yang digambarkan pranata mangsa secara umum sejajar dengan hasil pengamatan klimatologi. Kelemahan pada pranata mangsa adalah bahwa ia tidak menggambarkan variasi yang mungkin muncul pada tahun-tahun tertentu (misalnya akibat munculnya gejala ENSO). Selain itu, terdapat sejumlah ketentuan pada pranata mangsa yang lebih banyak terkait dengan aspek horoskop, sehingga cenderung tidak logis.
Karena pranata mangsa dianggap sudah “usang” namun tetap dianggap penting sebagai pedoman bagi petani/nelayan mengingat fungsinya sebagai penghubung petani/nelayan dengan lingkungan, upaya-upaya dilakukan untuk memodifikasi pranata mangsa dengan memanfaatkan informasi-informasi baru. Di bidang penangkapan ikan telah dilakukan upaya untuk menggunakan kalender semacam pranata mangsa sebagai pedoman bagi nelayan dalam melakukan penangkapan ikan. Informasi ini berguna, misalnya, untuk menentukan kelaikan penangkapan serta musim-musim jenis tangkapan.
Di bidang pertanian tanaman pangan, telah dikembangkan Sekolah Lapang Iklim (SLI) untuk meningkatkan kemampuan petani dalam memahami berbagai aspek prakiraan cuaca dan hubungannya dengan usaha tani. Kegiatan SLI dimaksudkan untuk membuat petani mampu “menerjemahkan” informasi prakiraan cuaca yang sering kali sangat teknis, sekaligus membuat petani mampu mengadaptasikannya dengan kearifan lokal yang telah lama dimiliki. Dalam kaitan dengan SLI, pranata mangsa menjadi rujukan untuk berbagai gejala alam yang diperkirakan muncul sebagai tanggapan atas kondisi cuaca/perubahan iklim. Pranata mangsa masih tetap dapat diandalkan dalam kaitan dengan pengamatan atas gejala alam. Kemampuan membaca gejala alam ini penting karena petani perlu beradaptasi apabila terjadi perubahan dengan mengubah pola tanam.
Sumber : Wikipedia
Baca juga : Sejarah Kabupaten Probolinggo, Profil Mentari Komputer
Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.