Umum

Sejarah Sejarah Pembentukan BPUPKI


Sejarah Sejarah Pembentukan BPUPKI – Kekalahan Jepang dalam perang Pasifik semakin jelas. Angkatan Laut Amerika Serikat yang dipimpin oleh Laksamana Nimitz berhasil menduduki posisi penting di Kepulauan Mariana seperti Saipan, Tidian dan Guan. Bagi Sekutu, pulau-pulau tersebut sangat penting (terutama Saipan) karena jarak Saipan – Tokyo dapat dicapai oleh pesawat pengebom B 29 USA. Sementara Angkatan Darat Amerika Serikat yang dipimpin oleh Jendral Douglas Mac Arthur melalui siasat loncat kataknya berhasil pantai Irian dan membangun markasnya di Holandia (Jayapura).

Dari Holandia inilah Mac Arthur akan menyerang Filipina untuk memenuhi janjinya. Di sisi lain kekuatan Angkatan Laut Sekutu yang berpusat di Biak dan Morotai berhasil menghujani bom pada pusat pertahanan militer Jepang di Maluku, Sulawesi, Surabaya dan Semarang. Kondisi tersebut menyebabkan jatuhnya pusat pertahanan Jepang dan merosotnya semangat juang tentara Jepang, terutama di wilayah Ambon, Makassar, Manado, Tarakan, Balikpapan, dan Surabaya. Kekuatan tentara Jepang yang semula ofensif (menyerang) berubah menjadi defensif (bertahan).

Kepada bangsa Indonesia, pemerintah militer Jepang masih tetap menggembar gemborkan (meyakinkan) bahwa Jepang akan menang dalam perang Pasifik. Pada tanggal 18 Juli 1944, Perdana Menteri Hideki Tojo terpaksa mengundurkan diri dan diganti oleh Perdana Menteri Koiso Kuniaki. Perdana Menteri Jepang, Jenderal Kuniaki Koiso, pada tanggal 7 September 1944 dalam sidang istimewa ke-85 Parlemen Jepang (Teikoku Ginkai) mengumumkan bahwa Indonesia akan dimerdekakan kelak di kemudian hari sesudah tercapai kemenangan akhir dalam perang Asia Timur Raya. Janji kemerdekaan ini sering disebut dengan istilah “Deklarasi Kaiso”.

Sejak saat itu, Jepang memberikan izin kepada rakyat Indonesia untuk mengibarkan bendera Merah Putih di samping bendera Jepang Hinomaru. Lagu Indonesia Raya boleh dinyanyikan setelah lagu Kimigayo. Dengan cara itu, Jepang berharap tentara Sekutu akan disambut oleh rakyat Indonesia sebagai penyerbu negara mereka, sehingga untuk merealisasikan janjinya pada tanggal 1 Maret 1945 pimpinan pemerintah pendudukan militer Jepang di Jawa, Jenderal Kumakichi Harada, mengumumkan dibentuknya suatu badan khusus yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, yang dinamakan “Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai. Pembentukan BPUPKI juga untuk menyelidiki, mempelajari dan mempersiapkan hal-hal penting lainnya yang terkait dengan masalah tata pemerintahan guna mendirikan suatu negara Indonesia merdeka.

A. Sejarah Pembentukan BPUPKI
BPUPKI resmi dibentuk pada tanggal 1 Maret 1945, bertepatan dengan ulang tahun kaisar Jepang, Kaisar Hirohito. Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat dari golongan nasionalis tua, ditunjuk menjadi ketua BPUPKI dengan didampingi oleh dua orang wakil ketua muda, yaitu Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yosio (orang Jepang). Selain menjadi wakil ketua muda, Raden Pandji Soeroso juga diangkat sebagai kepala kantor tata usaha BPUPKI (semacam sekretariat) dibantu Masuda Toyohiko dan Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo. BPUPKI sendiri beranggotakan 69 orang, yang terdiri dari: 62 orang anggota aktif adalah tokoh utama pergerakan nasional Indonesia dari semua daerah dan aliran, serta 7 orang anggota istimewa adalah perwakilan pemerintah pendudukan militer Jepang, tetapi wakil dari bangsa Jepang ini tidak mempunyai hak suara. Keanggotaan ketujuh wakil Jepang ini adalah pasif, yang artinya mereka hanya hadir dalam sidang BPUPKI sebagai pengamat dan pengawas orang-orang BPUPKI pribumi saja. 


B. Sidang-Sidang BPUPKI
Selama BPUPKI berdiri, telah diadakan dua kali masa persidangan resmi BPUPKI, dan juga adanya pertemuan-pertemuan yang tak resmi oleh panitia kecil di bawah BPUPKI, yaitu:

1. Sidang Resmi Pertama
Persidangan resmi BPUPKI yang pertama pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945
Persidangan resmi BPUPKI yang pertama pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945

Pada tanggal 28 Mei 1945, diadakan upacara pelantikan dan sekaligus seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama di gedung “Chuo Sangi In”, yang pada zaman kolonial Belanda gedung tersebut merupakan gedung Volksraad (dari bahasa Belanda, semacam lembaga “Dewan Perwakilan Rakyat Hindia-Belanda” di masa penjajahan Belanda), dan kini gedung itu dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila yang berlokasi di Jalan Pejambon 6 – Jakarta. Namun masa persidangan resminya sendiri (masa persidangan BPUPKI yang pertama) diadakan selama empat hari dan baru dimulai pada keesokan harinya, yakni pada tanggal 29 Mei 1945 dan berlangsung sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, dengan tujuan untuk membahas bentuk negara Indonesia, filsafat negara “Indonesia Merdeka” serta merumuskan dasar negara Indonesia.

Upacara pelantikan dan seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dihadiri oleh seluruh anggota BPUPKI dan juga dua orang pembesar militer jepang, yaitu: Panglima Tentara Wilayah ke-7, Jenderal Izagaki, yang menguasai Jawa serta Panglima Tentara Wilayah ke-16, Jenderal Yuichiro Nagano. Namun untuk selanjutnya pada masa persidangan resminya itu sendiri, yang berlangsung selama empat hari, hanya dihadiri oleh seluruh anggota BPUPKI.

Sebelumnya agenda sidang diawali dengan membahas pandangan mengenai bentuk negara Indonesia, yakni disepakati berbentuk “Negara Kesatuan Republik Indonesia” (“NKRI”), kemudian agenda sidang dilanjutkan dengan merumuskan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk hal ini, BPUPKI harus merumuskan dasar negara Republik Indonesia terlebih dahulu yang akan menjiwai isi dari Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri, sebab Undang-Undang Dasar adalah merupakan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Guna mendapatkan rumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, maka agenda acara dalam masa persidangan BPUPKI yang pertama ini adalah mendengarkan pidato dari tiga orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, yang mengajukan pendapatnya tentang dasar negara Republik Indonesia, dan satu tokoh yang memaparkan teori berdirinya suatu negara.

1. Sidang tanggal 29 Mei 1945, Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima asas dasar negara Republik Indonesia yang diberi judul “Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”, yaitu: 
  1. Peri Kebangsaan
  2. Peri Kemanusiaan
  3. Peri Ketuhanan
  4. Peri Kerakyatan
  5. Kesejahteraan Rakyat
2. Sidang tanggal 30 Mei 1945, Drs. Moh. Hatta berpendapat bahwa sebaiknya jangan mendirikan sebuah negara hanya dengan satu agama. Beliau juga memaparkan teori berdirinya suatu negara yaitu:
  • Teori Individualistik yaitu negara didirikan oleh individu-individu dengan tujuan untuk kesejahteraan individu-individu yang bersangkutan. Dalam memimpin pemerintahan mereka menunjuk orang perorangan dengan mengadakan kontrak politik dan sosial dengan individu-individu itu dan apabila dilanggar perjanjiannya maka orang yang telah ditunjuk tersebut harus diganti.
  • Teori Golongan (Class Teori) yaitu negara didirikan oleh golongan yang ekonominya kuat yang bertujuan untuk menumpas golongan ekonomi yang lemah. Menurut teori ini negara dan pemerintahan tidak akan stabil karena golongan yang ditindas pasti akan menyusun kekuatan untuk menurunkan dan mengalahkan golongan yang berkuasa.
  • Teori Integralistik yaitu negara didirikan oleh semua lapisan masyarakat dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Menurut Drs. Moch. Hatta teori inilah yang paling tepat bagi bangsa Indonesia.

3. Sidang tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Dr. Soepomo berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima prinsip dasar negara Republik Indonesia, yang dia namakan “Dasar Negara Indonesia Merdeka”, yaitu:
  1. Persatuan
  2. Kekeluargaan
  3. Mufakat dan Demokrasi
  4. Musyawarah
  5. Keadilan Sosial
Beliau juga menjelaskan tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan dasar negara Indonesia merdeka. Beliau berpendapat bahwa negara yang akan dibentuk hendaklah negara integralistik yang berdasarkan pada hal-hal di atas.

Kemudian seorang anggota BPUPKI bernama Ki Bagoes Hadikoesoemo, mengusulkan bahwa dasar Negara hendaklah “Islam”, alasan ini diungkapkan karena 90% rakyat Indonesia Merdeka menganut agama Islam dan apabila Islam tidak menjadi dasar Negara dikuatirkan umat Islam di Indonesia nanti bersikap pasif atau dingin tidak bersemangat terhadap rencana kemerdekaan Indonesia. Usulan tersebut didukung oleh Abdoel Kahar Moezakkir, seorang abiturient mahasiswa Universitas Al Azhar di Kairo dan Komisaris partai Islam, dan hal itu diungkapkan dengan semangat yang berapi-api. Saran dari mereka ditanggapi oleh Mr. Johannes Latuharhary, seorang tokoh Golongan Nasionalis Sekuler dari Maluku yang kemudian menjadi Gubernur Pertama di Maluku, tanggapannya hanya singkat namun tegas. Dia mengatakan bila BPUPK nanti menetapkan bahwa dasar Indonesia Merdeka adalah “Islam”, dia akan mengundurkan diri dari sidang dan selanjutnya tidak ikut bertanggung jawab. Tanggapan itu membuat suasana sidang menjadi tegang.

4. Sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia, yang dia namakan “Pancasila”, yaitu:
  1. Kebangsaan Indonesia
  2. Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan
  3. Mufakat atau Demokrasi
  4. Kesejahteraan Sosial
  5. Ketuhanan Yang Maha Esa
Gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia yang dikemukakan oleh Ir. Soekarno tersebut kemudian dikenal dengan istilah “Pancasila”. Pada mulanya, Soekarno mengusulkan Pancadharma , namun nama tersebut dianggap tidak tepat karna kata ‘Dharma’ berarti kewajiban, sementara yang dimaksudkan adalah dasar. Soekarno kemudian meminta saran Muh. Yamin yang merupakan seorang ahli bahasa, dan selanjutnya gagasan tersebut dinamakan Pancasila, kata ‘Sila’ berarti azas atau dasar. Dan masih menurut dia (bilamana diperlukan) gagasan mengenai rumusan Pancasila ini dapat diperas menjadi “Trisila” (Tiga Sila), yaitu: 
  1. Sosionasionalisme, yaitu Nasionalisme dan Internasionalisme
  2. Sosiodemokrasi, yaitu Demokrasi dengan Kesejahteraan Rakyat
  3. Ketuhanan Yang Maha Esa
Bahkan masih menurut Ir. Soekarno lagi, Trisila tersebut bila hendak diperas kembali dinamakannya sebagai “Ekasila” (Satu Sila), yaitu merupakan sila: “Gotong-Royong”, ini adalah merupakan upaya dari Soekarno dalam menjelaskan bahwa konsep gagasan mengenai rumusan dasar negara Republik Indonesia yang dibawakannya tersebut adalah berada dalam kerangka “satu-kesatuan”, yang tak terpisahkan satu dengan lainnya. Soekarno dalam pidatonya juga menyampaikan bahwa: ‘Kita hendak mendirikan suatu Negara ‘semua buat semua’, bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya-miskin, tetapi ‘semua buat semua’ ”. Masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dikenang dengan sebutan “Detik-Detik Lahirnya Pancasila” dan tanggal 1 Juni ditetapkan sekaligus diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.

Pidato dari Ir. Soekarno ini sekaligus mengakhiri masa persidangan BPUPKI yang pertama, setelah itu BPUPKI mengalami masa reses persidangan (periode jeda atau istirahat) selama satu bulan lebih. 

2. Piagam Jakarta
Sebelum dimulainya masa reses persidangan, dibentuklah suatu panitia kecil yang beranggotakan 9 orang, yang dinamakan “Panitia Sembilan” dengan diketuai oleh Ir. Soekarno, yang bertugas untuk mengolah usul dari konsep para anggota BPUPKI mengenai dasar negara Republik Indonesia.


Naskah Asli "Piagam Jakarta"
Naskah Asli “Piagam Jakarta”

Naskah Asli “Piagam Jakarta” atau “Jakarta Charter” yang dihasilkan oleh “Panitia Sembilan” pada tanggal 22 Juni 1945

Sampai akhir dari masa persidangan BPUPKI yang pertama, masih belum ditemukan titik temu kesepakatan dalam perumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, sehingga dibentuklah “Panitia Sembilan” tersebut di atas guna menggodok berbagai masukan dari konsep-konsep sebelumnya yang telah dikemukakan oleh para anggota BPUPKI itu dan juga usulan-usulan dari anggota BPUPKI yang lainnya mengenai rumusan dasar negara Indonesia.

Adapun susunan keanggotaan dari “Panitia Sembilan” ini adalah sebagai berikut :
  1. Ir. Soekarno (ketua)
  2. Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua)
  3. Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (anggota)
  4. Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. (anggota)
  5. Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (anggota)
  6. Abdoel Kahar Moezakir (anggota)
  7. Raden Abikusno Tjokrosoejoso (anggota)
  8. Haji Agus Salim (anggota)
  9. Mr. Alexander Andries Maramis (anggota)

Sesudah melakukan perundingan yang cukup sulit antara 4 orang dari kaum kebangsaan (pihak “Nasionalis”) dan 4 orang dari kaum keagamaan (pihak “Islam”) yang terjadi di rumah Soekarno yang beralamat di Jalan Pegangsaan Timur no. 56 Jakarta, maka pada tanggal 22 Juni 1945 “Panitia Sembilan” kembali bertemu dan menghasilkan rumusan dasar negara Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai “Piagam Jakarta” atau “Jakarta Charter”, yang pada waktu itu disebut-sebut juga sebagai sebuah “Gentlement Agreement”. Setelah itu sebagai ketua “Panitia Sembilan”, Ir. Soekarno melaporkan hasil kerja panitia kecil yang dipimpinnya kepada anggota BPUPKI berupa dokumen rancangan asas dan tujuan “Indonesia Merdeka” yang disebut dengan “Piagam Jakarta” itu. Dalam detik-detik yang menentukan menjelang pengesahan Piagam Jakarta, Ir. Soekarno selaku Ketua Panitia Sembilan dengan gigih meyakinkan seluruh anggota sidang BPUPKI untuk menerima rumusan Piagam Jakarta sebagai Gentlement Agreement bangsa Indonesia. Naskah “Piagam Jakarta” yang ditulis dengan menggunakan ejaan Republik ditandatangani oleh seluruh anggota “Panitia Sembilan”. 

Menurut dokumen tersebut, dasar negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
  3. Persatuan Indonesia,
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rancangan itu diterima untuk selanjutnya dimatangkan dalam masa persidangan BPUPKI yang kedua, yang diselenggarakan mulai tanggal 10 Juli 1945.

Di antara dua masa persidangan resmi BPUPKI itu, berlangsung pula persidangan tak resmi yang dihadiri 38 orang anggota BPUPKI yang diadakan di kantor besar Jawa Hokokai. Persidangan tak resmi ini dipimpin sendiri oleh Bung Karno yang membahas mengenai rancangan “Pembukaan (bahasa Belanda: “Preambule”) Undang-Undang Dasar 1945″, yang kemudian dilanjutkan pembahasannya pada masa persidangan BPUPKI yang kedua (10 Juli-17 Juli 1945).

3. Sidang Resmi Kedua

Persidangan resmi BPUPKI yang kedua pada tanggal 10 Juli-17 Juli 1945
Persidangan resmi BPUPKI yang kedua pada tanggal 10 Juli-17 Juli 1945
Masa persidangan BPUPKI yang kedua berlangsung sejak tanggal 10 Juli 1945 hingga tanggal 17 Juli 1945. Agenda sidang BPUPKI kali ini membahas tentang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kewarganegaraan Indonesia, rancangan Undang-Undang Dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan negara, serta pendidikan dan pengajaran. Pada persidangan BPUPKI yang kedua ini, anggota BPUPKI dibagi-bagi dalam panitia-panitia kecil.

Panitia-panitia kecil yang terbentuk itu antara lain adalah: 
  1. Panitia Perancang Undang-Undang Dasar (diketuai oleh Ir. Soekarno)
  2. Panitia Pembelaan Tanah Air (diketuai oleh Raden Abikusno Tjokrosoejoso)
  3. Panitia Ekonomi dan Keuangan (diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta).
Pada tanggal 10 Juli 45 ini merumuskan wilayah negara Indonesia apabila sudah merdeka nanti, dan terdapat tiga usulan mengenai wilayah negara yaitu :

  1. Bekas jajahan Hindia Belanda (Sabang – Merauke).
  2. Bekas jajahan Hindia Belanda + Kalimantan Utara + Irian Timur + Timur Portugis.
  3. Bekas jajahan Hindia Belanda + Semenanjung Melayu + Irian.
Dari ketiga usulan itu, diambil usulkan yang pertama, yakni wilayah bekas jajahan Hindia Belanda dari Sabang sampai Merauke. Karena kondisi Indonesia saat itu yang sedang dijajah Jepang, apalagi dengan adanya pihak Sekutu yang mulai datang ke Indonesia, sehingga Indonesia tidak memungkinkan untuk menguasai daerah lain selain wilayah dari Sabang sampai Merauke.

Pada tanggal 11 Juli 1945, diadakan sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno, yang membahas dan membentukan lagi panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya adalah khusus merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang beranggotakan 7 orang yaitu sebagai berikut :
  1. Prof. Mr. Dr. Soepomo (ketua panitia kecil)
  2. Mr. KRMT Wongsonegoro (anggota)
  3. Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (anggota)
  4. Mr. Alexander Andries Maramis (anggota)
  5. Mr. Raden Panji Singgih (anggota)
  6. Haji Agus Salim (anggota)
  7. Dr. Soekiman Wirjosandjojo (anggota)
Kemudian muncul perdebatan lagi di kalangan anggota BPUPKI mengenai bentuk negara Indonesia kelak apabila Indonesia merdeka.

Terdapat tiga bentuk negara yang diusulkan, yaitu :
  1. Kerajaan
  2. Kesultanan 
  3. Republik
Dari ketiga usulan itu, anggota BPUPKI mengambil kesepakatan bahwa bentuk negara Indonesia kelak setelah merdeka adalah Negara Republik. 

Pada tanggal 13 Juli 1945, dalam sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas hasil kerja panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya adalah khusus merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang beranggotakan 7 orang tersebut. Hasil kerjanya panitia tersebut kemudian disempurnakan lagi kaidah kebahasaannya oleh Panitia Penghalus Bahasa yang terdiri atas Husein Jayadiningrat, H. Agus Salim, dan Mr. Supomo.

Pada tanggal 14 Juli 1945, sidang pleno BPUPKI menerima laporan panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang dibacakan oleh ketua panitianya sendiri, Ir. Soekarno. Dalam laporan tersebut membahas mengenai rancangan Undang-Undang Dasar yang di dalamnya tercantum tiga masalah pokok yaitu :

1. Pernyataan tentang Indonesia Merdeka

2. Pembukaan Undang-Undang Dasar

3. Batang tubuh Undang-Undang Dasar yang kemudian dinamakan sebagai “Undang-Undang Dasar 1945”, yang isinya meliputi :
  • Wilayah negara Indonesia adalah sama dengan bekas wilayah Hindia-Belanda dahulu, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara (sekarang adalah wilayah Sabah dan wilayah Serawak di negara Malaysia, serta wilayah negara Brunei Darussalam), Papua, Timor-Portugis (sekarang adalah wilayah negara Timor Leste), dan pulau-pulau di sekitarnya,
  • Bentuk negara Indonesia adalah Negara Kesatuan,
  • Bentuk pemerintahan Indonesia adalah Republik,
  • Bendera nasional Indonesia adalah Sang Saka Merah Putih,
  • Bahasa nasional Indonesia adalah Bahasa Indonesia.
Konsep proklamasi kemerdekaan negara Indonesia baru rencananya akan disusun dengan mengambil tiga alenia pertama “Piagam Jakarta”, sedangkan konsep Undang-Undang Dasar hampir seluruhnya diambil dari alinea keempat “Piagam Jakarta”. Sementara itu, perdebatan terus berlanjut di antara peserta sidang BPUPKI. Pada tanggal 15 dan 16 Juli 1945 diadakan sidang untuk menyusun UUD berdasarkan hasil kerja Panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Dan pada tanggal 17 Juli 1945 dilaporkan hasil kerja penyusunan UUD secara keseluruhan dan hasilnya diterima dalam sidang pleno BPUPKI. 

C. Akhir Masa BPUPKI
Pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan karena dianggap telah dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, yaitu menyusun rancangan Undang-Undang Dasar bagi negara Indonesia Merdeka, dan sebagai gantinya dibentuklah “Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (PPKI) atau yang dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai dengan Ir. Soekarno sebagai ketuanya.

Demikianlah materi tentang Sejarah Sejarah Pembentukan BPUPKI yang sempat kami berikan dan jangan lupa juga untuk
menyimak materi seputar Sejarah Perumusan dan Lahirnya Pancasila yang telah kami posting sebelumnya. semoga materi yang kami berikan
dapat membantu menambah wawasan anda semikian dan terimah kasih.
Jangan Lupa Tinggalkan Komentar…!!!

Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top