koleksi pribadi

Sultan Musa: SEDJIWA MEMBUNCAH


Data Buku Kumpulan Puisi
Judul: Sedjiwa Membuncah
Penulis: Sultan
Musa
Penerbit: Guepedia – Bogor
Tahun Terbit: Januari 2020
Tebal: 54 halaman (26 puisi)
Ukuran: 14 x 21 cm
ISBN: 978-623-251-250-4
Sepilihan
Puisi
Sultan
Musa
dalam Sedjiwa
Membuncah
DATANG MEMOHON
RAHMAN DAN RAHIM-MU
Kala
itu memberi bukan mengambil
Kala
itu mendendam bukan mengiba
Kala
itu menampik  bukan  meraih
Kala
itu bukit
bukit harapan sirna
Bukti
harapan terguncangkan
Hamparan
sajadah meluas
Di atas
lantai permintaan yang dingin
Mengalun
suara yang bergetar
Dalam
doa…
Hati
ini telah terkumpul
Jiwa
ini telah tercurah
Seiring
tidak pernah redup
Dalam
ma’rifat…
Hati
ini telah hidup
Jiwa
ini telah terlimpah
Seindah
tawakal menolong gersang
Hamba-Mu…
Wujud
dhaif dalam ikatan
Berharap
naungan ridha-Mu
Berpinta  dekapan  maghfirah-Mu

DI SEPERTIGA
PENANTIAN
Akhirnya
berat untuk melepaskan
Yang
sudah sesal dalam abadi
Yang
harap berujung bahagia
Akankah
asa semata?
Akhirnya
rasuk untuk tegar
Akan
menghadapinya
Meski
kadang sekejap hilang
Akankah
teriakkan mimpi?
Teriak
dengan  tentang
Teriak
dengan  hampa
Teriak
dengan tunggu
Teriak
dengan cari
Beginikah
tersiksanya jika menanti ?
KATA
MEREKA….TOREH SEMBILU
Di sana
kata mereka
Gemulai
manja merangkul
Berhias
renda belahan rembulan
Bukan
itu!
Di sana
kata mereka
Pinggiran
jalan tersoroti
Bersisian
temaram janji
Bukan
it
u!
Di sana
kata mereka
Terusan
putih satin
Dipasang
dalam tatakan menu
Bukan
itu!
Di sana
kata mereka
Tersaji
mirip tungku
Mengendong
pemberian romantis
Bukan
itu!
Di sana
kata mereka
Pembuka
serasi di
tengah hasrat
Putih
berubah bintik hitam
Bukan
itu!
Seolah
itu kau
Melepas
masa kelam
Melangkah
maju ke sebuah harapan
Ditelan
pilu oleh waktu yang berlalu
KITA INI APA ?
Selama
ini
Karang
hati tetap mengukir
Walau
membisu dalam jenuh
Yang
semu kini menjauh
Selama
ini
Hati
terkikis menghujam
Walau
tak di mengerti
Yang
termenung  menghantam
Aku
dan olehmu…
Mengikuti
seakan hilang
Meski
tetap ku tatap
Di
bawah hamparan gelap
Seolah
itu olehmu
Kuberhenti
di gelap matamu
Kuterperajat
di hitam matamu
Kita
ini apa ?
KUDEKAP LIRIHMU
Jujur
berharap akan dimengerti
Dusta
berharap akan dihempas
Pergi
bilamana sesuatu yang pantas
Datang
bilamana sesuatu yang bahagia
Nyatanya
semua berlaku
Bahagia
itu ada saat lembayung pudar
Seperti
pelangi yang cemburu pada hujan
Seperti
bunga yang diam
diam mencintai angin
Nyatanya
ada yang pantas
Untuk
dimengerti…
Untuk
diterima…
Karena
semua ini seperti duri tajammu
Kepedihan
yang tercipta
Kehancuran
yang tersemat
Berawal
dari busuk sebuah janji
Berakhir
dari palsu sebuah janji
Tak
ada lagi dunia yang menyorakimu
Tinggalah
dunia yang tak berarti
Tak
ada lagi takdir yang menemanimu
Tinggalah
takdir yang  meratap
Dan
kini hanya…
Kekecewaan…
Kesedihan…
Aku
tak mengerti atas pilihanmu ini
KUSIMPUL DO’A
INI
Bila
sampai kini
Dalam
timpai kemurkaan
Tenggelam
dalam kesesatan
Harap
dengan sinar  taufik-Mu
Dalam
hati ini
Ingin
membesarkan Asma-Mu
Dalam
langkah kecil ini
Meski
waktu datang silih berganti
Damaikanlah
pertengkaran hati ini
Pertautkanlah
cabaran jiwa ini
Sematkanlah
cahaya-Mu
Jauhkanlah
gundah bergulir
Mauku
jauhkan dari rasa …
Tak
terungkap….
Tak
tampak….
Tersembunyi….
MASA
KETIDAKPERNAHAN
Aku
tak tahu di
mana
Akan
kunyanyikan lagu ini
Aku
tak tahu di
mana
Akan
 akhiri  serak  gema
 ini
Aku
tak tahu di
mana
Kutemukan
 malam  yang  terburu
 gelap
Aku
tak tahu di
mana
Kutemukan
 siang  yang  terburu  terang
Aku
 tak  tahu  di
mana
Menampik
 sayap  yang  bergelinjang
Aku
tak  tahu  di
mana
Mengukir
 resah  yang  terpuaskan
Aku
tak tahu di
mana
Kembali
taburkan corak pada kesunyian
Aku
tak tahu di
mana
Kembali
terinjakkan angin pada keramaian
Aku
tak tahu di
mana
Mengungkapkan
ragu yang terkunci
Aku
tak tahu di
mana
Menguraikan
riak yang deras
Aku
tak tahu di
mana
Mengukirkan
mimpi yang terburai
Aku
tak tahu di
mana
Menentang
mimpi yang bercorak
SAYUP
IBA…BENAR TAK MENARIK
Seperti
bebunyian yang kudengar
Layaknya
segaris dalam tawamu
Kau
menjelma menjadi itu
Berkumandang
dalam payung merah
Seperti
deru yang bergerak
Layaknya
asap samar lalu
Kau
menggamit di
atas ayu
Berharap
paras itu tersaji
Seperti
langit yang tajam
Layaknya
berputar waktu
Kau
undur dalam pacuan hujam
Berlarian
meski kau tak tersoroti
Aku
tak pernah tertarik
Bersisian…
Berdampingan…
Benar
memang sudah tak menarik
SEUNTAI BUNGA
KELAM
Ketika
terang terus mengelabui
Seakan
jati diri tak berujung
Seakan
mampu sentuh segala hal
Sirna
dengan kerendahan kodrati
Ketika
benderang terus berkumandang
Seakan
jiwa tak tertandingi
Seakan
nurani sentuh langit
Sirna
dengan kejumawaan wujud
Tak
ada tujuan yang dicari
Semua
tak bisa di gapai
Samudera
tak berujung
Bumi
tak tersentuh
Larut
dalam sosok yang congkak
Datang
dengan sesuka hati
Pergi
dengan sesuka jiwa
Menyisakan
kekosongan langkah
Semata
ku ingin kau sadari
Kau
miliki senyum
Kau
miliki kasih
Berharap
semua kan terbuka kembali
Harapan
akan datang menyapamu
Buktikan
masih  ada yang mengharapkanmu
Buktikan
masih ada yang menyayangimu
Dalam
masa yang tertunda ini
AROMAMU….BERKATA,
BERSUARA
Ada
yang bilang dunia dipenuhi keburukan
Sekaligus
dipenuhi keindahan
Aku
tidak tahu tentang itu
Tapi
sebentar lagi aku akan melihat dunia itu
Makin
banyak kata yang terucapkan
Makin
banyak pula hal yang harus ditegaskan
Segalanya
bisa berkata….bersuara
Bahkan
lebih dari itu
Aromamu….
Mengajariku
untuk setia
Kepada
kepribadianku…
Tertanam
di benakku
Bahwa
kebaikan seorang perempuan
Adalah
kesempurnaan seorang lelaki
Kuambil
dari belajar sesuatu yang penting
Dari
masa yang tak akan datang kedua kalinya
Karena
apa yang terjadi
Tak
akan ada yang tahu
Kuingin
tidak menjunjung tinggi prasangka
Yang
mengalahkan kenyataan
Bila
kenyataan tercampakkan
Tergantikan
sebuah keliru
Sanggupkah
termusnah
Seluruh
teluh yang tercipta karena insan yang arogan
RUMAH
Sampailah
di satu saat
Hidup
adalah sketsa
Yang
terlihat di balik dunia
Jendela
pada pagi kita membukanya
Membiarkan
matahari
Masuk
menerobos
Langkahlangkah yang
kita ayun
Sejak
pintu rumah
Hingga
melintasi ….
Jalan
Hutan
Padang
Serta
gunung
Lalu
kembali ke rumah
Setiap
hari bergegas menghadap dunia
Di
rumahlah menemukan diri
Berbaring
tak pernah ke
manamana
Tapi
rumah yang mana?
MAUT
Peluru
kamu panas
Dan
membawa kematian
Tetapi
..
Bukankah
kamu abdi kami yang setia
Tanah
Hitam….
Kamu
kelak menjadi selimut kami
Tetapi…
Bukankah
kami menginjakmu dengan kuda kami?
Maut
kamu dingin tetapi kamilah tuanmu.
Bumi
akan merebut jasad kami
Surga
menjemput jiwa kami…
Tentang
Sultan Musa
Sultan Musa, berasal
dari Samarinda Kalimantan Timur. sebagian karya tulisnya di himpun dalam
beberapa antologi puisi maupun cerpen bertaraf Nasional maupun Internasional,
seperti “Balikpapan Kota Tercinta
Kumpulan Cerita Pendek”
Jaringan Seniman Independen Indonesia 2008, “Hantu Sungai Wain” Kumpulan Puisi dan Cerpen Jaringan Seniman
Independen Indonesia 2009, “Kalimantan
Timur dalam Sastra Indonesia“
Panitia Dialog Borneo-Kalimantan XI
bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur Juli 2011, “Ketika Senja Mulai Redup Kumpulan Puisi” Kaifa
Publisihing Bandung 2016, Antologi
Puisi Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2017 “The First Drop The Rain” Wahana Resolusi Jogyakarta, 2017. Pada Juli 2018 puisinya lolos kurasi
Antologi Puisi Penyair Dunia “Wangian
Kembang : Antologi Puisi Sempena Konvesyen Penyair Dunia – KONPEN 2018”
yang
di gagas Persatuan Penyair Malaysia dan di ikuti sebanyak 11 Negara. Antologi
Puisi “Dari Balik Batu – Batu Candi” Kelompok Pemerhati Budaya & Museum
Indonesia (KPBMI) Jakarta 2019. Antologi Puisi “Jazirah 2 Segara Sakti Rantau Bertuah” Festival Sastra
Internasional Gunung Bintan 2019. Antologi
Puisi “Saat Berjumpa Di Kertas” Garis
Khatulistiwa, Makassar 2019. Antologi
Puisi “5:00” Ellunar
Publisher, Bandung 2020. Antologi Puisi “Pringsewu,Kita
Rumpun Di Tepi Way Tebu”
Lampung, 2020.
Antologi Puisi “Potret Kehidupan” 2020. Antologi Puisi “Rumah Semesta” Bali 2020. Antologi
Puisi Sempena Pertemuan Dunia Melayu 2020.
Antologi Puisi “Perempuan–perempuan
Kencana – Serpihan Puisi Tentang Perempuan Istimewa “
Lingkar Studi Sastra
Setrawulan 2020. Antologi Hari Puisi Dunia 2020 “Berbisik Pada Dunia” Yayasan Hari Puisi – Jakarta 2020. Serta tercatat pula di buku “Apa & Siapa Penyair Indonesia –
Yayasan Hari Puisi Indonesia”
Jakarta 2017. Merupakan 10 Penulis Terbaik versi Negeri Kertas Awards Indonesia
2020 & Penyair Pilihan dalam even Antologi Puisi Bersama 2020 “Perempuan
Istimewa” – Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA) 2020. Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa serta laman daring
online. Buku karya tunggalnya sudah
terbit di antaranya “Candramawa” 2017,
“Petrikor” 2019 dan karya terbaru saat ini berjudul “Sedjiwa Membuncah” 2020 & “Mendjamu
Langit Rekah
” versi e-book 2020. Untuk
berkomunikasi dapat melalui email : seesultan@yahoo.com
Catatan
Lain
Baiklah, kira-kira begini bunyi sinopsis kumpulan puisi ini:
Sedjiwa Membuncah,
seakan ungkapan warna pada abu- abu yang sulit dipastikan karena keberadaannya
tidak sesederhana hitam dan putih. Lewat kumpulan puisi ini anggap kita berada
di antara hitam dan putih. Ketika warna abu- abu itu sebagai objek yang kita
lihat berbeda, maka telah terjadi kelelahan dan hilangnya “pelengkap” warna
tersebut. Itulah kesetiaan warna…
Lewat sedjiwa membuncah menginginkan
pencerahan akan sebuah kebebasan akan segala sesuatu yang kita pahami terjadi
di luar kendali kita dan hal yang berada dalam kendali kita. Sembari memungut
setiap bait dalam kumpulan puisi ini untuk mengasihani diri sendiri atau
bercermin dari segala problematika untuk memperbaiki diri sesudahnya, kamu yang
mana?


Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top