Bandung, bekerjasama dengan
Kiblat
Salim
di Paris
Jakarta, 2003)
Sepilihan puisi Surachman R.M. dalam Seribu Kekupu
GUGURITAN LANGIT
Lantaran langit, manisku, gebyar
gemerlap dan
pengembara malam berlayar ke
ujung larut
tataplah butiran jenuh cahaya.
Intan berlian,
mirah delima, safir biru,
akuamarin, dan zamrut
Untaian-untaian anggur, dari cemerlang
hingga samar, tersingkap tirai
penghalang
Sang pohon tak terduga di mana
pucuknya
dan reranting tak tersentuh di
mana tampuknya
Semua disajikan bagi segenap
penghuni
di bentangan semesta dan di
lazuardi luas ini
Apa boleh buat jika umur sangat
terbatas
kurang dari sekejap sukma pun
tumpas
Lantaran langit, manisku, mulai
pijar
dan baru saja ia mempersembahkan
fajar
Apa salahnya menghirup alam
teramat jernih
dengan wajah penuh kasih
senantiasa bertasbih
Dari tepi daun usia, kita tadah
embun subuh
biarpun setetes buat benang hayat
yang rapuh
Berkafilah sebagai musafir di
gurun waktu
manusia berkendara abad menafsir
jejak
Mewarisi garapan dari peradaban
lalu
beban amanah biar buana tambah
semarak
Begitulah sejarah mengajarkan.
Sejak bahari
kita cuma bersentuhan ujung-ujung
jari
MEMBACA JEJAK
Kutemukan, di balik kerutan
waktu, setumpuk
sajakku paling tua. Jejak suara
dialirkan darah. Gemuruh
deras. Meluap di aorta belia
Dengan harapan sederhana
mencoba menyapa dunia. Lewat kata
yang ditempa menyampaikan salam
tulus
Kukenali, di balik sajak-sajakku
paling tua, wajah
teman-teman lama. Kuhitung satu
per satu
bertegur canda bertukar cerita
tentang sayap cinta atau
cakrawala biru
Penanggalan hari ini merujuk
bilangan windu. Sejak awal
memilih kata
Entah pabila sempat menuai
mestika makna
MENATAP LUKISAN
Hutan
tak bertanda. Gunung tak bernama
Lembah yang baka dan rahasia.
Begitu lirih adalah
angin merayu dunia. Dan bujuknya,
‘Kekalkan pasti
sembunyimu di balik hati yang
paling sunyi…’
Jam-jam
semakin larut. Apa lagi yang mau
kaugali di pusaran malam yang
jenuh?
Sebutir angan cukuplah. Sebagai
pencahar rindu yang tak kunjung
usai.
DI ATAS SUNGAI HAN
< Diceritakan kembali
ke Sabar Hulu >
Pepohonan sudah tidak lagi
berbunga. Musim gugur masih belum
tiba
Sungai Han laju menghilir
membelah dada kotamu
Bening kulit kristalnya merekam
nyala
Nyala mawar langi. Tenggelam—
dalam kian dalam
Satu jembatan dilewati. Jembatan
demi jembatan menghapus
sepanjang usiamu usiaku
Boleh jadi sedang bercumbu
sekian ribu pasang ikan
di bawah lunas kita
Kapal yang menghulu itu
mendekat, mendekat, dan
berpapasan
Seorang bocah lugu tak berdosa
melambai-lambai dari buritan
Sepertinya mendamba bau lautan,
benua-benua, kota-kota…
Sekawanan burung berpencar
sebelum saatnya nanti
melintasi negeriku di selatan
Di atas gugusan gedung dan
puncak-puncak menara
mega-mega pun menarikan tari
kipas
di pusat pentas anganku
Sungai Han laju mengalun
Muaramu muara kenanganku juga
Seoul, 1987
NAMAMU
< membaca Tsuboi Shigeji
dan Richard Brautigan >
Maafkan aku. Selalu tak mudah
menghafal nama-nama
Kau siapa ya?
Tunggu
O ya. Namamu adalah
mosaik yang hilang
Namamu adalah
sajak tak selesai
yang disimak berulang-ulang
Banyak namamu aku tahu
Namamu
adalah burung yang meninggalkan
kawanan
Juga bunga matahari. Menyala
Membakar. Mekar
Atau surat-surat lama
yang sayang bila dibuang
Atau nada-nada
yang menggantung pada larasnya
Dan apa lagi ya?
Namamu adalah
naluri kijang sedang diincar
panah. Namamu
itulah rinduku
SUATU HARI DI NIKKO
1.
Yang besar menjulang itu
cemara raksasa. Di bawah rimbunmu
aku turut mendaki tangga sejarah
Ke-shogunan-an Tokugawa
Kedap segala pengaruh dan racun
bahaya. Terlindung. Kurun demi
kurun
Agak
jauh dari mausoleum, sahabatku berkata,
‘Kerap ku mimpi dalam mimpi dan
mimpinya selala bertatawarna.’
‘Benarkah?
Hitam putih mimpiku. Tapi
mimpiku dalam tiga bahasa. Dan
yang keempat, itulah bahasa
mimpi.;
Masih
terbayang juga
sisa-sisa salju yang setengah
beku
2.
Inilah
jejak akhir kejayaannya
Lebar terbuka pintu pembaharuan
itu
mengundang dunia dan siapa saja
Kunikmati hawa sejuk pegunungan
Air terjun Kegon, Danau Chuzenji,
sambil merenungkan makna
tersembunyi
di balik “ukiran sang kera tiga”
(Tutup
rapat telingamu. Juga mulut dan
matamu:
Jangan
asal nguping
Jangan
asal ucap
Jangan
asal intip.)
Tapi bisakah?
Tanpa terasa
senja hampir tiba…
1982
MELARUNG, MALAM PURNAMA*
For Siska
Meninggalkan dermaga, pelan
berlayar dari hulu
membaur atau menyelinap di antara
para tamu
Mengakhiri petang, langit tanpa
hiasan awan
Di atas anjungan, malam
dilengkapi bulan
Lupakanlah segala duka karena
semua bersukahati
Lepaskanlah segala beban karena
ada di pusaran pesta
Tari dan nyanyi silih berganti.
Kita nikmati
minuman makanan yang eksotis nama
dan rasanya
‘Tengok! Di atas tengok, tuh!’
desakmu
Balon-balon lentera kertas
bertebaran di udara
Letupan kembang api berbiak:
merah, hijau, dan biru
Riuh sorak sorai penonton dengan
gema di rongga dada
Ada sembilan kuil agung di tepi
sungai
yang satu dibungkus kemilau
cahaya hijau
‘Itu Wat Arun,’ aku giliran
bertutur
‘Dan komplek emas itu… Istana
Dinasti Chakri.’
Saat berlabuh, peluang pun
diberikan
melarung lilin, bunga, dan dupa.
Bergantian
menghembuskan keinginan yang
diperam hati
Tapi kekal jadi misteri
Nah, kapal balik haluan. Armada
lilin seribu
mengalun ke hilir. Bersama bunga,
doa, harapan,
armada lilin seribu menuju teluk.
Menuju laut
Meninggalkan kita di buritan
Hanya ratu purnama yang tahu
nyala api larungan siapa melintas
mulut muara
atau padam di palung jiwa. Karam,
dalam badai untung-malang kita.
Chao Praya River, Bangkok
November 2009
* Festival Loy Krathong
berlangsung di purnama ke-12 dalam penanggalan tradisi Thailand. Sungai-sungai,
kanal-kanal, dan danau-danau di seluruh negeri di malam tersebut semarak dengan
cahaya llilin dalam krathong (wadah
dari daun pisang) yang dilarung.
UPACARA PEMAKAMAN*
< teringat
Rusman Sutiasumarga >
Dalam upacara pemakaman
aku bertemu dirinya
tidak
kusangka
Wajahnya yang setengah baya
melukiskan potret kenangan
Agak memudar bagai baju kebayanya
‘Aku sudah punya cucu
Anakmu berapa?’
Aku cuma ketawa tertahan
Lebih dari 20 tahun
cukup lama dalam umur manusia
Ketika upacara berakhir
ia berkata pula
‘Apa?’
desakku ingin jelas
‘Tak bakal ketemu lagi
Masa muda
tak
bakal ketemu lagi.’
———-
* Versi Sunda diumumkan dalam Majalah Mangle (terbit di Bandung) dengan judul “Basa Ngurebkeun” (Saat
Pemakaman). Ajib Rosidi menerjemahkan versi tersebut ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul “Di Kuburan” dan dimuat dalam antologi Puisi Sunda Modern dalam Dua Bahasa (Pustaka Jaya, 2001). Sedangkan
puisi dalam Bahasa Indonesia versi penyair seperti tertulis di atas, dijuduli
“Upacara Pemakaman”.
KERETA PENGHABISAN
Mengemudikan kereta listrik ini
sang masinis, terampil sekali
bukan?
Stasiun-stasiun yang disinggahi
Semua
ada di luar kepalanya
Jembatan dan tiang-tiang
gedung-gedung dan pepohonan
seperti memburu menyergap kita
Kemudian
terpelanting ke belakang
Mestinya listriknya mati
tiba-tiba
kita terperangkap lama sekali
Atau kereta ini terus saja
melingkar-lingkar
mengitari bumi
Sungguh tak kusangka. Masinis
inilah yang memisahkan kita
sehabis hanya dua tiga kali
berhenti
Untuk
selama-lamanya?
Sebaiknya aku jadi anak kecil dan
kereta kita jadi kereta-keretaan
berputar-putar bagai ular. Lalu
kamu
mengingatkan.
‘Nak, makan dulu ya.’
(Turun di Stasiun Shibuya,
Lewat Pintu Hachiko)
SAJAK
< teringat Ayatrohaedi >
Bagaikan jin, hantu dan siluman
mambang
Tanpa ketukan di pintu atau
pura-pura batuk
masuklah ia ke rumah. Kemudian
duduk
di atas sofa dengan bantal
bersulam kembang
Rasa kenal rasa tak kukenal,
kutundukkan
kepala. Segan menatap anggun
wajahnya
Di luar penghayatan betapa asal
kejadiannya
ia pun merangkul-rangkul dan
menyusup ke pangkuan
Sambil kembali lolos aku tak coba
menyidik
dorongan apa mendesak
kedatangannya tiba-tiba?
Persoalan semenjak bayang tampangnya
musnah:
apa arti komat-kamitnya tadi
lewat jalan bisik?
LEMBAH KALBU
Kepada Ajip Rosidi
Di ceruk lembah kalbu berselimut
lumut
ada tempat tersembunyi untuk
bersunyi. Hening
tak terganggu oleh waktu. Tenteram
mengenang Kasihku.
Lima ratu telapak tangan
permukaan batu itu. Tikar
persimpuhan buat melumat gelisah
Bersujud. Diam. Menghadap-Mu
Di naungan cabang-cabang dahan
kemboja
Dari balik sudut paru, lapuk
sarat karat
terpancar air tanah, penawar
tenggorok kering
Hari ini bening sekali. Lain hari
kumuh keruh
Kuakui jiwaku mulai berontak.
Bebal. Alpa
Jiwa dina ini tanpa satu
pendirian
Suka memuja godaan. Mengubah arah
tujuan
Kasihku, ah Kasihku. Sering
batin-
ku letih. Lesu terkuras tenaga
SERIBU KEKUPU
Untuk Tuty, Mia, dan
Firdaus
Kini aku tahu tentang rahasia
madu
yang dilahap dari sumbernya oleh
seribu kekupu
Terus telur-telur kehidupan itu
bertebaran
dan berlabuh di antara anak
dahan, dedaunan
Ada yang menari-nari. Ada yang
dalam merenung
menafsirkan firasat – saat
kematian itu
mustahil luput. Menggelar
batik-batik sayapnya
sebelum melesat dari landasan
fana terhina
Selaksa ulat di sudut taman
tenteram sekali
merayap, melalap lembar demi
lembar daun
Mengerti satu hari diri semadi.
Menyepi
dalam sel waktu, sisa usia
menurun.
Di relung insektarium aku pun
ikut-ikutan
mengamati aneka kekupu. Tersemat
kaku –
hijau, kuning, dadu, biru, ungu…
Siapa haru di mana ruh-ruhnya
berkeliaran
Butterflya Farm
Penang, Malaysia
DI PROVINSI UTARA, SORE HARI
Daun entah keberapa puluh kali
berjatuhan lagi
Musim entah keberapa ratus kali
gonta-ganti kemudian rujuk
kembali
Sejak Slauerhoff menikmati
berskating menyusur es di selokan ini
Sejak Slaurhoff tarik jangkar
menjelajah kutub puisi. Berlayar
ke luar bendungan kata dan
lamunan.
Dataran utara maha luas, lautan
maha
kering. Ditambak bukan oleh angan
Melayung mataharinya. Setia
membuntuti
Semakin besar tapi semakin lesu
Begitulah aku lolos dari jejaring
kabut Groningen. Balon baja
membara itu
menurun disambut ufuk yang purba.
Antara Assen
dan Leeuwarden
Jadi
relakan saja sekali lagi
aku melukiskan flora fauna
atau peristiwa fana
Dan kilasan sekelebatan
khazanah ingatan sang pengembara
Seekor belibis melesat tergesa
dari balik pimping rindang
Dan nyanyian kembang-kembang
tulip
hanya di taman khayali
Tentang Surachman
R.M.
Matahari (Budaya Jaya, 1974), Seribu
Kekupu (2012), Buat Sebuah Nama
(manuskrip) dan Di Negeri Hirota Koki
(manuskrip). Kumpulan puisi dalam bahasa Sunda Surat Kayas (Balai Pustaka, 1967), Basisir Langit (Balai Pustaka, 1976), Di Taman Larangan (Kiblat Buku Utama, 2012) dan Basa Ka Olivia (manuskrip). Puisinya
juga ditemukan dalam antologi bersama seperti Tonggak 2 (ed. Linus Suryadi AG, 1987), Angkatan 66, prosa dan puisi (ed. H.B. Jassin, 1988), dll. Puisinya
telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Prancis, Jerman dan Rumania. Pernah menjabat
sebagai pimpinan Lembaga Negara Ombudsman RI (2008-2011), menjadi anggota
perhimpunan Profesor Hukum Sedunia (World
Association of Law Professors). Di buku ini, tak
dijelaskan kapan dan di mana penyair lahir. Juga di mana ia menyelesaikan
pendidikan.
Catatan Lain
telah lama saya mengenalnya. Sejak saya pelajar. Mungkin dikenalkan oleh Ajip
Rosidi, entah melalui tulisan atau buku apa. Di dalam ingatan saya, nama
penyair ini selalu terhubung dengan “Surat Kayas”. Hanya kata itu saja. Bukan
dengan puisinya. Saya tak mengingat satu pun puisi dari penyair ini. Begitu.

Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.