koleksi iPusnas

Susilo Bambang Yudhoyono: MEMBASUH HATI DI TAMAN KEHIDUPAN


 Data Kumpulan Puisi

 

Judul buku: Membasuh Hati di
Taman Kehidupan

Penulis: Susilo Bambang Yudhoyono

Penerbit: KPG (Kepustakaan
Populer Gramedia), Jakarta.

Cetakan: I, Agustus 2014

Tebal: xxii + 136 halaman (77
puisi)

Foto-foto: Ani Yudhoyono

Penataletak: Wendie Artswenda

Perancang Sampul: Iksaka Banu

Prolog: A. Mustofa Bisri dan Putu
Wijaya

E-ISBN: 978-602-424-966-3

 
Membasuh Hati di Taman Kehidupan terdiri atas 2
kumpulan puisi yang pernah diterbitkan untuk kalangan terbatas, yaitu: Taman Kehidupan (2004, 31 puisi) dan Membasuh Hati (2010, 46 puisi).
 
Sepilihan puisi Susilo Bambang Yudhoyono dalam
Membasuh Hati di Taman Kehidupan
 
Rasa dan Kehidupan
 
Di padepokan tua
di kaki Bukit Banyu Kahuripan
berkata Ki Sudi Panuntun, sang
guru filsafat Jawa
 
Anak-anakku
kau boleh melanglang buana
menyeberang laut, menjelajah
dunia
mencari makna
hakikat hidup di dunia fana
 
Aku tidak tahu
apa yang kau dapatkan anakku
ketika segalanya tak selalu
terang
meskipun kau datang
berulang-ulang
jangan-jangan engkau
mendapati alam sunyi penuh
kehampaan
 
Di seberang sana
ada pohon kelapa, berkelompok
lima-lima
dan semua memberi guna
pada manusia
 
Jika pencarian makna pohon kelapa
kau mulai dari akar, batang, daun
dan manggar
juga sabut, tempurung, buh putih
dan air manis segar
kau dapatkan segala makna
yang serba benda dan kasat mata
 
Tetapi,
jika kau sejenak bertafakur
dan kau buka pintu jiwamu
yang tengah mendaki dan mencari,
kau akan dapati anakku
bahwa dalam manisnya air kelapa
ada rasa
dan hanya rasa,
hakikat dari segala kehidupan
manusia
 
Bogor, 6 Agustus 2010
 
 
Old Soldiers Never Die
 
Kusimpan dalam pojok memorabilia
baret hijau yang menyimpan cerita
di medan latihan, di medan laga
di bukit-bukit terjal, di
tebing-tebing curam
di Timor Timur, di Bosnia dan di
Amerika
 
Baret hijauku, yang lekat di
ragaku,
dan dalam jiwaku
menembus gelombang laut di malam
gulita
meloncat dari deru pesawat,
melayang di udara
bersatu dalam heroisme
prajurit-prajurit muda
yang tak kenal bahaya
karena itulah sumpahku pada
negara
sepanjang masa
 
Aku sering rindu
berlari bersama prajurit lintas
udara, di lapangan hijau
dalam gegap gempita mars pasukan
elite
bagai rajawali yang menukik
dan menyambar lawan dari langit
biru
 
Meskipun masa-masa indah itu
telah berlalu
bakti ksatria sejati tak pernah
henti
 
Old soldiers never die; they just fade away….
 
Wisma Negara, 1 Agustus 2010
 
 
Anak Laut
 
Bocah kecil bermain di tepi laut
Bercanda, berbinar dalam tawa
dan menari di gulungan ombak
putih kemilau
 
Aku berlari di kolong langit biru
menjemput burung camar yang
terbang tinggi,
menghampiri nyiur yang bergoyang
dan melambai
 
Oh, indahnya alam ini!
Oh, lepasnya hati ini!
 
Kubernyanyi,
dan tak henti memuji keagungan
laut ciptaan Ilahi
Kusapu batu karang,
dan kudekati pasir bening
memanjang
dalam debur ombak pantai selatan
 
Aku tak lagi bocah kecil yang
berlari
dan bercanda dengan paman nelayan
di tepi pantai penuh kenangan
 
Tapi,
laut yang luas di kolong
kemesraan ini
adalah hatiku yang terus hidup
di taman impian dan pengharapan
 
Jakarta, 21 Januari 2004
 
 
Demi Waktu
 
Bulan di atas perahu
Sendu
 
Cemara di kaki gunung
Termenung
 
Lolong ke keheningan malam
Kelam
 
Pengemis di ujung kota
Duka
 
Kutahu waktu menjanjikan berkah
Kuburu, pantang menyerah
Apalagi pasrah
 
Jakarta, 20 Januari 2004
 
 
Cinta
 
Cinta itu buta
Cinta itu dahaga
Cinta itu kembara
Ke mana,
kekasih kau kupuja?
 
Lembah yang dalam, tak perlu kau
turuni
Gunung yang menjulang, tak perlu
kau daki
Laut yang membentang, tak perlu
kau arungi
Karena cinta tak pernah pergi,
di sini
di dalam hati
 
Mestikah cinta terus bersinar
dalam kelam yang mulai pudar
dalam jiwamu yang makin bergetar
dan bola matamu yang kian
berbinar
 
Cikeas, 4 Februari 2004
 
 
Jakarta
 
Jakarta ini neraka
kota brengsek dan penuh derita,
keluh Maman
Dua tahun aku terlunta
dan terseok di sudut-sudut kota,
nestapa
 
Kutinggalkan Priangan Timur
dengan impian
Kurenggut tali keakraban
dan manisnya persaudaraan bersama
teman
Kuberlari, kudatangi kota harapan
Dusta!
Perahuku kandas
Impianku terjatuh di jalanan
dan tergilas kehidupan malam yang
kejam
 
Kau ingin jadi apa?
tanya Didin sang pengamen
Majikan?
Tuan Kaya?
Mobil Mersi,
dan Rumah Idaman?
 
Begitu yang kudengar dari si
cantik Euis
kawan sekolah di kampung sebelah
Ia bergelimang suka
berlian dan gaun sutera
Ia ucapan surga, taman Firdaus,
di Jakarta Raya…
Tunjukkan padaku, pengamen kurus
di mana Euis punya surga?
 
Aku tak kenal Euis
dan juga surganya
 
Aku tak pernah peduli pada apa pun
kecuali surgaku sendiri
yang kumiliki dalam jagadku
 
Adakah?
 
Ya, di hatiku
Dalam sukmaku
Dalam ragaku,
dan jiwaku yang bebas dari
khayalan
dan beribu angan-angan
 
Hari-hariku adalah surga yang
kucari
Menuntun batin dengan tembang dan
kasih,
Bersemi di taman Tuhan
 
Jakarta, 22 Januari 2004
 
 
Berlayar di Langit Biru
 
Kuhabiskan waktu
berlayar di langit biru
di atas pulau seribu
dan tertidur di mimpiku
 
Apa yang kucari,
berminggu dan berhari
mengarungi jagadku yang sunyi
ketika awan itu tiba-tiba pergi
 
Bumiku lengang
kakiku melayang, tanganku terbang
di awang-awang
 
Haruskah kukembali
ke pelabuhan hati
ketika buih pun tak lagi
bernyanyi
 
Ke mana lagi?
 
Cikeas, 4 Februari 2004
 
 
Malioboro
 
Malioboro yang kukenang dulu,
beberapa windu lalu,
ketika puncak Merapi
setiap hari masih berselimut
kabut,
dan pedagang kaki lima
sejak subuh telah menjajakan
ketan dan ubi bakar,
adalah Malioboro yang ramah
hangat, tapi tak panas
banyak kelakar dan tegur sapa
 
Aku pangling, kini
Malioboroku tak sembunyi dari
angin globalisasi
dan deru modernisasi yang kian
menjadi
yang hampir tak menyisakan
sudut-sudut kehidupan
yang dulu kurindukan dan
membuatku kerasan
 
Pernah kusapa pelukis bunga
dan juga pematung candi,
meskipun tidak seterkenal maestro
Affandi
yang punya hati dan kerap
bercerita
tentang kehidupan,
dan perubahan
 
Tak keliru, kata sang pelukis
kalau Yogya dan Malioboroku tak
seperti dulu
karena inilah kehidupan
yang terus berputar dan mengejar
ketidakpastian
meskipun, warisan manis dan
nostalgia
tak harus dibiarkan terkubur
tanpa nisan
 
Biarlah aku, seniman tua dan
kawan-kawan
yang bertutur kepada mereka
anak-anak zaman di hadapan
yang tak selalu punya mimpi
dan indahnya kenangan
 
Cikeas, 1 Agustus 2010
 
 
Lukisan yang Hilang
 
Sudah lama kulihat lukisan itu
tergantung
di atas meja berserak
dan tumpukan buku-buku dan gelas
yang retak
 
Entah siapa yang pernah menyentuh
debu di ruas pigura tua itu
dengan jemarinya
yang tertinggal dalam
bayang-bayang
 
Kini lukisan itu menghilang
mengejar remang dan jejak-jejak
cahaya
yang menembus sudut jendela
rumah tua di pinggir dermaga
 
Jakarta, 29 Juli 2010
 
 
Kangen
 
Rindunya hatiku padamu
kekasih tambatan hati
di seberang sana
 
Bolehkan kutitipkan salam
lewat burung kenari
yang terus bernyanyi
 
Sayang, aku kangen
pada pelangi di matamu, dan
kasih indah di dadamu
 
Masihkah bersemi?
 
Jakarta, 11 Februari 2004
 
 
Jagadmu yang Kembar
 
Pernahkah kau menyusuri hidup
yang perih?
 
          Karena
ragamu letih, hatimu pedih, dan
          tertatih
kau dalam perjalanan panjang
          mencari
terminal hidup yang kau sebut
          “bahagia”.
Dan kau marah karena alam
          mengejekmu
bulat-bulat, bagai
          menghantammu,
ombak ganas
          menghempaskanmu,
dan terdampar kau
          di
karang kering, di tengah malam yang sunyi.
 
Sudahkah kemudian kau putuskan
langkahmu
untuk berbalik arah ke bandara
hidupmu yang
kembar?
 
          Kuingat
ketika kau kenalkan jagad besar
          dan
jagad kecilmu kepada bulan, kepada
          bintang,
kepada lautan, dan kepada burung
          dan
kupu-kupu riang yang tak putus
          berpantun
kasih. Dan kepada semuanya.
          Romantisme
jagad kecil di taman sari jagad
          besar,
yang terus berkelana, tak tidur, tak
          henti,
sampai nanti.
 
Harus kukatakan kini: jangan kau
hentikan
langkah, meski terminal yang kau
cari tak
mungkin kau dapati. Entah berapa
windu.
Sampai jagad kembarmu menjadi
satu. Dalam
hidupmu.
 
Yogyakarta, 16 Februari 2004
 
 
Indonesiaku, Alam Kehidupanku
 
Aku berdiri di tepi bukit, di
kaki langit,
ketika kabut pagi menepi dan
pergi,
dan melambai di ngarai sunyi,
dalam dendang burung kepodang,
yang menari dan bernyanyi riang
 
Aku terpana memandang sang Surya,
yang memancarkan cahaya
kehidupan, sinar keemasan,
juga kerinduan dan harapan,
menyambut zaman yang mulai tiba,
tanah Indonesia yang kian
sejahtera
 
Di malam hening pernah kupejamkan
mata
dalam kelam, duka dan nestapa
ketika negeri ini bagaikan runtuh
karena bencana
pertanda alam yang tengah murka
 
Dan ketika hatiku menengadah,
memohon ampun
dan kupasrahkan segalanya
kepadaNya,
meski aku tak pernah putus asa
apalagi menyerah, untuk membangun
dan
menapaki hari esok, menuju gelombang
baru
peradaban bangsa….
 
Kudengar firman Tuhan dalam
hatiku:
 
          “Negerimu
besar,
          alammu
indah, bumimu kaya
 
          Anugerah
dan musibah, tak perlu
          membuatmu
menyerah
 
          Taburkan
kasih sayang,
          dan
bersahabatlah dengan alam semesta
 
          Kuberikan
berkah,
          bersamanya.”
 
Jakarta, 1 Juli 2007
 
 
Burung Kepodang
 
Burung kepodang
Melompat riang
Di pohon ketapang
 
Kuucapkan padanya selamat siang
dalam dendang
 
Oh, kepodang
Ke mana kau terbang?
 
Jakarta, 29 Juli 2010
 
 
Kenduri di Tengah Kota
 
Abang Jamil ingin kenduri di
tengah kota
sama teman yang dulu bermain bola
di sepetak tanah
dekat Terminal Kebun Kelapa
 
Dulu ada Mamat, Ujang, Mu’in, dan
Dadang
saban hari berkelakar dan
terkadang
bergadang dengan riang
sambil memuji Si Euis, bintang
kelas dari Sumedang
 
Kenduri, buat Jamil, untuk ingat
dan bersyukur
ketika hidup makin dikejar umur
menghitung amal dan dosa,
dari hidup yang tak selalu mujur
 
Ah, tapi di mana mereka semua
karena lama tak saling menyapa
apalagi berbagi suka
 
Sebulan sudah Jamil mengundang mereka
melalui koran kesohor Acuh Saja
kebanggaan masyarakat pinggir
kota
 
Tapi mereka tak kunjung datang,
hati Jamil kembali lengang
sunyi, dan tertidur dalam
bayang-bayang
 
Jakarta, 30 Juli 2010
 
 
Kuda Tua
 
Dua kuda tua
Terlunta-lunta
 
Memang tua
Dimakan usia
 
Cobalah kamu sapa
 
Cikeas, 28 Juli 2010
 
 
Flamboyan
 
Kembang merah di ujung kota
Menunggu sapa angin utara
Atau langkah kuda penarik kereta
Pembawa berita
dan simfoni cinta
 
Flamboyan, kaulah yang dirindukan
sang pengembara
Yang menapaki harinya tanpa
huru-hara
hingga puncak almamater para
ksatria
 
Jika bungamu jatuh berguguran
dalam semerbak wangi sinar pesona
Kau ucapkan selamat datang
pada pengembara berpedati tua
Yang tak henti berucap bahagia
karena perjalanan panjangnya
tidak sia-sia
berakhir di batas kota
 
Semarang, 25 Januari 2004
 
 
Hidup di Desa
 
Merdunya seruling di malam hening
Di relung bulan sabit, di atas
bukit
Sedamai hati petani, ketika mimpi
telah pergi
Menanti mentari pagi bersinar
kembali
Membawa salam ke seluruh negeri
 
Ketika kokok ayam memecah
kebisuan dusun
dan fajar meremang di ufuk timur
Kehidupan insan menapak lagi
Mengarungi hari panjang yang
menjanjikan
harapan
 
Bila sang surya lengser perlahan
di ujung senja
Warga desa bergegas kembali
ke rumah-rumah mereka
 
Berbagi cerita dalam kisah suka
dan duka
Meski hati tetap bahagia
Karena itulah dunia mereka
Hidup di desa,
pewaris adat nenek moyang mereka
 
Jakarta, 13 Februari 2004
 
 
Tentang Susilo Bambang Yudhoyono
Tempat dan tanggal lahir Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak
sebutkan di buku ini. Cuma ada dikatakan bahwa jiwa seni SBY tidak muncul
begitu saja, melainkan tumbuh dan bersemi sejak masa remaja. Ia mengikuti
hampir semua ekstra kurikuler sekolah seperti menulis puisi dalam bahasa Jawa
dan Indonesia, mengikuti sanggar seni lukis, tari, drama, gamelan, seni wayang,
dan bermain musik. Selain menulis puisi, juga menulis/mencipta lagu.
 
 
Catatan Lain
          Ini kata Gus Mus di dalam prolognya:
“Petinggi negeri dan politisi, khususnya di negeri ini, boleh jadi termasuk
makhluk yang sulit dibayangkan hubungannya dengan sastra. Lebih sulit lagi
membayangkannya berpuisi, apalagi memuisi. Kalau akhir-akhir ini ada pejabat
baca puisi, biasanya sekadar mengikuti tren untuk meramaikan suatu acara
tertentu. Biasanya bersama berbagai kalangan yang lain seperti artis,
pengusaha, ulama, dan lain-lain—kaprahnya sudah disiapkan puisi-puisi yang akan
dibaca.//Petinggi atau politisi menulis puisi tentu merupakan sesuatu yang
ganjil. Di negeri ini puisi mencitrakan cita rasa dan kelembutan, sedangkan
petinggi dan politisi sudah terlanjut tercitrakan sebagai tak memiliki cita
rasa dan vulgar. …”.
            Kata Putu Wijaya:
“Menulis puisi tidak serta-merta menjadikan seseorang penyair, sekalipun dia
seorang presiden. Dan SBY pun tidak menulis puisi karena dia presiden. SBY
telah merasakan potensi puisi, lalu memberdayakannya untuk memaparkan pikiran
dan renungannya sebagai presiden dalam memimpin bangsa berjuang mengukuhkan
kembali karakter yang retak.” Begituh.


Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top