Surabaya.
esai)
Press
Sastra Dewan Kesenian Surabaya, 16 Oktober 2000
Tjahjono Widijanto: Dunia Jadi Sebuah Cerita yang Tak Utuh) dan Tjahjono Widijanto
(Sajak-sajak W. Haryanto: Sajak-sajak Gelisah dalam Kosmologi Hiruk-pikuk)
Sepilihan puisi Tjahjono Widijanto dalam Keajaiban Bulan Ungu
KABA DARI NEGARA SENJA
Bersama detak jam aku menghayuti
alirmu
memecah-mecah heningmu dengan
fantasi selaskar-laskar pasukan
bertaring hiu memetiki
bunga-bunga di lekuk gambut yang kusinggahi
inilah, telah dibuatkan
mantra-mantra baru buat dewa-dewa:
bernama peta pengganti sesaji di
altar-altar tua
tempat anak-anak dan pertapa
disembunyikan
Matahari akan menyimpan malam
sebelum sempat memandikan bumi
orang-orang mencoba berkaca
diiringi derap sepatu lars
kita menari bersama roti, anggur,
dan sesobek bendera kusam
juga bedil bersanding mawar
lengkap dengan duri-durinya,
pertapa-pertapa suci itu akan
berkata:
–
sebuah pentas digelar para dewa!
siaplah jadi pemain!
Pada tiap tasik kusebarkan benih
kelak ia akan mengarang-ngarang
cerita
kisah bapa-bapanya bertaring hiu
metiki bunga-bunga
lalu ibu – perempuan itu –
direbutnya jadi miliknya sendiri
rahimnya melahirkan
karang-karang, batu-batu,
fosil yang meriwayatkan epos-epos
seratus tahun perjalanan
dengan bahasanya sendiri (dan kau
takkan bisa mengerti)
Apa yang bisa dilakukan di sini?
samadi, menerka silir angin,
menjumpai lumut-lumut
perlahan mengerak di
pungung-punggung batu
sementara kita cuma bisa
mendulang cerita
bertukar legenda, epos-epos
keramat
– cobalah kembali cium jejaknya!
Pada sebuah tasik dengan fantasi
selaskar-laskar pasukan
bertaring hiu memetik bunga-bunga
di lekuk gambut
kita dapat kembali merangkakinya
bersama jarum kompas yang patah
di sebuah negeri senja bersama
sejarah yang luka
dimana kampung-kampung kita
berubah
jadi belukar yang memaksa kita
mengigil
pasrah pada kehendak musim
Lawu, 1998/1999
PALASARA
bukan niatku menyaingi Adam
menurunkan pewaris syah bumi ini
aku hanya sekedar pertapa
yang coba-coba belajar mengayuh
perahu
menekuri rahasia sungai sampai
hulu-hulunya
menyimak kicau burung yang
mengajariku
makna silsilah dan
riwayat-riwayat
bukan niatku menyaingi Adam
menurunkan biji-biji bumi ini
aku sekedar pertapa
yang terpaksa memunguti ceceran
cinta
karena amis sungai disulap jadi
wangi bunga
ayo, beri aku galah bambu lapuk
ujungnya!
buat mengaduk-ngaduk liang rahim
istriku
dan anak-anakku akan berloncatan
bersama
mahkota menutupi kepalanya yang
retak
setelah balita mulai gemar
mengayun-ayunkan
martil ke kepala bapanya sendiri
“Bapa, bapa, kutagih kembali
air susu ibu bersama atlas
perjalan
yang kau simpan dalam saku
jaketmu!”
bukan niatanku menyaingi Adam
menurunkan perwaris syah bumi ini
aku hanyalah pertapa
yang coba-coba menemu pusar
sungai
dan menukar sorga dengan amis
keringat wanita
REQUIEM AETERNAM
Secuil lempung ini kubuat bentuk
tubuhmu lamat-lamat
kusuruh menyanyi menari bersama
gesekan biola
yang menerjemahkan kata-kata
bersama
bulan yang miskram
di sudut malam saat pecah pada
tangkainya
telah disiapkan sebuah tempayan
bolong pantatnya
menadahi ceceran-ceceran air mata
yang menjelma mata air
yang kau buat berkubang saban
hari
kecipaknya menjelma
instrumentalia perkabungan
bersama kelebat bendera yang
turut menjadi sayu
dan kau bisa menghikmatinya
sembari dansa-dansi
sebelum terpeleset ludah sendiri
yang menjelma
songkah akar tunggang meliliti
kaki
bersamanya boleh kau sarapan
semeja
dengan dentam meriam yang
disiapkan sendiri
dentum terakhirnya muncrat
bersama otak meleleh-leleh
esoknya anak-anak mendulang tanah
tempat berkubur
meramunya jadi cat,
menggores-goresnya pada kanvas raksasa
memajangnya pada panorama senja
pucat dikeringkan angin
“papa, mama, requiem aetemam!”
DARI NEGERI KERAMAT
Gong yang teramat panjang ditabuh
ini
dengung-dengungnya menghantarkan
waktu
dalam ruang-ruang udara yang
ganjil
Pertapa dengan guci-guci dan
jubah antik
mengelilingi altar di tanah
keramat
kini ditumbuhi lelumut yang mulai
mengerak
“Selamat datang inilah negeri
suci
tempat manusia berbusana dewa
bersama-sama melupakan nasibnya
sendiri!”
Moyangku adalah manusia-manusia
perkasa
seperti lakon-lakon yang dapat
disaksikan dalam
cerita-cerita wayang yang digelar
di simpang jalan
Kita mengabadikan dengan
kegemaran
menghikmati bau tengik sol sepatu
sebagai bukti ahli waris setia
dari sebuah negeri keramat
Pemburu-pemburu bersliweran
dengan kuda-kuda perkasa
ringkiknya halilintar lidahnya
api
“bawakan lagi perancang peta
untukku?”
Gadis-gadis berdiam di
ceruk-ceruk lembah
diam-diam menorehkan gincu di
bibirnya
(warna merah adalah kesukaan
pemburu, mereka menjeratnya)
Begitulah, lalu di rahimnya
mereka menyimpan
bocah-bocah pesolek dengan jubah
bunga-bunga tapi mata api
rajin merangkai upacara-upacara
menziarahi kubur moyang-moyangnya
“Bapa-bapa, kubawakan kembali
lakon-lakonmu,
sembari menghafalkan potretmu!
Epos-epos tua dikeluarkan lagi
dari bilik-bilik waktu yang berdebu
sejarah telah rapi dilipat dan
digeramangkan bersama bisik-
bisik pendeta tua yang tak lagi
fasih mengeja mantra-mantra
“Selamat datang di negeri kami,
negeri suci
warisan keramat para pemburu
tempat manusia berbusana dewa
berusaha melupakan nasibnya
sendiri!”
Ngawi, 1999/2000
PERJALANAN DI URAT-URAT NADI
Hanya pada deras darah sendiri
kulayarkan perahu,
setapak-setapak
dengarlah bagaimana gemuruh irama
membelah kota-kota pada otot-otot
kaki, tangan, kepala
sebelum terdampar di urat nadi
jangan, jangan kau seru aku!
perahu ini tak bisa terima
penumpang
hanya salam yang dapat kau
titipkan
bersama kelepak camar yang
memburu
berak dan beranak di situ
membangun reruntuhan-reruntuhan
yang menghantammu tak henti-henti
mengintipku
sementara kepala terantuk-antuk
jendela tak berkaca
“Upacara-upacara ini tak
selesai-selesai!”
gaung doa-doa, mantera-mantera
merangkaki
rel-rel yang menjerit
bersama kerikil yang tiba-tiba
menyala
perciknya melambai gugus angin
sesaat sebelum nempel pada lorong
terakhir
bersama nyanyi nahkoda merindu
berlabuh
pada tasik berlumpur perak
matahari
menyediakan oase, lengkap dengan
peta terbuka
lalu lanjutkan jalan, ke arah
manapun
sampai tiang layar melapuk
sendiri
dan mata angin tak lagi bisa
terbaca
MEMO KEDELAPAN BELAS
“gelap ini menyimpan
lampu-lampunya sendiri!”
itulah yang dikabarkan lelawa
dari ceruk-ceruknya yang gelap
rahasia waktu yang ditembusi
malam tak usai-usai
seseorang telah menanggalkan masa
lalu
menyeberangi palung-palung musim
menjumputi nasib cintanya sendiri
kepeng-kepeng logam itu tak mampu
bicara apa-apa
kecuali kesaksian musykil tentang
musafir
yang diharuskan menghafal kembali
namanya sendiri
“masa laluku adalah batu dimana
kau
menyisakan sedikit coretan di
perutnya!”
bisik-bisik itu pecahan batu
kerikil menorehi luka
terus menganga membuat goa-goa
pertapaan baru
bermukim di tiap kelenjar darah,
timbunan
pori-pori dan helai rambut
dibasuhi keringat
terowongan dengan bau kasturi
juga tajam duri mawar
“tanam bunga itu tapi jangan
tinggalkan runcing durinya!”
Sine Ngawi, 05/00
Sepilihan puisi W. Haryanto dalam Keajaiban Bulan Ungu
ZAMAN
“karena
tak ada Sang Juru Selamat bagi semua
akhir
dari lanskap kejahatan kita, ketika
masa
lalu adalah candu, ketika masa depan
adalah
neraka, ketika hari ini adalah jurang
terdalam
dari ingatan.”
Buat
Indra Tjahyadi
1
(percakapan
dari pinggiran kota)
Maut telah mendekati kemayaannya,
tetap suaraku
berdiri
di balik perbukitan –
Di mana aku dan malam menyadari
jalan-jalan yang pengap;
Arakan burung berhimpun seperti
lengan mantelku,
Ketika mataku akan sekusam akhir
dari sebuah lukisan:
tentang
lanskap pinggiran kota,
Yang tak bertahun;
Dunia ini menecil dan menyurut;
Labirin
tumbuh lebih subur,
Dan mataku akan memulai lagi
siklusnya.
Dunia ini akan meliuk menyerupai
lengkung-lengkung pohon,
dan
lagu-lagu hidup yang kau tiupkan tapi tak usai,
Aku ingin hanyut di lubuknya,
Menyadari
seluruh kedangkalan zaman ini –
Malam yang mengukir rasa tubuhku
dengan lengan pesonanya.
Akan kupekikkan ke seluruh zaman,
bagaimana
Maut tercuri dari tanah yang disamarkan badai;
seperti gundukan sang semut,
Aku
menjadi monumen
Di pinggiran kota;
Mulutku menghimpun peralihan yang
kuning di angkasa,
Seperti bentuk mati dari
kesadaran;
Seperti sosok bayangan yang
mengendap;
Seperti isyarat yang menggaungkan
keterpencilannya.
Bahkan hujan bukan milikku, dan
kulihat jejak-jejak yang
Ranum di tanah basah ini –
Akan kutuliskan seluruh lanskap
keletihanmu dan
Menjadikannya
hamparan kebun-kebun jagung yang kering;
Ketika hari melepaskan topi
teriknya.
Kita telah melampaui semua wujud
peristiwa;
Seperti embun di atas daun,
potret kita memburam pada dinding
seakan
nasib kita disalibkan oleh waktu.
Rasa bersalah kita bernafas di
akhir cakrawala –
Lihatlah ke masa lalu,
Lihatlah gundukan pikiranku di
belakang langkahmu,
Di mana kemarau menggeraikan
warna kuningnya;
dan hujan,
adalah satu-satunya Keyakinan –
seperti wilayah pinggiran kota
yang diam-diam raib.
2
(kisah
bulan)
Mungkin tak ada yang tumbuh dari
ranum kecantikanmu.
Kiranya bulan membujukmu menjauh
dan terlena,
di
bukit-bukit yang menjorok ke angkasa –
Dan memberi batas-batas nyata
pada waktu.
Melupakanmu, lukaku tumbuh lebih
jenjang seperti diri
yang
terusir dari bayangan.
Malam membuncah tandas dan
bentangan jalan kereta api ini
Tak hendak membekas di wajahmu.
Menyangsikan cinta, stasiun
terlihat kian jauh,
Seperti gundukan tanah ketika
senja.
Kepergian ini bukanlah tanah
kapur. Denging angin menjadi
Lingkaran dalam otak, tahun-tahun
seperti mantel yang robek.
Pagi meludahkan ingatan
kuningnya, seperti jejak-jejak
yang
bersuara.
Hari ini kita mengulangi seluruh
pembalikkannya. Pada malam,
Kita dengar dongeng dan bayangan
raksasa yang menukik.
Cinta menjalar dan berduyun ke
arah pantai.
Bau kesepian ini, bentuk hiduup
dalam tidur dan menjelma
Aliran sungai:
“Selamat
tinggal, Bulan!”
Kiranya kita mengungsi dan
melebihi pantulan ingatan, rumah
Rumah kayu yang sehijau matamu,
dunia pohonan yang meledakkan
Anganku. Berjalan ke batas sepi,
nyawa kita terasa kering
Dan meranggas
meleleh
seperti tumpahan air;
inikah
rindu?
3
(setelah
zaman)
Bau keletihanmu akan
mengingatkanku pada seluruh
Arakan awan yang kuning. Dari
arah timur, apakah kiranya
Yang termaknai dari kubah-kubah,
yang terlihat
Dan menyerupai
perumpamaan-perumpamaan yang meliliti
Seluruh waktu. Mengenali diri
pada seseorang yang
Terlena di dasar sungai, di mana
kita akan membayar
Seluruh kebejatan ini, seperti
tanah kapur.
Ingatan kita menciptakan lebih
banyak alur
Dan liku-liku. Rasa lapar yang
tak sepadan,
Ketika siang mencicit dan memberi
wujud nyata
Di gaung angin. Arakan
burung-burung menjadi panjang
Dan akan melebihi batas
cakrawala.
Sebuah akhir ada di barat. Tak
ada mimpi
Tentang musim kemarau, di mana
umurku hendak
Sampai di kota-kota sunyi.
Ketika ketakutan bernyawa dan
menyerupai dongeng
Dongeng tanah muasal, batu-batu
dengan seluruh
Retakannya akan terlibat di sabit
alismu.
Kubayangkan sebuah dunia di balik
pintu hatimu
Yang tertutup, antara kegelapan
dan bau kutukan
Pada waktu. Imajinasiku akan
memanjati jalan-jalan
Yang ranum dan terlihat langsat
di pagi hari.
Mimpi bergerak seperti anak kecil
dengan lagu
Lagu gaibnya di tengah hujan.
Kiranya tanah muasal ini
Memberi jejak rasa bersalah, dan
kota-kota sunyi
Tumbuh tanpa detak jantungnya. Di
ingatan kita,
Kata mungkin mati, mungkin
tenggelam di arus kabut,
Mungkin telah membuang anak-anak
maknanya pada
Ketidakterhinggaan. Otak kita,
pada mulanya, adalah
Ladang tandus, atau denging angin
menikahi kegelapan.
Tak kupahami sejarah di sabit
alismu. Seperti debu,
Perubahan kian menebal dalam
tahun-tahun di mana
Kita tak hendak membayangkan
bagaimana sebuah akhir
Tanpa rasa bersalah. Pada
mimpi-mimpi ini, tubuh melepuh
Oleh lengan gerimis, dan
sajak-sajak terlihat hidup
Dalam cahaya siklusnya. Tidur
kita tinggal seteguk
Dan hendak menghentikan alurnya,
bila dunia ini
Ditorehi lebih banyak luka. Di
akhir malam, bisu kita
Telah berkendi-kendi, dan tanah
muasal tersungkur
Di dalam lumpur. Lewat mata
ingatanmu yang sekarat,
Lihatlah bagaimana matamu yang
blisatan, menatap
Ke arah jalan yang licin seperti
bayangan tersamar.
(studio teater Gapus, 1999)
EPISODE PENAKLUKAN
Rumah-rumah seakan menyala oleh
bulan,
Dan auman lonceng memberinya jiwa
dan nyawa,
Di mana semua mimpi tinggal
tetesan pikiran.
Sementara bayangan masa lalu
tetap menempel
Pada tembok. Tapi di manakah
akhir dari tanda
Tanda zaman ini – ketika sebentuk
bisikan melecut
Dan mengagetkanku.
Kau tetap bernafas dengan mulut
yang hidup, kesadaran
Tak membekas, kita bermakna:
musik gerimis memendar
Seperti bayangan, bahkan tak ada
yang masih kuingat –
Bagaimana kau berada di antara
parade orang gila, para badut,
Para pemimpi, dan sebuah laut tak
tertanda: kata tinggal
Auman. Lampu-lampu mempertegas
kehidupan ini seperti kunang
Kunang membuat lingkaran cahaya
di tepi danau.
Di celah gerimis, di antara musik
yang mulai terasa
Seperti pekikan – kukhayalkan
kota-kota, kelokan-kelokan jalan
Yang riang dan kadang terimat
genit, juga puisi-puisi yang
Menorehi kesadaranku – tapi tetap
saja, kita tak dikenali,
Kau, aku, juga malam. Kecuali
jejak-jejak di jalan,
Jadi sumber bagi ingatan, bagi
sebuah sejarah yang tersungkur,
Sementara cahaya bulan hanya
memperlihatkan sepenggal
Dari mimpi ini, mimpi yang hampir
berbau bangkai. Seperti kata.
Surabaya, Agustus 2000
DJATI BENING, 1270
–
buat Deny Tri Aryanti
Kesunyianku adalah sebuah jalan:
aku belajar
Untuk mencair seperti cahaya,
atau bayangan dengan
Baju musim semi dari kulit
kerang. Duniaku alir dengan
Penggal ketiadaan yang meniup
seruling.
Kutangkap selarik musik dari
burung camar, musik yang
Menyeberangkan matahari. Luka
memar telah membelah
Jadi bayangan dengan bentuk
paruhnya pada bening gelas –
Tapi apakah yang bersisa di mimpi
ini?
Isak daun memercik. Dan hutan
jadi nyata memerangkap
Penglihatanku. Keterpesonaanku
pada sunyi mirip musik lebah
Dan memberi nyawa bagi pohon
jati. Ingatanku bangkit
Untuk memulai hari, menghirup
rasa pahit yang tak selamanya
Kekal oleh kata. Juga doaku
membatu di kerongkongan –
Aku mencari jiwa dalam baju musim
semi. Sunyi menyanyikan
Musik riangnya. Tapi di manakah
jalan-jalan ini mesti
Berakhir, jadi perlambang, di
mana kau mengingat-ingat
Kembali bagaimana dunia ini pada
akhirnya: yang bersisa
Hanyalah angin, dan ingatan,
setelah musik sunyi perlahan
Memudar di tepi danau.
(studio teater Gapus, 1999)
RUMAH SEORANG PENYAIR
– buat Ayu Nilasari
Negerimu bermula dari tanah liar.
Dan sebuah
retakan menggelayut di tubuh
pelangi, membuat
wajah perunggumu berkilau
di awal musim hujan. Jadi setetes
air yang
memar, setelah lukisan sungai
sekusam bentuk
perbukitan. Pikiranmu tidur, tapi
hendak
meluncurkan sepenggal nyanyian –
nyanyian pasir kepada hujan yang
hidup,
akankah kau sangkal air,
jalan-jalan malam hari
yang basah, pohon-pohon dengan
mantel kabutnya
yang tebal,
akankah
kau sangkal awan, yang menggelayut
seperti pesona puting seorang
perawan, seperti lonceng
lonceng raksasa dengan
dentamannya yang teramat
mendebarkan. Gerimis, adalah
wujud lain dari
ingatanmu. Akan tetap kukenali
kata-katamu,
jadi kiasan: sebuah dunia antara
kegelapan
dan
cahaya. Kau ucapkan setetes air, jadi bisikan
yang memendam rasa sakit, seperti
kendi-kendi tanah
liat yang membara setelah
tertikam api,
ini
dosa siapa? Apakah dosa seekor kupu-kupu?
Atau
sebuah jembatan yang memperpendek jarak:
Antara kau, ingatanmu, dan
setetes air.
(2000)
HANTU BULAN AGUSTUS
Lukisan sebuah puri yang memerah.
Waktu berjuntai,
Ketika kefanaan jadi
tembok-tembok memanjang,
Bau bangkai hampir kuning dan
sekusam tatapanmu,
Kepolosan yang selamanya
memabukkan. Musik ini –
Adalah surga, kegilaan dalam
nyeri, seperti baju
Baju musim semi.
Petiklah kuntum-kuntum cemas yang
bisu. Juga puri
Puri dengan getah bulan Agustus
yang memekik tertahan,
Yang memberi sepenggal kecupan.
Seperti mimpi, jadi
Peristiwa pada batu-batu – tapi
segera bebaskan ingatanmu
Ketika sesuatu hendak tumbuh
dalam musik ini: Hantu-hantu
Yang tua dan bersenandung.
Lukisan puri ini tetap memberimu
sebuah kolam,
Dan bayanganmu telah berkarat di
dasarnya. Jadi labirin
Waktu dengan anak-anak
tetangganya yang penuh daun pakis,
Lumut yang basah, dan getah
matahari yang memberi nyawa
Bagi musik ini. Pada retakan di
tembok puri, petiklah
Rasa pahit. Dan langit telah
menyeret mendung, hingga
Seluruh kelam tersembunyi di
balik puisi-puisiku.
Akan kutuliskan, bagaimana
kegembiraanmu telah memabukkan
Dalam nyeri, di mana lukisan puri
ini melebihi igauan burung
Burung hantu. Dan pikirkan
bagaiman topi kulitku hendak
Memperlambangkan mimpi. Dan
racun. Dalam kepalsuan.
Surabaya, Agustus 2000
Tentang Tjahjono
Widijanto dan W. Haryanto
Tjahjono Widijanto lahir di Ngawi, 18 April 1969. Lulusan
IKIP Negeri Malang, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Puisinya termuat dalam
berbagai media massa dan antologi puisi bersama, salah satunya Mimbar Penair
Abad 21 (DKJ, 1996). Bekerja sebagai guru dan dosen di kota Ngawi.
W. Haryanto lahir di Surabaya, 14 Oktober 1972. Kuliah di
Fisip Universitas Airlangga (jurusan Sastra). Terlibat dalam Teater Gapus
Fakultas Sastra Unair, juga menjabat sebagai redaktur budaya lembar Luar Pagar
majalah Retorika, Fisip Unair.
Oya, biodata para penyair tertulis di
sampul belakang buku.
Catatan Lain
Tjahjono menyumbang 10 judul puisi di
buku ini, sedang W. Haryanto menyumbang 7 judul puisi. 10 puisi Tjahjono itu
adalah Perjalanan di Urat-urat Nadi,
Legenda Musim, Notasi XXXIII, Kalinyamat, Dari Negeri Keramat, Kaba
dari Negara Senja, Legenda I, Memo Kedelapan Belas, Palasara dan Requiem Aeternam. Sedang sajak-sajak W. Haryanto, adalah Moment Opname, Hantu Bulan Agustus, Episode
Penaklukan, Rumah Seorang Penyair,
Teluh Litost Sang Mesianis, Zaman dan Jati Bening, 1270.
Tulis Tjahjono Widijanto dalam esainya: “Berhadapan dengan
sajak-sajak W. Haryanto dapat ditemukan sebuah upaya pembebasan imaji dan upaya
mendekonstruksikan konsep pencitraan konvensional terutama konsep-konsep pencitraan
visual. Imaji-imaji dibiarkan hadir dan tumbuh liar, penggunaan bahasa yang
rumit dan citraan-citraan yang tidak saling berkaitan serta campur baur
sehingga menimbulkan kekaburan makna yang mengingatkan kita pada teknik
persajakan kaum Dadais seperti Andre Breton dan Tristan Tzara. Dapat pula
dikatakan bahwa cara seperti ini berakar dalam sajak-sajak aliran surealisme,
dimana penggunaan citraan yang saling berjauhan kaitannya saling berbenturan
dan membangun suasana yang mencekam, kosong, sekaligus gegap gempita. …
Kerapkali imaji-imaji yang tampil secara surealistik tersebut membongkar
kelaziman logika, dan dapat pula hadir menjadi teror di kepala pembaca. Juga
kadang-kadang pula imaji tersebut hadir sebagai rimba gelap yang tanpa pintu
bagi pencari makna, sekaligus sekedar hadir sebagai mosaik bende-benda, atau
deretan kata-kata tanpa maknsa yang jungkir balik dan centang perenang logika
pencitraannya. … Sebenarnya gambaran yang ingin ditampilkan oleh penyairnya
sendiri cukup jelas yakni ingin menggambarkan suasana jiwa yang gagap dan
gamang menghadapi kosmologi sosial budaya yang sedang dialami, sehingga nyaris
puisi-puisinya memberikan suasana ketertekanan, hiruk-pikuk, anxiety, ketidakpercayaan, kemuakan, alienasi dan kegelisahan, …”
Tulis W. Haryanto:
“Kekhasan sajak Tjahjono, adalah pencapaian lebih dari diksi-diksi semacam:
legenda, cerita, riwayat – di sini, Tjahjono menumpahkan “akunya” antara minat
untuk membangkitkan kembali sebentuk karakter
otobiografis dunia (yang berada jauh di masa lalu) dan keengganan
untuk melibatkan keterilhaman ini dengan
mempertahankan kewarasannya (yang bereksistensi di masa kini). Tjahjono menjadi
pewarta, pendongeng, dan terus menerus mencelupkan tangan-tangan “imajinernya”
ke telaga riwayat tanpa membuat tangan imajinernya basah oleh air telaga
riwayat yang telah keruh oleh tumpahan minyak. Keniscayaan, dalam riwayat,
tidak berhenti sebagai lambang-lambang dari sisi lain dunia, namun si penyair harus
melahirkan dirinya di semesta muskil itu sekaligus ia menyatakan keberadaannya,
lantas dengan sadar ia mengalami perjalanan muskil pada dua sisi dunia – dunia
yang semata bernyawa dalam riwayat, dan dunia yang terlihat di luar riwayat. …
Epos, atau riwayat, adalah sisi lain dari dunia, tidak berarti identik dengan
teknik meriwayatkannya. Perspektif menjadi vital. … Bahwa, kelemahan
sajak-sajak Tjahjono lebih karena tidak hadirnya perspektif yang tegas. Tapi
perspektif tidak hadir secara otomatis, tetapi adalah evolusi dalam aliran
seni. Hal ini yang belum terlihat dalam sajak Tjahjono. Kupikir ia perlu
membuka diri dengan belajar pada aliran (dalam tradisi besar dunia), sehingga
sajak-sajaknya mencapai sublimitas yang luar biasa.” Begitu.
Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.