Utama, Jakarta.
Jangan Lupa Bercinta! terdiri atas 2017 (23 puisi), 2018-2019 (79 puisi), 2020 (43 puisi)
Sepilihan puisi Yudhistira ANM Massardi dalam
Jangan Lupa Bercinta!
Sajak Bubur Ayam
Bubur ayam itu menu paling kaya
intervensi: Jangan pakai
bawang, jangan pakai seledri,
jangan pakai kacang, jangan …..
Banyakin daun bawangnya. Banyakin
kacangnya… Boleh
pakai telor mentah, banyak
merica, tambah tongcay, tanpa
cakue… (“Macam sudah hebat kali kau!” kata kawan dari Medan).
Maka pelajaran demokrasi harus
dimulai dari tukang bubur
ayam. Biar tumpah semua selera.
Biar tumpah segala nyinyir.
Seperti aneka polusi mengotori
Jakarta. Seperti semua bunyi
membisingkan pagi hingga malam.
Bahkan tukang parkir tak
henti teriak: “Terus…! Terus…!
Terus…! Kiri…! Kiri…!” Rasa
gila terbawa mimpi. Entah apa
cita-citanya waktu kecil. Entah
jadi apa pula anak-bininya nanti.
Demokrasi bisa bikin gila siapa
saja. Seperti bubur ayam tanpa
ayam. Tapi enak, gila!
Bandung, September 2019
Planetarium
Di planetarium
Semesta tak berhingga
Kita seperti tak ada
Tata Surya berlayar
Dalam gelap
Putih-biru berputar
Seperti film bisu
Seperti teka-teki
Tanpa waktu
Noktah-noktah
Serupa zarah
Dalam manzilah-manzilah
Satu arah
Mengalir seperti darah
Serupa di tubuh rapuh
Bintang-bintang redup-terang
Juga yang tak terbilang
Menuju hilang
Kita pun
Entah
Seolah Ada
Seperti tak
pernah Ada
Jogja, Januari 2020
Sajak-sajak Semarangan
#1
Semarang menitipkan riang kepada
siang
Jika aku datang, untuk siapakah
pulang?
#2
Ah, hati girang menjelang
Semarang
Apakah Cinta sudah tiba di ruang
kedatangan?
#3
Di Semarang, mimpi tak mau pulang
Siapakah yang menidurkan bimbang?
#4
Semarang membiarkan waktu
menghilang
Di simpang mana rindu
menyeberang?
#5
Di Semarang, puisi bergulir dari
bukit ke pesisir
Mengapa ombak menyusun rindu jadi
bukit karang?
#6
Matahari melukis Semarang dengan
warna terang
Sampaikah kepadamu jingga yang
kukirim dari rasa sayang?
#7
Di Semarang, Cinta dan bahagia
berpintu seribu
Maukah kau buka satu untuk
meloloskan rindu?
#8
Di malam, Semarang jadi negeri
kunang-kunang
Apakah kesedihan yang menyalakan
kenangan?
#9
Laksamana Cheng Ho bicara apa di
Kelenteng Sam Poo Kong?
Apakah tentang yang fana dan
kekal, yang dipahatkan pada
batu dan dilupakan Waktu?
#10
Wingko babat, lumpia, dan ikan
mangut menyajikan Semarang
di lidah orang
Rasa apakah yang ditinggalkan
penumpang di Stasiun Tawang?
Oktober, 2017
Sajak Kisah Cinta
Kalau kisah cinta ditulis di
kolam renang, lalu rumpun daun
pisang di tepi dinding
membungkusnya dan menjemurnya di
atap alang-alang, mungkinkah
burung-burung gereja itu mau
membacanya lalu membuat lagu
untuk kedua lelaki tua yang
merokok di balkon itu? Sedangkan
suhu di Sentrasari masih
170 dan air panas baru
dimasak untuk kopi hitam tanpa gula.
Apakah puisi harus berenang dulu
agar bisa bercumbu dengan
roman yang masih di angan-angan?
Ah, kecipak-kecibung
itu sudah seperti bunyi orgasme, hingga
anak-anak menjerit
kedinginan. (“Para Que Sufrir,” kata penyanyi Spanyol
dari
Spotify). Dan burung-burung mematuki huruf-huruf yang baru
pengarangnya menggosok gigi. Tak
tersisa lagi getar pandangan
pertama, meskipun kisah cinta bisa
melompat ke malam pertama. Tetapi
komplotan unggas itu
sudah mematuki semua kata Cinta!
Bandung, September 2019
Di Cikini! Di Cikini
Setiap bata yang kauhancurkan
Merekam keindahan
Juga kepedihan
Proses penciptaan
Jiwa dan badan
Yang menolak dikalahkan
Karya seni adalah cermin
Zaman yang berubah
Proposal para seniman
Kepada kuasa yang pongah
Menggugat nurani yang lengah
Karena Waktu tak pernah kalah
Genghis, Hulagu, Timurleng
Dikirimkan sejarah sebagai
pemusnah
Seni, buku dan risalah binasa
Dan kamu akan terkubur di sana
Dihujat setiap bata yang rebah
Di Taman yang kini tumpas
Mengabadikan yang telengas
Di Cikini! Di Cikini
Kini kamu akan dikencingi
Hingga ke anak bini!
5 Februari 2020
Jangan Lupa Bercinta!
Jangan lupa bercinta!
Sebab rumput dan dedaun
menghamili klorofil, dan bunga
bunga melahirkan warna
Jangan lupa bercinta!
Sebab matahari masih mencumbu
pagi, dan biru melepaskan
selimut langit dan laut
Angin pun membelai pohonan,
dinding dan tubuh-tubuh
berpeluh.
Jangan lupa bercinta!
Sebab jiwa-jiwa terus memanggil
rindu yang menyanyikan
Tuhan sejak subuh telanjang
Waktu pun memeluk Cinta sepanjang
cakrawala bersama
jingga, hingga batas
menggarisi semua yang tak bisa
lepas
Jangan lupa bercinta!
Sebab alpa tak bangkit lagi dari
kubur tempat segala tidur
kehilangan mimpi yang menciumi
sekujur hidupmu
Jangan lupa bercinta!
Sebab Dia pun menginginkannya!
Bekasi, Maret 2020
Melankoli Milenia
Apa yang disampaikan Corona
Sesudah kabut
Dan persentuhan yang gegas
Meretas batas?
Maut-Tamu-Umat
Bumi rapuh
Segala panik
Takluk pada renik
Segala fana
Takluk pada sunyi
Ragam terbenam
Parah harap
Semesta air mata
Basah dalam doa
“Di rumah saja!”
Bumi pun rehat
Gerak disekat
Emisi lindap
Langit biru
Matahari baru
Manusia berubah
Berkisah pisah
Merenda rindu
Anak-anak bersorak
Berseru tanpa seteru
Balkon-balkon menyanyi
Melankoli milenia
Berserah kepada arah
Yang baru ditulis sejarah!
Bekasi, Maret 2020
Sungguh, Ke Mana Usia
Sungguh, ke mana usia
Membawa kita
Tanpa peta
Hanya ada tua
Di kota-kota senja
Tanpa jeda
Waktu seperti dadu
Di meja rolet
Tanpa kartu
Hidup hanya permainan
Petak umpet
Tanpa jaga
Tapi kelak kita akan berpisah
Meskipun satu arah
Tanpa humpimpah
Bekasi, 27 Februari 2020
65
—untuk Rumah Budaya Tembi
Gemilang bulan menyanyikan malam
Tenor dan sopran meninggikan awan
Piano dan biola memainkan Chopin
Walsa dan sonata menarikan usia
Semuanya melukiskan cahaya
Sebuah potret ketika senja
“Jangan meminta cermin berkata
dusta.”
Pagi pun riang hingga siang
Larutkan pahit di cangkir kopi
Hingga hidup terasa manis
Jauh pula bahaya gula
“Awas kolesterol dan lemak jenuh,
asam urat dan darah tinggi.”
Aneka larangan selalu datang
Seperti gorengan di meja
Menambahkan nikmat dalam kalimat
65 tahun perjalanan kalam
Kehidupan itu,
Semut beriring
Dari liang ke pohon
Dari akar ke daun
Mewarnai kembang setaman
Menumbuhkan buah di dahan
Dan sepiring cita rasa
Dan sekuntum senyum ranum
Dan selembar tikar sabar
Dan sebait doa ke langit
“Berhetilah merokok!” katamu lagi
Kebahagiaan itu
Semilir angin
Menyentuhkan dingin pada tubuh
Menggerakkan hasrat pada Cinta
Seperti keroncong memorabilia
Dimainkan tiap purnama
“Kamu kok ngeyel?
Tak mau ketemu cucu kedua belas?”
Ikhlas itu,
Sungai yang berpisah dengan
gunung
Awan yang berubah jadi hujan
Dedaun kering rebah di tanah
Seperti desahmu di malam basah
“Ah. Terserah!”
Pasrah itu,
Cinta yang tidak mendua
Meskipun selalu ada yang pertama
Dan kamu tetap menerima
Buku yang lebih tua
Agar bisa belajar membaca
“Yo wis, lekas make a wish!”
Aku ingin hidup lebih lama
Seperti pohon kelapa
Memberikan sabut dan santan
Melambai kepada pantai
Tidur sesudah janur
“Apakah ada janji untukku?”
Akan selalu kutulis puisi
Untuk setiap mimpimu
Yang menciumi tidurku!
“Apakah yang berdenting di
kuping?”
Detik waktu yang kembali ke masa
lalu
Mengecup bibirmu seperti dulu
Ketika purnama mengilaukan
Cintamu
: Emasku!
20 Februari 2018
Sajak Lebaran Malam
Angin malam hinggap di daun
Kabel dan antena tidak berayun
Opor dan rendang sudah ditelan
Suara petasan tak mau diam
Satpam lewat berbalik arah
Portal ditutup jadi pengaman
Pesawat menderu di balik awan
Anak-anak berlari menembus malam
Sampai jumpa tahun depan
(Turunkan 4 kilo lagi berat
badan!)
Bekasi, 5 Juni 2019
Kematian Itu
—Mengenang DK & AL
Yang setia hanya ajal
Yang patuh adalah waktu
Manusia hanya inisial
Bagi Yang Maha Kekal
Kenangan bisa bisu, bisa juga
lucu
Selebihnya beku, atau berlalu
Kita sama-sama ke kubur
Mengalir kepada akhir
Padahal awal kita tak kenal
Tak pernah ada debat
Tentang mengapa dan di mana
Hanya ada titik
Untuk melanjutkan garis
Garis dari mistar
Mistar Sang Misteri
Air mata mungkin sejenis takdir
Bekal perjalanan ke kehilangan
Adapun Cinta hanya penanda
Bagi yang pernah ada
Bagi yang memang ada
Kehidupan boleh jadi hanya sial
Bagi yang tidak kekal
Kematian boleh jadi hanya tanggal
Bagi yang tak pernah tinggal
Akhirnya hanya nisan
Dan bunga layu
Di tanah yang tak dirindu
Sebab yang pilu tak ingin
menunggu
Tetapi kita harus menunggu
Tak peduli terus meragu
Bekasi, 2 September 2019
Sajak Lupa Penyair
Ada sajak lupa penyairnya
Sebab ia melanggar janji
Tidak jadi ditulis
Sebelum pagi
Bekasi, Juni 2019
Sajak Orang Gila
Sebelum mati, ia gila
Sebelum gila, ia mabok
Sebelum mabok, ia kesurupan
Sebelum itu, ia masuk bui
Sebelum dibui, ia masuk tivi
Sebelumnya, ia jadi penista
segala
Sebelum itu, ia pernah mati
Sebelum itu, ia sudah gila!
Bekasi, Agustus 2019
Sajak Jatuh Cinta
Cinta itu seperti burung gereja
Tiap pagi bercicit di atas
genting
Maka jatuh cinta seperti biru di
langit
Memberi putih kepada awan
Seperti air mata kekasih merindu
pangkuan
Bekasi, 8 Juni 2019
Sajak Bukit dan Lembah
Keindahan itu seperti bahagia
Mengerami air mata
Tamasya itu melindungi derita
Seperti desa-desa wisata
Keduanya saling menghidupi
Seperti bukit dan lembah
Bunga dan sayuran
Senyum itu seperti kenangan
Datang dari harapan dan keinginan
Tentang jalan-jalan kehidupan
Berkelok, naik, dan turun
Bergantung kepada hujan
Nava Hotel, Tawangmangu, Juli 2019
Sajak Minggu Malam
Minggu malam tak ada puisi
Hanya bising pesawat mengedipkan
lampu
Udara lembab
Polusi menahan panas
Kata-kata menahan napas
Dan asbak mematikan asap
Tapi ada denting logam
Para pekerja malam
Dan keringat yang dibawa pulang
Agar anak-bini tidur tenang
Mengeloni mimpi jadi uang
Hingga sirine ambulans
membangunkan jam
Dan malam makin panjang
Menanti kunang-kunang
Yang tidak akan datang
Seperti masa kanak-kanak
Hilang tali kekang
Bekasi, September 2019
Sajak Ngopi Sore
Matahari merah becermin di
jendela kaca
Ketika angin mengirimkan wangi
kopi
Kepada burung gereja di kawat
baja
Dan kamu datang dengan kerudung
biru
Melangitkan abu-abu
“Sore itu tak usah selfie
biarkan saja senja
mengisi gelas kita.”
Kita pun mereguk rasa jingga
: Cinta tanpa gula
Bekasi, Juni 2019
Tentang Yudhistira ANM Massardi
28 Februari 1954. Aktif menulis sejak 1970. Merupaka anak keenam (kembar
bersama Noorca M. Massardi) dari selusin bersaudara. Novelnya: Trilogi Arjuna Mencari Cinta (1977), Arjuna Mencari Cinta Part II (1981) dan Arjuna Wiwahahaha…! (1984), Ding Dong (1978), Obladi Oblada (1979), Mencoba
Tidak Menyerah (1980, 1996), Joni
Garang (1992, 1993), Penari dari
Serdang (2019). Kumpulan Sandiwara: Wot
atawa Jembatan (1977), Ke (1978),
Bisu in Blue (2001), Jangan Sakiti Anakku (2002), Karpet Merah Cleopatra (2003), Sopirku/Opsirku/Korupsi (2005), Tikungan-H (2016). Kumpulan cerpennya: Penjarakan Aku dalam Hatimu (1970), Yudhistira Duda (1981), Wawancara dengan Rahwana (1983), Wanita dalam Imajinasi (1993), Forum Bengkarung (1994). Kumpulan
puisinya: Sajak Sikat Gigi (1983), Rudi Jalak Gugat (1982), Syair Kebangkitan (1985), 99 Sajak (2015), Perjalanan 63 Cinta (2017), Luka
Cinta Jakarta (2017).
Catatan Lain
memuat petikan “Sajak Kisah Cinta”.
Halaman persembahan tertulis: “Untuk semua yang kucinta:/Istriku Siska,/Iga,
Taya, & Kafka (anak-anakku),/Risa & Eggy (menantu-menantuku),/serta
ketiga cucu kesayangan opaki & omani:/Kiara Kuma Fatira, Prisma Tari
Cahaya, & Naradipa Abiputra.” Begitu.

Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.