Topik

Pendapat Saya Tentang IPO GoTo


Suatu hari di tahun 2008. Harga batubara
acuan Newcastle yang sebelumnya sudah cenderung naik sejak awal dekade 2000-an,
di sepanjang tahun 2007 kembali naik dengan kencang dari posisi $50-an per ton
hingga mencapai all time high $180 per ton pada bulan Juli tahun 2008.
Sementara itu saham dari perusahaan batubara terbesar di Indonesia, Bumi
Resources (BUMI)
, juga melesat dari 900-an di awal tahun 2007
hingga tembus 8,000 pada Februari 2008. Karena disisi lain sahamnya sangat
likuid, market cap-nya juga besar (Rp152 trilyun pada harga 8,000. Sebagai
perbandingan pada waktu yang sama, market cap Bank BCA/BBCA hanya Rp90
trilyun), dan kinerja keuangannya pada saat itu sangat bagus (sepanjang tahun
2007, BUMI membukukan laba bersih $789 juta berbanding ekuitasnya yang hanya
$1.1 milyar), maka jadilah semua orang mulai dari trader receh sampai fund
manager besar membeli BUMI, dan BUMI kemudian memperoleh julukan legendaris: Saham
sejuta umat
.

***

Live
Webinar Value Investing Saham Indonesia
, Sabtu 20 Juli 2024, pukul 08.00 – 10.00 WIB.
Untuk mendaftar
klik disini.

***

Kemudian pada satu waktu tertentu terdapat
lebih dari 50 ribu investor, baik individu maupun institusi, yang memegang
BUMI, sedangkan jumlah investor saham di BEI ketika itu hanya sekitar 250
ribuan. Sehingga bisa dikatakan bahwa profit besar dari saham BUMI ketika itu
dinikmati oleh banyak orang, jadi tidak hanya oleh segelintir investor tertentu
saja, dan alhasil pasar saham mengalami euforia yang luar biasa dimana
investor, terutama mereka yang ketinggalan kereta di saham BUMI, bersedia
membeli saham apapun yang juga ada ‘bau-bau’ batubara.

Dan peluang yang muncul dari momentum euforia
itu kemudian ditangkap oleh sekelompok pengusaha alumni Grup Astra, yakni Edwin
Soeryadjaya (putra dari Alm. William Soeryadjaya, founder Astra),
Theodore Permadi Rachmat (keponakan Om William), Boy Garibaldi Thohir (putra
dari Alm. Teddy Thohir, co-founder Astra), dan Alm. Benny Subianto (co-founder
Astra), dibantu anak muda jenius bernama Sandiaga Salahuddin Uno. Jadi
sebelumnya pada tahun 2001, Edwin S. dan Sandiaga Uno melalui bendera
PT
Saratoga Investama Sedaya
mengakuisisi PT Adaro Indonesia, sebuah perusahaan
batubara di Kalimantan Selatan dengan cadangan batubara terbesar kedua di
Indonesia (setelah BUMI), ketika itu dengan skema leveraged buy-out atau
LBO, dimana dari harga akuisisinya sebesar $983 juta, Saratoga membayarnya
hanya sebesar $50 juta, dan selebihnya pakai utang bank.

Kemudian pada tahun 2004, Boy Thohir dan TP
Rachmat mendirikan perusahaan dengan nama PT Padang Karunia, dan pada tahun
2007 masuk nama-nama lainnya yang disebut diatas sebagai pemegang saham
perusahaan, dan nama PT-nya diubah menjadi PT Adaro Energy. Di tahun
yang sama, PT Adaro Indonesia ditempatkan sebagai anak usaha dari Adaro Energy
ini, dan demikian pula perusahaan-perusahaan lain di bidang jasa kontraktor
batubara (Saptaindra Sejati), perdagangan batubara (Coaltrade Pte Ltd),
logistik (Indonesia Bulk Terminal), dan pembangkit listrik (Makmur Sejahtera
Wisesa, Jasapower Indonesia), semuanya dikonsolidasikan ke dalam Adaro Energy.
Sebagai catatan, PT Adaro Indonesia dimiliki oleh Saratoga, sedangkan Saptaindra
dkk dimiliki oleh nama-nama lain yang disebut diatas. Yup, jadi pada tahun 2007
itu bisa dibilang dilakukan merger antara perusahan-perusahaan yang
dimiliki oleh pihak-pihak yang memang sudah saling mengenal satu sama lain
(sebagai sesama alumni Grup Astra), dimana PT Adaro Energy kemudian dijadikan
sebagai induk dari semua perusahaan-perusahaan tersebut.

Lalu kenapa merger itu perlu dilakukan?
Karena PT Adaro Energy ini direncanakan untuk IPO, dimana mumpung sektor
batubara itu sendiri sedang euforia, maka nilai IPO-nya bisa setinggi mungkin.
Tapi jika Saratoga jalan sendiri maka ada kemungkinan IPO-nya akan
gagal, atau tetap terlaksana tapi dana yang diperoleh tidak akan terlalu besar.
Maka jadilah nama-nama yang disebut diatas bersatu dan bekerja sama untuk
merealisasikan rencana IPO Adaro, dalam hal ini PT Adaro Energy, and they
did it!
Terutama karena timing-nya sangat tepat dimana harga
batubara terus melonjak naik di tahun 2007 sampai awal 2008, dan IHSG itu
sendiri terbang dari 1,832 di awal tahun 2007, hingga tembus 2,800-an pada
pertengahan tahun 2008. Jadi suasana pasar ketika itu amat sangat euforia, dan
rencana IPO dari perusahaan batubara terbesar kedua di Indonesia, yakni PT
Adaro Energy (ADRO), ditanggapi dengan sangat antusias oleh investor, terutama
karena ‘poin-poin analisa’ sebagai berikut:

  1. Saham ADRO melantai di bursa persis di bulan Juli 2008, ketika
    harga batubara mencapai all time high $180 per ton, sehingga meskipun
    beberapa analis mengingatkan bahwa harga batubara bisa saja turun lagi, tapi
    anggapannya adalah bahkan kalaupun batubara turun sampai $100 per ton, maka
    ADRO tetap akan profit besar! (namun pada kenyataannya, batubara kemudian turun
    lebih rendah dari itu).
  2. Harga perdana IPO-nya 1,100, sedangkan saham BUMI ketika itu sudah
    mencapai 8,000-an. Jadi cerita yang dijual ketika itu adalah ADRO ini bisa saja
    menyusul BUMI sampai 8,000! (sederhana banget yak?? Jadi ngapain itu pake PER,
    PBV dst). Beberapa tahun kemudian, jurus yang sama dilakukan oleh Grup
    Recapital dimana saham Bank
    Banten (BEKS) diisukan bakal naik dari 50 sampai 1,000, seperti halnya saham
    Bank BJB (BJBR) sebagai sesama bank daerah
    , dan hasilnya tidak
    kurang dari 24 ribu investor ritel dan institusi terjebak membeli saham BEKS di
    harga gocap (sebelum reverse-stock).
  3. Nilai IPO-nya luar biasa besar yakni Rp12.2 triliun, yang
    kemudian menjadi rekor nilai IPO terbesar di Indonesia sampai hari ini, but
    still
    beritanya gencar dimana-mana bahwa investor kesulitan memperoleh
    jatah saham ADRO, dan bahwa terjadi oversubscribe alias kelebihan permintaan
    saham ADRO sampai 5 kali lipat!
    Alhasil investor jadi lebih penasaran lagi
    untuk bisa memperoleh saham ADRO, kalau nggak dapet IPO-nya ya nanti beli saja
    di pasar, pada harga yang sedikit lebih tinggi dari 1,100 juga gak apa-apa, toh
    sahamnya bakal ke 8,000.
  4. Pada laporan keuangan terakhirnya per tanggal 31 Januari 2008,
    ekuitas ADRO cuma Rp2.4 triliun, namun market cap perdananya pada harga Rp1,100
    per saham mencapai Rp29.1 triliun, sehingga kalau pakai ‘metode
    tradisional’, harga 1,100 itu tergolong mahal. Tapi para analis lagi-lagi
    menunjuk saham BUMI yang ‘jauh lebih mahal’, jadi ADRO ini sebenarnya murah!
  5. Cadangan batubara milik ADRO saat itu mencapai 928 juta ton, yang
    kalau pakai ‘harga konservatif’ $100 per ton saja (ingat bahwa saat itu harga
    batubara mencapai $180 per ton), maka artinya potensi pendapatan $92.8 milyar,
    dimana dengan asumsi margin laba 10% saja, artinya laba bersih $9.3 milyar.
    Sedangkan market cap ADRO cuma Rp29.1 trilyun atau setara $2.7 milyar
    (berdasarkan kurs ketika itu), jadi masih murah! Dan jangan lupa pula bahwa
    cadangan batubara diatas bisa meningkat di masa yang akan datang seiring
    dilakukannya kegiatan eksplorasi.

Daaaan seterusnya. Intinya adalah fakta bahwa bisnis batubara ini
berisiko tinggi karena harga batubara itu sendiri bisa sangat fluktuatif, plus
nilai IPO-nya yang kelewat mahal, semuanya diabaikan oleh investor yang sudah
kadung kalap! Menariknya lagi, di
prospektus
IPO ADRO
disebutkan bahwa 92.3% alias mayoritas dari dana Rp12.2 trilyun hasil
IPO-nya akan disetor ke para pemegang saham pengendali ADRO, jadi bukan untuk
menambah modal kerja ADRO itu sendiri. Lho, bagaimana maksudnya?

Jadi begini, harap
baca bagian ini pelan-pelan karena sangat rumit
: Sebelum IPO, ADRO
hanya memegang efektif 61.2% saham PT Adaro Indonesia, 61.8% saham PT Indonesia
Bulk Terminal, dan 58.9% saham Coaltrade Pte Ltd, semuanya melalui anak usaha
bernama PT Alam Tri Abadi. Jadi terdapat porsi saham di ketiga perusahaan
diatas yang tidak dimiliki oleh ADRO, melainkan dimiliki oleh dua perusahaan
dengan nama Ariane Investments Mezzanine Pte Ltd (Ariane), dan Agalia
Investments Pte Ltd (Agalia), keduanya beralamat di Singapura. Ariane dimiliki
oleh sejumlah pihak yakni Citigroup Financial Products, Goldman Sachs Asia,
Vencap Holdings (dikelola Government of Singapore Investment Corporations Pte
Ltd, sebuah perusahaan asset management), Arindo FCM (dikelola Noonday Global
Management, sebuah perusahaan asset management), dan Gold Pilot Ltd, sebuah
perusahaan yang tidak memiliki keterangan apa-apa kecuali disebutkan didirikan
di British Virgin Island. Sedangkan Agalia dimiliki oleh Citigroup dan Goldman
Sachs. Nah, perhatikan bahwa pemilik Ariane dan Agalia adalah bank/perusahaan
asset management, dimana yang namanya bank dan juga asset management tentunya tidak
mengelola aset milik mereka sendiri, melainkan milik pihak ketiga
. Artinya?
Yup, Ariane dan Agalia sejatinya juga dimiliki oleh pihak-pihak yang merupakan founder
ADRO, alias Saratoga dkk. Tapi dengan memanfaatkan jasa bank sebagai
perantara maka Ariane dan Agalia kemudian tidak dianggap sebagai pihak berelasi
dari ADRO, karena dalam hal ini pihak bank dilindungi asas kerahasiaan untuk
tidak membeberkan siapa-siapa saja klien/nasabah mereka. Faktanya ketika
Saratoga mengakuisisi PT Adaro Indonesia pada tahun 2001 dari tangan
konglomerat Sukanto Tanoto, maka yang diakuisisi adalah 100% sahamnya. Jadi mau
di kemudian hari sebagian dari saham PT Adaro Indonesia itu dipegang oleh
Ariane atau apalah itu namanya, tapi tetap saja ultimate owner-nya
adalah Saratoga itu sendiri.

Oke, lanjut. Dari dana hasil IPO-nya, ADRO akan menyetor tambahan modal
ke PT Alam, lalu dana tersebut digunakan untuk mengakuisisi 100% saham Ariane
dan Agalia. Sehingga dengan demikian kepemilikan ADRO terhadap PT Adaro
Indonesia, PT Indonesia Bulk Terminal, dan Coaltrade Pte Ltd menjadi genap
100%, tapi ADRO dalam hal ini tidak menerima uang kas sama sekali,
karena yang menerima uang kas tersebut adalah pihak-pihak yang menjual saham
Ariane dan Agalia ke ADRO. Kemudian sebelum IPO, ADRO hanya memegang 92.0%
saham PT Alam, dan sisanya dimiliki oleh PT Persada Capital Investama (milik Alm.
Benny Subianto), dan Saratoga. Pasca IPO, ADRO menggunakan dana hasil IPO-nya
untuk membeli saham PT Alam yang dimiliki PT Persada dan Saratoga, sehingga
ADRO kemudian memegang 100% saham PT Alam, tapi dalam hal ini PT Persada dan
Saratoga-lah yang menerima pembayaran tunai, jadi bukan ADRO itu sendiri.

Jadi jika disimpulkan, hampir seluruh uang hasil IPO ADRO yang Rp12.2
trilyun tadi sama sekali tidak masuk ke kas ADRO itu sendiri. Tapi di
laporan
keuangan ADRO pasca IPO
, yakni per Kuartal III 2008, maka di komposisi
aset ADRO muncul aset/aktiva tidak lancar berupa berupa properti pertambangan senilai
Rp10.2 trilyun (angkanya bisa sebesar itu karena dicatat berdasarkan harga
perolehan, karena ingat bahwa ADRO menggunakan dana hasil IPO-nya untuk
mengakuisisi Ariane dan Agalia), plus goodwill Rp8.5 trilyun (karena
akuisisinya dilakukan pada harga premium), dan ekuitas ADRO juga ikut naik karena
‘tambahan modal disetor’ senilai Rp10.6 trilyun, menjadi Rp14.1 trilyun.
Menurut penulis sendiri ini sangat jenius dimana setelah IPO-nya, ADRO tetap
dikuasai oleh para founder-nya, nilai pasar perusahaan meningkat pesat,
dan Saratoga dkk menerima cold hard cash senilai hampir $1.3 milyar. Actually
memang dari IPO ADRO inilah, para pendirinya kemudian seperti ketiban durian
runtuh dimana mereka menggunakan uangnya untuk diinvestasikan kesana kemari
(dan hasilnya kembali cuan). Sehingga pada hari ini, nama-nama yang disebut
diatas sudah dikenal sebagai salah satu orang-orang terkaya di Indonesia.


Pada laporan keuangan per 30 September 2008, bisa dilihat bahwa aktiva tidak lancar ADRO naik signifikan menjadi Rp24.6 trilyun, yang terutama berasal dari peningkatan aset properti pertambangan, dan goodwill. Jadi nilai aset ADRO secara keseluruhan meningkat signifikan pasca IPO, tapi ADRO dalam hal ini hampir tidak menerima setoran tunai hasil dari IPO-nya itu sendiri.

Okay, lalu investor yang ikut IPO-nya dan menyetor dana Rp12.2 trilyun
itu dapat apa? Ya cuma dapat salam, good luck! Ingat bahwa karena sejak
awal harga IPO ADRO amat sangat premium, maka investor yang membeli sahamnya
baru akan cuan jika, dan hanya jika ADRO di masa yang akan datang sukses
men-deliver kinerja jumbo seperti yang digembar gemborkan. Namun faktanya
sampai hari ini atau tiga belas tahun kemudian, saham ADRO masih
disitu-situ saja, gak jauh-jauh dari harga IPO-nya dulu di 1,100, karena memang
sejak awal ADRO ini hanya menjual ‘prospek’ dan ‘mimpi’ yang meski disatu sisi bisa
saja menjadi kenyataan suatu hari nanti, tapi bisa juga tidak. Tapi
ceritanya berbeda dengan para founder-nya: Mereka sudah menerima cash Rp12.2
trilyun itu sedari awal, jadi mereka tidak perlu lagi harap-harap cemas soal
apakah kinerja ADRO kedepannya bakal cuan atau tidak, karena mereka sudah
memperoleh cuan tersebut. Sudah tentu, jika anda membeli saham ADRO ketika
IPO-nya di tahun 2008 dan masih di-hold sampai hari ini, maka anda gak bisa dibilang rugi juga karena toh ADRO gak sampai turun
dibawah 1,100, dan setiap tahun perusahaan ada bayar dividen juga kok. Tapi
sekarang bayangkan jika anda adalah founder ADRO dan dapet Rp12.2 trilyun di
tahun 2008 itu, lalu uangnya dibelikan saham-saham atau perusahaan lain yang
jelas-jelas lebih murah.
Dan setelah satu dekade kemudian, maka hasilnya
tentu akan jauh lebih profit dibanding jika uang tersebut dibelikan saham ADRO.
Contoh sederhana saja jika kita beli saham BBCA di tahun 2008, maka berapa
profitnya hari ini?

Analisa Rencana IPO GoTo

Kesemua ulasan diatas adalah untuk memberikan gambaran kepada anda sebagai
investor ritel dan institusi, tentang apa tujuan dan keuntungan yang bisa
diperoleh pihak pemilik perusahaan jika perusahaan tersebut go public
,
dimana jika timing dan momentum-nya tepat, plus menggunakan
teknik-teknik tertentu seperti yang dipaparkan diatas, maka keuntungan yang
dihasilkan juga akan maksimal. Dan kalau misalnya anda termasuk yang setor dana
untuk membeli saham IPO ADRO ketika itu, maka anda juga tidak bisa menyalahkan
siapapun karena tidak ada seorangpun yang memaksa anda untuk melakukan itu
bukan? Dimana tindakan pembelian saham itu adalah sepenuhnya keputusan anda
sendiri. Faktanya untuk bisa menggelar IPO dengan nilai perolehan dana sebesar
itu memang hanya para founder ADRO saja yang bisa melakukannya, dimana IPO-IPO
selanjutnya nilainya selalu jauh lebih kecil. Yup, IPO kedua terbesar sepanjang
sejarah BEI adalah ketika Grup Salim meng-IPO-kan
Indofood
CBP
pada Oktober 2010, dan diperoleh dana segar Rp6.3 trilyun.

Nah, jadi sekarang kita ke IPO GoTo, yang disebut-sebut akan menjadi IPO
terbesar dalam sejarah pasar saham Indonesia dengan nilai market cap perdana Rp580
trilyun!
Alias lebih besar dibanding market cap Bank BRI (BBRI) sekalipun, padahal diketahui bahwa nilai bersih aset berwujud GoTo tidak sampai Rp100 miliar, dan perusahaannya juga masih merugi.
Hingga artikel ini ditulis, penulis sendiri belum memperoleh prospektusnya,
jadi kita baru akan pelajari prospektus itu nanti. Tapi dari perkembangan
rencana IPO-nya sejauh ini, maka sangat mirip dengan IPO ADRO yang dibahas
diatas bukan?

  1. Gojek dan Tokopedia melakukan merger menjadi GoTo, yang mungkin
    karena baik itu pihak founder Gojek maupun founder Tokopedia sama-sama tidak cukup
    pede untuk jalan sendiri-sendiri, melainkan mereka akan memiliki kesempatan
    lebih besar untuk meraup dana sebesar-besarnya dari pasar saham Indonesia, jika
    mereka bergabung dan bekerja sama.
  2. Cerita yang dijual adalah bahwa GoTo akan menjadi The next Amazon (jadi
    ingat Jouska
    yang dulu bilang saham LUCK sama seperti Amazon
    ), dan ini
    mirip seperti dulu di tahun 2007 – 2008 orang bilang bahwa saham ADRO bakal go
    to the moon!
    Untuk menyusul saham BUMI sebagai sesama saham batubara.
  3. ‘Saham-saham teknologi’ yang ada di BEI sudah setahunan ini dikerek
    setinggi mungkin, untuk memberikan kesan bahwa saham GoTo itu masih murah!
    Karena lihat saja itu ARTO, DCII berapa valuasinya?? Jadi apa pula itu PER,
    PBV, metode value investing seperti itu sudah ketinggalan jaman! Lucunya
    saham-saham yang jelas-jelas merupakan saham tekno dan fundamentalnya juga jauh
    lebih baik seperti Telkom (TLKM), atau Link Net
    (LINK)
    malah disitu-situ saja, atau naik tapi dengan kenaikan yang wajar, dan
    yang melesat malah saham-saham tekno gak jelas yang nama perusahaannya sendiri
    baru kita dengar sekarang. Yup, jadi berbeda dengan euforia saham BUMI di tahun
    2007 – 2008 lalu, maka euforia di saham-saham tekno di tahun 2020 – 2021 ini
    sebenarnya dipaksakan, dimana tanpa dijelaskan juga kita tahu bahwa
    kenaikan tidak wajar ARTO dkk itu hanya karena manipulasi
    bandar
    , jadi bukan karena investor beneran masuk membeli sahamnya dalam jumlah
    besar. Tapi hasilnya memang tetap terjadi euforia di ‘sektor teknologi’ ini.
  4. Pemberitaannya sangat massive dimana-mana, termasuk penulis sendiri yang selalu berusaha tutup mata dan tidak peduli, tapi tetap
    saja saya mendengar kehebohan soal rencana IPO GoTo ini. Ini mengingatkan saya
    ketika Grup Recapital menjual Bank Pundi (BEKS) ke Pemerintah Provinsi Banten,
    dan nama perusahaan kemudian diubah menjadi Bank Banten
    (BEKS)
    , dimana beritanya juga berisik sekali di media, dan ketika itu juga banyak sekali analis yang merekomendasikan buy saham BEKS ini.
  5. Boy Garibaldi Thohir, yang dulu sukses
    membidani IPO ADRO, ditunjuk menjadi komisaris GoTo. Pengalaman Mr. Thohir
    tentu sangat diperlukan untuk memuluskan rencana IPO GoTo itu sendiri.

Kemudian yang jadi perdebatan di medsos adalah apakah kita sebagai
investor ritel sebaiknya ikut beli sahamnya (jika IPO-nya jadi) karena itu
tadi: GoTo ini bakal jadi Amazon, atau jangan ikut karena faktanya sampai
sekarang GoTo masih rugi (ADRO di tahun 2008 lalu masih mending, dimana ketika
itu perusahaannya sudah untung). Tapi biar penulis luruskan disini: Mau itu GoTo
beneran bakal jadi Amazon, ataukah sahamnya tetap disitu-situ saja bahkan
setelah tiga belas tahun seperti halnya ADRO, atau lebih buruk lagi: Sahamnya
anjlok karena ternyata setelah beberapa tahun kemudian, perusahaan tetap saja
merugi, tapi yang sudah pasti diuntungkan adalah para founder dari GoTo
itu sendiri! Dimana mereka-lah yang akan memperoleh uang tunai dalam jumlah
besar, hasil dari jual saham dari perusahaan rugi pada harga super premium karena ‘berdasarkan asumsi bahwa perusahaannya akan untung di masa depan’. Dan sebagai investor, jujur saja, penulis tidak mau berada dalam posisi
harap-harap cemas dan menunggu apakah GoTo ini nantinya akan sukses membukukan laba atau
tidak, ketika disisi lain saya tahu persis bahwa para founder-nya sudah cuan
duluan, dimana mereka mungkin akan menggunakan uang hasil IPO-nya untuk
diinvestasikan di tempat lain, untuk mendirikan start-up unicorn yang
baru lagi. Yup, jadi satu-satunya kelompok orang yang akan muncul di daftar Majalah
Forbes sebagai ‘orang terkaya di Indonesia’ adalah para founder GoTo ini, yakni
jika IPO-nya sukses. Sementara investor ritel yang ikut membeli saham IPO-nya?
Well, jika beruntung maka GoTo setelah beberapa tahun nanti pada akhirnya akan
profit juga, dan sahamnya akan naik lebih tinggi lagi. Tapi bagaimana jika
tidak? Dan kenapa juga kita harus menunggu dalam ketidak pastian seperti itu??

Anyway, Warren Buffett sendiri sudah sejak dulu mengkritik pengusaha private
equity
yang mengambil keuntungan dengan cara seperti itu: Akuisisi
perusahaan kecil, dikelola jadi besar, lalu dilepas ke pasar saham pada harga setinggi mungkin, biasanya dengan memanfaatkan euforia pasar. Dan itu juga alasan kenapa WB sangat jarang mau membeli saham IPO, dan demikian
pula Berkshire Hathaway tidak pernah meng-IPO-kan anak usahanya. Ini bukan berarti
semua saham IPO itu jelek, karena penulis sendiri beberapa kali beli
saham-saham anyar di BEI yang fundamental, prospek serta valuasinya bagus (jadi
belinya di pasar, bukan ketika IPO-nya), dan hasilnya cuan. Tapi ketika kita dibujuk
rayu (dengan cerita masa depan cerah bla bla bla) untuk membeli saham dari
perusahaan yang jelas-jelas belum menghasilkan laba, dan juga pada harga
yang sangat mahal jika dihitung pakai metode value investing yang katanya ketinggalan
jaman itu, maka jika anda termakan bujuk rayu tersebut, itu akan menjadi kesuksesan
besar bagi seseorang diluar sana yang sama sekali tidak anda kenal, tapi anda
sendiri bisa jadi tidak akan memperoleh keuntungan apa-apa.

*Artikel ini sudah di-posting sejak tanggal 26 Juni 2021 (coba cek tanggal komentarnya), dan di-posting ulang pada tanggal 9 Juli 2024 tanpa mengubah judul dan isi artikelnya, yakni untuk menyambut harga saham GOTO yang sekarang mentok di Rp50.

***

Live
Webinar Value Investing Saham Indonesia
, Sabtu 20 Juli 2024, pukul 08.00 – 10.00 WIB.
Untuk mendaftar
klik disini.

Dapatkan postingan via email

Terimakasih telah membaca di Piool.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top